Bab 2. Semakin sulit
Bu Warti hanya bisa menatap kepergian Soya hingga terdengar suara pintu di tutup Bu Warti baru berdiri dan masuk dalam kamar.
Bu Warti hanya menghela napas berat, menatap laki-laki yang terbaring lemah dengan wajah sembab dan kaki yang masih mengeluarkan darah. Bu Warti sejenak memeriksa luka sang suami dan seketika Bu Warti menghentikan gerakan tangannya saat melihat sang suami meringis kesakitan.
"Beruntung masih ada orang yang baik dan mau menolong," tutur Bu Warti dan sekali lagi menghela napas.
Suara adzan magrib sudah terdengar berkali-kali Bu Warti berdiri di depan pintu dengan sesekali melongokkan kepala ke arah jalan. Perasaan khawatir mulai menghantui Bu Warti saat Soya anak gadisnya tak kunjung pulang. Hingga teriakan Pak Kadir dari dalam kamar yang terus merancau memanggil nama Bu Warti.
Bu Warti dengan geram masuk dalam kamar.
"Pak. Kenapa Bapak terus saja berteriak. Apa Bapak tidak dengar jika masih adzan magrib!" ujar Bu Warti geram.
"Bu, Bapak haus. Kepala Bapak juga pusing," ujar Pak Kadir menghiba. Bu Warti yang tadinya geram kini sedikit meredakan ucapannya. "Lain kali jangan berteriak Pak!" tutur Bu Warti sembari berlalu dari kamar dan menuju dapur.
Bu Warti yang sedang mengambil gelas seketika terkejut saat mendengar teriakan dari luar.
"Kadir!" panggil seseorang yang berteriak memanggil hingga berulangkali sembari menggedor pintu rumah.
Bu Warti seketika meletakkan gelas yang di ambilnya dan berjalan sedikit tergesa, Bu Warti membuka pintu. Bu Warti menatap dengan heran laki-laki yang berdiri di depannya. "Anda siapa?" tanya Bu Warti ragu.
"Mana Kadir, laki-laki pengecut itu! Beruntung sekali Kadir masih hidup. Oh, rupanya pelajaran yang saya berikan masih kurang," ujar laki-laki ini sembari berdiri di depan pintu dengan tatapan nyalang. Tolong sampaikan pada Kadir, lekas kembalikan uang satu juta saya plus bunga," ujar laki-laki ini keras sembari berlalu pergi.
Bu Warti kini hanya bisa terdiam, lidahnya sejak tadi sudah kelu saat laki-laki tadi terus berteriak marah dan memaki. Bu Warti dengan tubuh gemetar menutup pintu dan berjalan menghampiri suaminya. Seketika tangis Bu Warti pecah dan tergugu di depan suaminya.
Pak Kadir yang sedari tadi mendengarkan percakapan sang istri dengan laki-laki di depan hanya bisa menatap sendu saat melihat sang istri menangis.
"Maafkan saya Warti," ujar Pak Kadir lirih.
"Pak, saya salah apa? Hingga Bapak, menyiksa batin Warti dan Soya, selama ini Warti tak pernah menuntut apapun," ujar Bu Warti di sela-sela isaknya.
Malam menjelang isya, menjadi malam yang begitu menyesakkan. Kadir hanya menatap wajah sang istri, hanya terlihat sorot mata Pak Kadir yang meredup penuh penyesalan.
"Bu. Bapak haus, tolong ambilkan minum," seru Pak Kadir lirih. Bu Warti seketika mengikis air matanya, Bu Warti yang masih geram dengan ulah sang suami kini hanya bisa mendengus kesal sembari menuju dapur. Membawa segelas air putih dan menyerahkan begitu saja pada sang suami. "Bu, bagaimana aku bisa minum jika tidur begini?" tanya Pak Kadir dan di jawab Bu Warti dengan kasar.
"Bapak selalu merepotkan!" ujar Bu Warti sembari mengangkat tubuh sang suami dengan kasar.
"Pelan-pelan Bu, lihat kaki Bapak kembali mengeluarkan darah," ujar Pak Kadir sembari meringis kesakitan.
