Hari itu aku merasa sangat lelah setelah lama berkutat dalam masalah di kampus. Hati masih merasa gusar karena pengkhianatan yang dilakukan Gisel pada ku. Sekilas aku mengingat kebersamaan kami sejak SMA, dulu aku dan Gisel sangat akrab bahkan kami kerap kali berbagi makanan bersama. Bahkan orang tuanya pun sangat mengenali diri ku karena aku yang sering kali ke rumah Gisel untuk sekedar berbagi kisah dan menumpang makan.
Aku tak menyangka bahwa kami yang sudah sedekat itu bisa terpisah karena sebuah keegoisan. Aku membuka buku harian ku dan menuliskan kisah hari itu di dalamnya. Entah sejak kapan aku merasa buku harian adalah tempat terbaik untuk diri ku mencurahkan isi hati ku.
“Bunda, andai saja diri mu masih ada di sini. Tentu saja aku tak akan pernah merasa kehilangan teman.” Aku yang berharap Bunda masih ada menemani ku.
Dan tidak lama terdengar suara Ayah yang memanggil ku dari balik pintu kamar ku.
“Raya!. Apa kamu ada di dalam?.” Teriak Ayah.
“Iya, Ayah!. Sebentar!.” Aku pun membukakan pintu kamar ku untuk Ayah.
“Apa kamu baru pulang?.” Tanya Ayah.
“Ya, Ayah. Tumben Ayah kembali lebih cepat?.” Tanya ku yang heran Ayah ku hari ini pulang lebih awal dari pekerjaannya.
“Ayah ingin memberitahukan sesuatu kepada mu.” Ucap Ayah yang berbicara sedikit hati-hati, entah apa yang akan dibicarakannya saat itu dengan diri ku.
“Ada apa, Ayah?.” Tanya ku yang mulai sedikit penasaran.
“Ayah diberitahu oleh atasan Ayah untuk dinas ke Jerman.” Ucap Ayah yang seketika membuat ku membulatkan mata.
Pasalnya dengan ini Ayah akan pergi jauh dari ku, dan aku belum siap untuk ditinggalkan oleh nya.
“Ayah akan pergi sangat lama kali ini, bisa jadi Ayah tak akan kembali lagi ke sini. Apa kamu mau ikut dengan Ayah?.” Ucap Ayah yang lagi-lagi membuat ku membulatkan mata.
Karena dengan ini aku harus memilih antara Ayah atau Kak Joon. Aku pun belum siap bila harus meninggalkan cinta pertama ku saat ini.
“Ya Tuhan… apa yang harus ku lakukan?. Sangat berat untuk memilih.” Batin ku berteriak saat itu.
“Tenanglah sayang, Ayah tidak akan memaksa mu bila kamu tak ingin ikut dengan Ayah. Kamu bisa tinggal di rumah ini, dan Ayah akan terus mengunjungimu setiap tahunnya. Bagaimana?.” Ayah ku yang sangat tahu pemikiran putri satu-satunya ini.
“Ayah!. Maafkan aku!. Aku masih belum bisa memutuskannya.” Ucap ku sambil memeluk Ayah ku.
“Putri Ayah yang Ayah sayangi, pikirkanlah baik-baik sayang. Di Jerman kamu bisa menempuh pendidikan yang lebih baik dari di sini. Siapa tahu kamu bisa kuliah sesuai jurusan yang kamu inginkan yaitu arsitektur sama seperti Ayah?. Ayah akan berusaha mencari beasiswa di sana untuk mu.” Pinta Ayah agar aku memikirkan diri ku sendiri, sepertinya Ayah tahu apa yang membuat ku berat untuk memilih.
Hari itu Ayah memasak sup Iga kesukaan ku dengan bumbu asam manis yang membuat rasa dari iganya bertambah enak.
Sudah lama rasanya Ayah tidak memperlakukan diri ku seperti ini, ia selalu saja di sibukkan dengan pekerjaannya sebagai seorang arsitek.
