Di hari itu cuaca sangat cerah secerah hatiku yang sangat gembira di kala bermain dengan ke dua orang tuaku di taman bermain tak jauh dari rumahku berada. Aku bermain tangkap bola dengan Ayahku, karena itu adalah permainan favorit diriku dan Ayah saat aku kecil. Aku yang berumur 8 tahun itu, bermain dengan bahagianya walau Lelah terasa namun aku menyukainya.
“Raya, apa kamu capek sayang?.” Tanya Ayah.
“Tidak Ayah!. Ayo kita lanjutkan kembali!.” Pintaku pada Ayah yang ingin melanjutkan permainannya kembali.
“Hati-hati Raya nanti terjatuh!.” Teriak Bunda dari kejauhan.
Namun aku tak peduli karena aku sangat bahagia dengan permainan ini. Hingga tanpa sengaja kaki ku terkilir dan terjatuh di taman, dan akhirnya aku bangun dan memegangi lutut ku yang beradu dengan aspal. Tak lama ada sebuah tangan yang terulur di hadapan ku, tangan yang tampak seperti milik anak laki-laki. Aku pun mengangkat wajah ku ke arah sang pemilik tangan.
Sontak wajahku terkesima dengan mahakarya ciptaan Tuhan yang tepat berdiri dihadapan ku. Aku melihat seorang anak laki-laki yang lebih tua dari ku mengulurkan tangannya untuk membantu ku berdiri. Dan tanpa berpikir panjang aku pun membalas uluran tangannya.
“Ya ampunn…!. Tangan kakak ini sangat halus!. Dan kulitnya pun putih seputih kapas.” Batinku saat itu.
Di saat aku berhasil berdiri dari posisiku sebelumnya, tak lama suara seorang lelaki paruh baya memanggil anak lelaki tersebut.
“Joon!. Joo Woo!.” Panggil lelaki paruh baya tersebut.
“Ya!. Kakek!.” Jawab anak lelaki tersebut. Iapun bergegas melepaskan tangannya kepadaku dan langsung berlari menghampiri lelaki paruh baya tersebut.
“Oh Namanya Joon Woo?. “ Akhirnya aku tahu siapa namanya.
“Kakak!. Terima kasih!.” Teriakku kepada anak lelaki itu, namun sepertinya anak lelaki itu tak mendengar teriakan ku.
***
Hari pun berganti aku masih saja memikirkan anak lelaki tampan yang menolongku saat itu. Anak lelaki dengan perawakan Asia Timur, memiliki kulit putih dan memiliki wajah yang sangat tampan. Aku sungguh dibuat penasaran akan sosoknya. Mungkin ini yang namanya cinta pada pandangan pertama.
“Tapi aku kan masih kecil?. Apa yang kupikirkan?. “ Batin ku mengelak kalau aku sudah jatuh cinta pada anak laki-laki itu.
Hingga beberapa bulan kemudian diketahui ada tetangga baru yang menghuni rumah persis di samping rumahku. Dan aku pun terkejut ternyata tetangga baru ku saat itu adalah Joon Woo anak lelaki yang membantuku saat di taman. Aku sangat senang mengetahuinya, dan mulai saat itu aku selalu mencari tahu tentang dirinya serta mencoba mendekatinya.
“Kak Joon!. Salam kenal namaku Raya!.” Sapa ku pada Joon Woo.
“Hai, namaku Joon. Joon Woo!.” Dengan wajah ramahnya Joon Woo membalas sapaanku.
Seiring berjalannya waktu aku selalu mendekati Kak Joon tanpa kenal lelah. Kak Joon selalu menyempatkan waktunya untuk bermain bersamaku, baik setelah pulang sekolah maupun di hari liburnya. Hingga orang tua ku pun tak habis pikir dengan tingkah ku yang tak bisa lepas darinya.
Akhirnya Kak Joon pun masuk sekolah tingkat pertama, waktunya mulai terbuang dengan kegiatan belajar mengajar di sekolahnya hingga tak dapat selalu menemani ku bermain. Sampai aku memutuskan untuk mengikuti ke manapun Kak Joon berada dan aku pun berakhir satu SMP dengan dirinya.
Aku merasa bahagia di dekat Kak Joon, kebiasaan itu membuat ku nyaman hingga tak ingin berpisah darinya. Dan ide gila pun terlintas dibenak ku, aku memutuskan untuk menembak kak Joon pada hari kelulusannya. Hari di mana persahabatan ku mulai rusak karena hal itu.
