Ayah membuat janji bersama bu Arini di sebuah cafe, sepertinya ayah ingin membicarakan pasal sekolah Arkan. Dia berharap Bu Arini bisa membantunya mencarikan solusi konkrit agar Arkan bisa kembali belajar dan pergi ke sekolah.
"Apa ada sesuatu yang Arkan inginkan? Misalnya, dia mau di belikan gadget baru atau sebagainya?" tanya bu Arini, Ayah terlihat berat untuk menjawab semua pertanyaan bu Arini.
"Sebenarnya, ini mungkin kesalahan saya," kata Ayah, lalu dia menghela nafas, dia sebenarnya malu harus mengakui kalau keterpurukan Arkan berawal saat putusan sidang perceraiannya beberapa hari yang lalu.
"Eum ... mungkin anda bisa menceritakannya pada saya, siapa tahu saya bisa membantu."
"Dia marah, karena... kami, orangtuanya... baru saja memutuskan untuk berpisah."
Kini Bu Arini tahu, dia jadi merasa tak enak. Dia terlihat Risi, dia jadi malu karena terkesan sedang mengurusi ranah pribadi keluarga Arkan.
"Oh, maaf ...."
"Dia belum mengerti dengan apa yang saya dan ibunya alami, saya tahu ... dia pasti sangat terpukul atas perceraian ini, tapi semuanya sudah terjadi, mau bagaimana lagi?" cerita Ayah, Bu Arini mencoba mengerti.
"M ... saya mengerti."
"Saya gak pernah bermaksud untuk menyakiti Arkan, hanya saja... pernikahan kami memang sudah tidak bisa di teruskan lagi."
"Ya ... ini pasti pukulan telak untuk Arkan, tapi... lambat laun dia pasti mengerti, dia cuma perlu waktu, saya akan berusaha bantu mencarikan solusi, setidaknya Arkan bisa tetap belajar dulu di rumah sampai minat sekolahnya kembali lagi."
"Ya, saya juga maunya begitu, tapi Arkan masih menolak siapapun yang masuk ke dalam ruangannya, kemarin saya sudah suruh dua orang guru privat, tapi tidak ada satupun yang mampu membujuk Arkan untuk belajar."
"Pasti saat ini Arkan kehilangan motivasi, saya akan bantu. Kalau boleh, sekarang saya mau temui dia. Saya akan mencoba bicara secara perlahan, mudah-mudahan dia bisa melunak."
"Benarkah? Anda bersedia membujuk Arkan hari ini juga?" yakinkan Ayah.
"Iya, saya ini wali kelasnya, saya orang tuanya saat di sekolah."
"Terima kasih banyak ya."
"Iya Pak, selain Arkan ... saya juga harus menangani masalah murid saya yang lain, tapi kasusnya berbeda."
"Oh ya, kenapa?"
Ayah dan Bu Arini mulai terlihat akrab, mereka seperti sedang berbagi masalah saat ini.
"Murid saya itu sangat pintar, dia juga tampak semangat, sayang... semangatnya itu terganjal masalah biaya, orang tuanya sudah sangat pasrah dan tidak mau tahu lagi dengan biaya sekolah anaknya, ibunya bahkan menyuruhnya untuk keluar dari sekolah secara mentah-mentah, dan periode ini memang sedang tidak ada program beasiswa di sekolah," cerita Bu Arini, sepertinya dia sedang menceritakan masalah Lanina, mendengar itu Ayah terlihat menyimpan empati.
"Wah, kasihan sekali anak itu."
"Ya, saya gak bisa bantu banyak ... sayang sekali ya, sedih rasanya melihat semangat belajar seorang anak tapi terganjal masalah ekonomi keluarga ...."
"Ironis sekali, andai Arkan yang memiliki semangat itu. Tapi, berarti dia teman sekelas Arkan?" tanya Ayah.
"Ya, dia juara di kelas, pasti Arkan mengenalnya."
"M ... saya jadi punya gagasan, mungkin kita bisa saling membantu."
"Maksud Pak Aria ?" tanya Bu Arini belum mengerti dengan jelas apa gagasan yang Ayah maksud.
"Saya, akan biayai anak itu sampai lulus. Tapi, saya harap, dia mau membantu Arkan untuk mau belajar dan kembali ke sekolah, mungkin bisa saja dia memotivasi Arkan dengan pendekatan yang berbeda."
Senyum Bu Arini rekah, dia kini faham maksud Ayah. tentu saja dia setuju dengan gagasan brilian itu, dengan begitu Bu Arini bisa menyelesaikan masalah kedua muridnya. Terlebih Arkan dan Lanina bisa saling membantu satu sama lain.
Lanina butuh biaya, dan Arkan butuh motivasi.
"Apa pak Aria serius?" yakinkan Bu Arini.
"Ya, saya serius! Saya senang, kalau saya bisa membantu anak itu, dan saya harap anak itu bisa memberi pengertian dan semangat untuk anak saya!"