Bahkan Ayah hampir setiap hari pulang tengah malam karena pekerjaannya yang menumpuk. Sepeninggal Bunda ku, Ayah tak pernah memikirkan wanita lain selain Bunda. Ia tak pernah sedikit pun memikirkan untuk menikah kembali, sudah beberapa kali keluarga Ayah maupun Bunda mencoba menjodohkan dirinya dengan wanita lain. Namun Ayah selalu menolaknya, sempat aku berpikir “Apa itu semua karena Ayah yang merasa tidak enak dengan ku?.”
Aku sungguh tak berpikir hingga sejauh itu, karena aku yakin apapun yang menjadi pilihan Ayah itu merupakan keputusan yang terbaik. Aku sebagai putrinya hanya bisa mendukung setiap keputusannya, karena bagiku kebahagiaannya adalah yang utama. Aku tak akan mengulang kesalahan yang ke dua kali hingga kejadian yang terjadi pada Bunda terjadi lagi pada Ayah ku.
Malam itu aku menghabiskan waktu yang bahagia bersama Ayah ku, kami makan malam bersama walau dengan menu sederhana namun itu sangat berharga bagi kami berdua.
***
Di kampus suasana kembali riuh, namun kali ini bukan karena gosip ku yang mengejar cinta Kak Joon. Tapi karena seorang mahasiswi pindahan baru dari luar negeri yang masuk fakultas yang sama dengan ku.
“Cantik banget wanita itu, pasti dia blesteran ya?.” Puji mahasiswa yang menatap mahasiswi pindahan itu.
Aku pun yang melihatnya ikut terkesima dengan kecantikan yang natural itu, dengan rambut coklat panjang terurai, bodynya yang tinggi semampai dan kulitnya yang sedikit bule itu menambah aura kecantikannya.
Ya bisa dikatakan sangat jauh dibanding kan diri ku yang sangat tidak mempedulikan penampilan. Aku selalu menguncir rambut ku karena diri ku yang malas merawatnya dan juga baju ku yang terkesan itu-itu saja karena aku sangat menyukai warna gelap dan sebagian besar baju yang ku kenakan hanyalah kaos oblong hitam. Sampai Ratna sering kali menegur diri ku yang cuek akan penampilan.
“Gimana bisa Si Junaedi naksir kamu?. Coba liat penampilan kamu aja gak berwarna!.” Protes Ratna yang selalu ia lontarkan karena penampilan ku yang cuek itu.
Yah, meskipun aku yakin bila memang Kak Joon menyukai ku, dia pasti akan menyukai ku apa adanya. keyakinan yang selalu ku tanamkan dalam hati, ketika melihat banyaknya wanita cantik yang menempel pada Kak Joon.
Mahasiswi baru itu pun memperkenalkan dirinya, ia bernama Jane dan ia merupakan mahasiswi asal Korea Selatan. Dan ia kemari masuk jurusan Sastra Indonesia, tampaknya ia sangat berkebalikan dengan ku, aku yang mengambil jurusan Sastra Korea namun aku berasal dari Indonesia, dan dirinya yang mengambil jurusan Sastra Indonesia namun berasal dari Korea.
Tidak ada yang aneh dengan ini, hanya saja aku memiliki suatu firasat karena adanya suatu kebetulan seperti ini. Dan benar adanya firasat ku saat itu, di kantin kampus aku melihatnya berbicara dengan sangat akrab dengan Kak Joon. Aku pun awalnya mengira bahwa mereka hanyalah teman biasa, namun ternyata dugaan ku sepertinya salah. Saat tak sengaja melihat mereka saling berpelukan dan pergi dengan mobil yang sama.
“Apakah ini adalah akhir dari perjuangan ku?.” Batin ku yang tak tahan dengan kedekatan mereka. Ingin rasanya aku bertanya secara langsung pada Kak joon, namun selalu saja waktu yang tak mengijinkannya.
Beberapa hari ini hati ku gusar melihat kedekatan Kak Joon dan wanita itu. Aku pun mulai sering menyendiri dan menghindari orang-orang di kampus karena tak ingin jadi bahan olok-olokan yang lain. Begitu pun dengan Ratna akhir-akhir ini pun aku juga menghindarinya, entah mengapa aku lebih suka sendiri.