“Kak Joon!. Aku menyukaimu!. Jadilah pacarku!.” Dihadapan para siswa dan siswi SMP lainnya aku menyatakan cintaku di hadapan Kak Joon. Namun apa yang terjadi Kak Joon berkata bahwa dirinya hanya menganggap ku sebagai seorang adik dan tidak lebih. Saat itu dunia ku terasa runtuh seketika, penolakan pahit yang terucap dari kata-kata Kak Joon membuatku roboh dari posisiku saat itu.
“Ya Tuhan, apa yang terjadi Kak Joon menolak ku!.” Batinku yang merana karena ditolak Joon Woo.
Namun aku tak menyerah begitu saja, aku pun masih berharap perubahan Kak Joon Woo kepadaku. Aku mulai berusaha mencari tipe wanita kesukaannya dan berusaha mencari jejak perempuan yang pernah dipacari olehnya. Tapi sayang Kak Joon Woo belum pernah sekalipun menjalin cinta. Karakter dirinya yang terkesan ramah namun dingin di dalam dan tak tersentuh oleh perempuan manapun termasuk diriku.
Saat-saat SMA yang dihabiskan orang lain untuk menikmati masa muda mereka, namun tidak denganku. Aku menghabiskan waktu berharga ku hanya untuk mengejar Kak Joon Woo, tetanggaku yang tampan. Dan seiring berjalannya waktu pula terjadi perubahan akan sikap Kak Joon terhadapku. Ia mulai memberikan jarak diantara kami, dan ia mulai tak pernah mencari ku ke rumah walau hanya sekedar bertegur sapa. Akankah itu sikapnya karena diriku yang mulai menyukainya sebagai seorang laki-laki?. Aku berusaha berpikir positif dari perubahan sikapnya itu.
Hingga suatu hari aku menemukan Kak Joon yang sedang tertidur di bawah rindangnya pohon manggis di belakang sekolah. Aku pun menghampirinya dan diam-diam memandangi wajah tampannya dari kejauhan.
“Ya Tuhan, tampan sekali Kak Joon!.” Kagum ku melihat Kak Joon yang tampan saat tertidur.
Hingga aku melihat teriknya matahari mulai mengganggu ketenangan tidurnya. Dan akhirnya aku pun mulai mendekati dirinya dan diam-diam menghalangi terik matahari yang menyilaukan matanya dengan kedua tanganku.
“Tidak apa-apa walau hanya sebentar aku bisa memandangi wajahnya dari dekat.” Sungguh suatu anugrah yang luar biasa dapat merasakan saat-saat seperti ini. Dan karena hari itupun aku bertekad untuk kembali menyatakan cintaku kepada Kak Joon di hari kelulusan SMA-nya nanti.
Dan hari itupun terulang kembali dengan penolakan Kak Joon terhadapku. Lagi-lagi aku hanya bisa menelan pil pahit dengan kata- kata penolakan yang dilontarkan Kak Joon kepadaku. Dan lagi-lagi kata-kata yang sama, yang dulu pernah dirinya ucapkan yaitu hanya menganggap ku sebagai adiknya saja.
“Tidak apa-apa Kak Joon, ini baru awal. Aku akan terus berusaha agar kau dapat melihat ketulusanku!. Dan aku akan meyakinkan dirimu bahwa kau melihatku sebagai seorang wanita!.” Kata-kataku yang ku ucapkan di hari penolakan ke dua ku.
Hari itu aku pulang dalam keadaan sedih tak berujung akibat penolakan Kak Joon, badanku lunglai tak bertenaga. Aku mencoba menggerakkan kaki ku menuju rumah walau terasa berat. Pintu pun ku buka dengan kasarnya, dan siapa sangka hal yang mengejutkan terjadi bertepatan di hari itu. Aku pulang dalam keadaan rumah yang kosong tanpa ada keberadaan Ayah dan Bunda yang tiba-tiba.
Dan tak berapa lama aku dikejutkan dengan suara ponsel dari dalam tasku. Dan ternyata itu adalah panggilan dari Ayahku.
“Raya, Bunda sudah tidak ada!.” Mendengar perkataan Ayahku dunia ku runtuh seketika, pandangan ku mulai buram akibat air mata yang tak terbendung keluar dari pelupuk mataku. Aku tak kuasa menahan rasa sesak di dalam dada yang harus menerima kepergian Bunda yang tiba-tiba.
Hari itu aku teringat kembali perkataan Bunda terakhir kali.
“Raya, cinta itu tak harus memiliki. Cintailah diri mu sendiri, sebelum diri mu mencintai orang lain!.” Kata-kata itu terngiang kembali di ingatan ku.
“Aku sungguh menyesali semuanya, mengapa aku tak mempedulikan Bunda yang sakit-sakitan?. Kenapa aku bodoh hanya karena cinta, Bunda!. Maafin Raya Bunda!.” Tangisku pecah hari itu.