Bu Warti seketika sadar akan sikap kasarnya dan segera melihat kaki Pak Kadir, "astafirullah," guman Bu Warti lirih sembari memberikan air putih pada sang suami.
"Bapak tidur saja, Ibu mau mencari Soya," ujar Bu Warti sembari keluar dari kamar setelah meletakkan gelas di meja.
Namun, langkah Bu Warti terhenti di ruang tamu saat melihat Soya duduk dengan termenung. "Soya, kamu sudah pulang?" tanya Bu Warti lega.
Soya hanya mengangguk sebagai jawaban.
"Bagaimana jualan sore ini?" tanya Bu Warti lirih. "Alhamdulillah jualan habis Bu, tetapi ... "ucapan Soya, terhenti begitu saja sembari menangis.
"Bu, uang hasil jualan kue di minta teman Bapak untuk membayar hutang Bapak dan Bapak masih menyisahkan hutang sebesar dua ratus ribu," tutur Soya di tengah isaknya.
Mendengar ucapan Soya Bu Warti kembali menghela napas dalam-dalam, tanpa banyak bicara Bu Warti langsung memeluk Soya erat seakan memberi ketenangan pada anak gadisnya. Hingga cukup lama Soya, menangis, "lalu, untuk makan kita esok bagaimana Bu!" ujar Soya pelan.
Bu Warti hanya bisa terdiam dan sehari ini saja Bu Warti hanya mengisi perutnya dengan segelas air.
"Soya. Besok kita jual kue sama-sama, tak apa besok pasti akan ada rezeki yang lain dan Ibu akan jualan dari pagi, Soya sekolah saja," tutur Bu Warti lirih sembari menatap jauh ke depan.
"Andaikan Bapak kamu tak segila itu, mungkin keadaan kita tak begini," ujar Bu Warti pelan.
"Soya," panggil Bu Warti lirih.
"Tadi ... "ucapan Bu Warti terhenti saat datang seorang laki-laki membuka pintu dengan kasar. "Mana suami kamu Warti, ingat dia punya hutang lima ratus ribu dan hari ini sudah jatuh tempo," ujar laki-laki ini sembari duduk di kursi ruang tamu begitu saja.
"Maaf, Pak! Suami saya sedang sakit, tolong beri kelonggaran pada saya," ujar Bu Warti memohon.
"Hah, kelonggaran apalagi. Kau tahu ini sudah enam bulan Warti dan uang itu juga di gunakan suami kamu untuk berjudi," ujar laki-laki ini marah.
Bu warti kini hanya diam, dadanya semakin sesak. "Pak beri kami waktu," ujar Bu Warti sekali lagi.
"Ash. Kau dan suami kamu sama saja!" ujar laki-laki ini sembari mengedarkan pandangannya ke seluruh ruangan sesaat senyum laki-laki ini terkembang, "ah, itu saja sebagai pembayaran hutang suami kamu," ujar laki-laki ini sembari menuju sepeda montor milik Bu Warti.
"Pak, jangan seperti ini! Meskipun sepeda ini buntut, tetapi masih saya gunakan untuk jualan kue dan harganya juga masih di atas lima ratus ribu," ujar Bu Warti.
"Argh, kau! Ambil lagi jika kau sudah melunasi hutang kamu," ujar laki-laki ini sembari mengeluarkan motor yang di parkir di ruang tamu.
Soya dan Bu Warti hanya menatap dengan tangisnya. Soya segera berlari ke kamar sang Bapak dengan amarah yang meluap. Soya seketika menatap tajam ke arah sang Bapak penuh dengan ke bencian. "Argh! Percuma Soya marah dengan Bapak dan perlu Bapak ingat, Soya tak akan berbelas kasihan dengan Bapak. Asal Bapak tahu mulai sekarang Bapak harus bisa merawat sakit Bapak sendiri," ujar Soya sembari berlalu dari kamar Bapaknya.
Malam ini Soya hanya bisa menangis sendiri di kamar, belum lagi sakit hati yang Soya rasakan. Hingga Soya mendengar teriakan keras dari seorang wanita.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 109 Episodes
Comments
Syhr Syhr
Kasihan kali Soya.
Suara siapa itu?
2023-01-29
1