"Ini benar-benar ide yang sangat bagus, pasti Lanina senang sekali dengan kabar ini. Saya akan segera hubungi dia."
"Ya, semoga dia bersedia ya dengan permintaan saya."
"Dia pasti mau, Lanina pasti bisa jadi guru privat yang baik untuk Arkan."
"Semoga ...."
Setelah selesai dengan kesepakatan itu, Bu Arini menepati janjinya, dia datangi Arkan secara langsung.
Saat masuk ke dalam kamarnya yang berantakan, seketika hati Bu Arini terenyuh melihat seorang anak lelaki yang terluka karena perceraian kedua orang tuanya. Arkan masih bersikap dingin, dia tidak menunjukkan hormat sedikitpun pada wali kelasnya itu.
"Boleh saya duduk?" tanya Bu Arini, Arkan hanya memicingkan matanya lalu dia tak peduli lagi dengan sekitarnya. Dia hanya diam seolah-olah tak ada lawan bicara di sekitarnya.
Walau tanpa persetujuan, Bu Arini duduk di tepi ranjang Arkan.
"Saya gak tahu persis, apa yang yang kamu rasakan sekarang. tapi, ini bukan akhir dari segalanya. Jalan kamu masih sangat panjang, masa muda kamu masih menunggu untuk kamu nikmati," kata bu Arini mencoba memulai pendekatan.
"Arkan, pintu kelas saya selalu terbuka untuk kamu, mungkin, kamu memang butuh beberapa hari lagi untuk istirahat, saya akan ijinkan itu, tapi... kamu harus tetap belajar di rumah, apalagi beberapa bulan lagi kita akan menghadapi ujian nasional!" tambah Bu Arini dan Arkan belum memberi respon sedikitpun.
"Kamu harus tetap semangat, kamu harus tetap jadi anak yang membanggakan orangtua kamu!"
Tiba-tiba Arkan memicingkan matanya.
"Buat apa bu?" Arkan mulai bersuara.
"Tunjukan pada mereka, kalau dalam keadaan terpuruk pun kamu bisa membanggakan mereka!"
"gak! Buat apa saya sekolah, mereka juga gak bisa memenuhi keinginan saya!" kata Arkan tegas, dia sangat terluka dan Bu Arini bisa melihat itu dengan jelas.
"Arkan, buat mereka bangga ... dan kalau kamu berhasil, kamu akan membuat mereka malu, karena sudah mengabaikan keinginan kamu, yang kamu mau itu sederhanakan?"
Arkan tidak menjawab, dia hanya diam.
"Kamu cuma mau mereka ada di rumah ini bersama kamu kan?" tanya Bu Arini, dan pertanyaan itu cukup mengaduk emosi Arkan.
"Mungkin kamu masih terlalu dini untuk tahu dan mengerti tentang apa yang terjadi di antara mereka, tapi kamu gak perlu patah semangat, kamu adalah seorang anak yang masih punya hak untuk mendapatkan kasih sayang mereka secara utuh walaupun, mungkin dengan cara yang berbeda."
Arkan tersenyum kecut, dia sama sekali tidak tersentuh dengan kata-kata Bu Arini.
"Mereka sangat sayang sama kamu, hanya saja ...."
"Omong kosong! Rasa sayang mereka itu omong kosong! Mereka egois dan hanya memikirkan kepentingan mereka masing-masing!" kata Arkan penuh emosi, Bu Arini mencoba mengerti itu.
"Kelak, kamu akan mengerti!!"
Arkan masih terlihat kesal, Bu Arini bangkit dan bersiap untuk beranjak dari sana.
"Jangan berpikir kalau tidak yang peduli sama kamu, banyak orang-orang yang akan dengan senang hati membantu kamu kembali bersemangat menjalani hidup. Besok Lanina kesini, dia akan membantu kamu untuk merangkum pelajaran-pelajaran yang sudah kamu lewatkan," kata Bu Arini.
"Gak usah, terima kasih!" tolak Arkan.
"Dia akan sangat membantu, m ... saya pulang dulu ya," pamit Bu Arini lalu dia pergi dari sana meninggalkan Arkan yang sama sekali tidak peduli dengan rencana Ayah dan Bu Arini di esok hari.
Dia tidak peduli dengan apapun ....
Dia benar-benar tidak peduli!
Bersambung.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 49 Episodes
Comments
Haura
nanti mereka cinlok gak Thor ??
2021-05-05
0
Shitatantra❣
asyiiiik ini yg aku harapkan sejak bab awal tadi thor, lanina sama arkan bisa saling membantu jadi kek simbiosis mutualism gitu thor nina butuh biaya sekolah arkan butih motivasi, sip suka bgt deh
2020-12-20
1
Suharnik
Moga2 Lanina bisa memberi semangat untuk Arkan untuk kembali kesekolah, good job lanina👍👍👍💪💪💪
2020-12-16
2