Hingga saat di perpustakaan Ratna menghampiri ku yang tengah melamun di sudut ruangan.
“Hoy!. Kamu kenapa sih Raya?. Akhir-akhir ini kok kayaknya sering menghindar deh?.” Tanya Ratna.
“Eh Na, enggak aku lagi fokus minggu depan kan kita UAS.” Ucap ku bohong.
“Yakin?. Kamu gak papa kan?.” Tanya Ratna yang sangat tahu tentang diri ku.
“Bisa kita bicara sebentar?.” Pinta Ratna.
“Baiklah, ayo kita ke kantin depan saja.” Ucap ku yang tak ingin bertemu Gisel dan kawanannya.
Sesampainya di kantin dekat gerbang kampus, Ratna langsung menatap ku dengan tatapan menyidiknya. Aku yakin kali ini aku dipaksa jujur kepadanya.
“Kamu bisa cerita sekarang!.” Pinta Ratna yang tak ingin aku menyembunyikannya lagi.
“Aku hanya ingin sendiri, Na.” Ucap ku pada Ratna tanpa niat berbohong sama sekali.
“Cuma itu?. Ini pasti ada hubungannya dengan si Junaedi dan gadis Korea itu kan?.” Ucapan Ratna yang langsung membuat ku berkaca-kaca. Ingin aku menangis tapi aku masih mencoba untuk menahannya.
“Benar kan?.” Tegas Ratna yang mencoba mencari kejujuran di mata ku.
Setelah pertanyaan itu, aku pun tak dapat menahan rasa sedih ku, saat itu juga air mata ku mengalir tanpa permisi dari sudut mata ku. Aku malu mengakui bahwa aku merasa seperti seorang yang telah kemalingan. Seolah barang berharga ku yang paling ku jaga selama 10 tahun ini, telah berhasil di ambil orang lain. Aku sangat malu mengakuinya…
“Aku bodoh, Na!.” Aku menangis sejadi-jadinya di hadapan Ratna saat itu.
Ratna yang melihat aku yang tak kuasa menahan beban yang ku pikul, memberikan bahunya untuk ku bersandar dan menangis.
“Aku sudah gila, karena menyukai dia!.” Ucap ku yang tak hentinya menyalahkan diri ku sendiri karena menyukai seseorang bertahun-tahun dengan sia-sia.
“Sudahlah, aku tahu lambat laun hal ini akan terjadi juga. Biarlah ini menjadi pembelajaran untuk mu.” Ucapan Ratna yang seketika mengingatkan diri ku akan ucapan Bunda dulu.
“Raya, cinta itu tak harus memiliki. Cintailah dirimu sendiri, sebelum dirimu mencintai orang lain.” Kata-kata yang selalu terngiang di pikiran dan juga telinga ku saat diri ku yang sedih karena penolakan Kak Joon.
Kali ini aku meyakini diri ku sendiri bahwa aku harus bisa melupakan Kak Joon Woo, dan itu merupakan hal yang harus aku lakukan saat ini, yaitu melepas rasa cinta ku dengan Kak Joon Woo.
“Na, kayaknya aku nyerah.” Ucap ku setelah satu jam lamanya menangisi Kak Joon.
“Kamu yakin?.” Tanya Ratna yang masih belum yakin dengan keputusan ku.
“Kali ini aku yakin!. Aku akan melupakan dia tanpa tersisa.” Tegas ku.
***
Hari pun berganti aku menyelesaikan semua mata kuliah ku dengan nilai yang outstanding. Aku pun berhasil mempercepat masa kuliah ku di kampus dan tinggal mengambil skripsi dalam waktu dekat.
“Raya, kamu kok mempercepat masa kuliah kamu?. Kenapa?.” Tanya Ratna.
“Iya, Na. Karena aku mau ikut Ayah tinggal di jerman tahun depan. Maaf aku baru bilang.” Ucapan ku yang langsung membuat Ratna terkejut.
“Apa?. Kamu teman macam apa Raya?.” Kesal Ratna kepada ku.