Selepas kepergian Bunda aku hanya tinggal berdua bersama Ayah dan Ayah yang sibuk dengan pekerjaannya selalu saja menitipkan ku kepada Kak Joon. Karena ia tahu kalau aku dekat dengannya, namun ia tak tahu bahwa hubungan kami tidaklah seperti dulu. Walau di mulutnya Kak Joon mengucapkan janjinya untuk menjaga ku namun pada kenyataannya Ia tak pernah mempedulikan ku. Ia semakin dingin saja terhadapku dari hari ke hari.
Walau di hadapan Ayahku dirinya bersikap seperti kakak yang baik di hadapan ku. Namun berbeda jika dirinya berada di lingkungan sekolah, Kak Joon selalu menghindari ku seolah aku adalah lalat yang menganggu.
Aku melalui hari-hari yang berat sepeninggal Bunda dengan selalu bercerita tentang kenangan manis ku dalam mengejar Kak Joon. Padahal semua adalah cerita bohong yang ku karang agar mendiang Bunda tidak khawatir akan diri ku yang masih saja bertepuk sebelah tangan dengan Kak Joon.
“Bunda, hari ini Kak Joon menemani ku belanja sepatu kesukaan ku dan sepatu ini adalah pilihannya. Lihatlah Bunda!.” Ucap Raya sembari menunjukkan sepatu baru yang telah ia beli di hadapan makam Bundanya. Walau ucapannya hanya bohong belaka.
“Bunda, mulai besok aku akan pergi bareng ke sekolah dengan Kak Joon. Kak Joon berjanji mulai besok ia akan ke sekolah bersama dengan ku!.” Ucapan bohong yang berulang kali di ucapkan dari mulut Raya seakan semua ucapannya itu adalah kenyataan yang ada.
“Maaf Bunda, aku mencoba melupakan Kak Joon. Tapi hati ini entah mengapa tak mampu untuk menjauhinya. Maafkan aku!.” Air mata yang turut meleleh seiring penyesalan Raya terhadap pilihannya.
Isak tangis yang kemudian menggema di makam itu, Raya tak kuasa menahan kesedihannya ditinggal pergi oleh Bunda tercintanya.
“Bunda!. Kenapa kau pergi dengan cepatnya?. Padahal aku masih membutuhkan mu di sini!. Lihat aku!. Masih banyak yang ingin aku ceritakan kepada Bunda!. Hiks!. Hiks!.” Raya tertunduk lesu di hadapan batu nisan Bundanya, lututnya lemas hingga tak dapat diangkat dari tumpuannya.
Raya menangis seolah Bundanya kini berada di hadapannya, seandainya waktu dapat di putar kembali ingin rasanya Raya memeluk Bundanya itu hingga hembusan nafas terakhirnya. Apakah bisa waktu di putar kembali?.
Hari itu TPU menjadi saksi di mana Raya menyesali perbuatannya yang tak mempedulikan kesehatan Bundanya. Ia tahu Bundanya itu menderita penyakit kronis yaitu kanker rahim dan sudah memasuki stadium 3. Namun karena Bundanya tak pernah mengeluh dan menunjukkan penyakitnya itu, oleh karena itu Raya tak menghiraukannya seolah Bundanya itu tak pernah memiliki penyakit, yang ia hanya tahu Bundanya selalu tersenyum saat ditanya soal penyakitnya.
Dan Raya akhirnya memilih tak mempedulikan soal penyakit Samira Bunda nya, iapun hanya fokus dalam mengejar cinta Kak Joon. Hingga di titik terakhir Samira yang tak pernah melibatkan siapapun, Ia hanya menghubungi suaminya Farid untuk membawanya ke rumah sakit dan berkata ia minta diperiksa soal penyakitnya. Dan justru di mana ia memeriksakan penyakitnya itu, itulah akhir dari hidup Samira.
Mendadak Samira pingsan tak sadarkan diri di lorong rumah sakit saat dirinya hendak di bawa ke ruang CT Scan. Dan Iapun langsung di bawa ke ruang ICU, dan beberapa menit kemudian Samira meregang nyawa. Ternyata penyakit Kanker Samira sudah mencapai stadium akhir, hanya ia tak ingin merepotkan suami dan anaknya, sehingga ia memilih untuk merahasiakan kondisinya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 74 Episodes
Comments
Nabilah
sedih banget hidupnya raya :(
2023-01-06
0
yuniarti kamaria
sedih tapi mau marah sama raya dengan sikapnya ke ibu nya karena seorang laki2
2023-01-02
0