“Maaf, Na. Aku akhir-akhir ini juga sibuk mengurus pindahan. Aku juga lagi sibuk ambil kursus bahasa Jerman di kedutaan. Kamu tahu syarat untuk pindah ke luar negeri itu bagaimana?.” Ungkap ku yang tak ingin Ratna berlarut-larut dengan rasa kesalnya.
“Tapi kan kamu bisa ngomong sama aku dari awal. Jadi setidaknya aku bisa mempersiapkan diri untuk di tinggal kamu.” Ucap Ratna yang sedikit dengan nada tinggi itu.
“SStt!. Biar ini menjadi rahasia kita berdua. Aku gak ingin orang-orang tahu kepergian ku, terutama Kak Joon. Biarlah aku pergi tanpa menghilangkan jejak di sini.” Ucap ku yang masih sedikit terngiang akan Kak Joon.
“Hey!. Mulai lagi deh!. Ingat!. Kamu udah Move On!.” Tegas Ratna yang selalu mengingatkan ku bahwa Kak Joon adalah masa lalu.
“Eh iya benar juga!. Maaf aku hanya teringat sedikit.” Lalu aku pun membawa Ratna menjauh dari lorong kampus dan mendekat ke arah taman.
Di sana secara tak sengaja kami berdua bertemu dengan Kak Joon dan Jane. Dan Jane yang sedang asik bergelayut mesra dengan Kak Joon melihat diri ku yang datang bersama Ratna, lalu ia pun mendekati kami berdua.
“Hei kamu yang bernama Raya?.” Jane yang menyapa ku dengan bahasa Indonesianya yang lancar seakan ia telah lama berada di negara ini.
“Hai, benar itu aku.” Ucap ku canggung karena Kak Joon menatap ke arah ku.
“Kamu teman dari kecilnya Joon, bukan?.” Tanya Jane kembali.
“HHmm… Iya benar aku tetangganya.” Ucap ku ragu-ragu sambil melirik ke arah Kak Joon, karena aku takut Kak Joon tak mengijinkan diri ku memberitahu seputar kedekatan ku dengannya. Namun lirikan Kak Joon saat itu seolah memberikan kode bahwa diri ku boleh berkata jujur.
“Aku sangat senang bisa mengenal mu, boleh kah sejak saat ini kita menjadi teman dekat?.” Pinta Jane yang meminta untuk menjadi teman ku.
Namun aku menolaknya, karena aku tidak membutuhkan teman saat ini apalagi orang itu adalah kekasih dari lelaki yang aku cintai selama 10 tahun. Apa kata dunia?.
“Maaf aku sangat sibuk karena harus menyusun skripsi secepatnya. Maafkan aku!.” Lalu aku pun pergi sambil menarik lengan Ratna dan bergegas menjauh dari mereka berdua.
Pikiran ku saat itu kembali kalut, sepintas rasa sakit kembali menghampiri ku. Sesak rasanya melihat kebersamaan mereka yang membuat hati ini tercabik-cabik hingga tak tersisa.
“Apa dia sudah gila meminta ku jadi temannya?. Apa ia tidak tahu bahwa aku sudah menyukai Kak Joon 10 tahun lamanya?.” Batin ku menangis mengingat permintaan dari kekasih Kak Joon.
“Raya!.” Panggilan dari Ratna yang seketika membuyarkan lamunanku.
“Kamu gak papa?.” Tanya Ratna yang merasa cemas dengan diri ku yang tiba-tiba menariknya paksa seperti itu.
“Tidak, aku tidak apa-apa.” Aku akhirnya berhasil menahan air mata ku agar tak terjatuh saat itu.
Aku sudah berjanji kepada Ratna bahwa sesedih apapun diriku, aku tak akan pernah menangisi Kak Joon lagi. Aku harus menepati janji itu, setidaknya itu juga mengurangi rasa bersalah ku kepada mendiang Bunda.
Dan aku yakin kali ini aku bisa melupakannya, tekad ku sudah bulat dan tak akan mungkin ada orang lain yang dapat merubahnya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 74 Episodes
Comments