Tepat pukul sebelas malam Luna masuk ke dalam rumah dan mengendap seperti seorang maling. Gadis itu mengusap dadanya lega karena melihat semua lampu sudah mati, pertanda kalau penghuni rumah sudah tidur.
"Dari mana saja kamu Luna Xaviera." teriak Nathan dengan wajah yang sudah memerah menahan marah. Ia menyalakan lampu ruang tengah dan berkacak pinggang melihat putrinya yang terlihat santai tanpa dosa.
Luna memutar bola mata malas dan menyelonong masuk ke dalam tanpa menjawab ucapan Ayahnya. Namun langkah kakinya terhenti saat melihat Vienna dan juga Clarissa berdiri di hadapannya.
"Kamu lihat sekarang jam berapa?" tanya Nathan hendak mendekati Luna namun ditahan oleh Clarissa, istrinya.
"Sabar sayang, biarkan Luna masuk ke kamarnya."
"Tidak! Gadis nakal ini harus di beri hukuman."
Melihat adegan bak drama ikan terbang tersebut membuat Luna muak, ia menganggap apa yang dilakukan oleh Clarissa hanyalah pura-pura semata untuk menarik perhatian Ayahnya.
"Apa sudah selesai dramanya? Aku mau ke kamar ngantuk." ketus Luna melewati mereka semua begitu saja. Namun tiba-tiba tangan kekar menarik lengan nya dan sebuah tamparan keras mendarat di pipinya.
Plak!
"Ayah!'' pekik Vienna tidak menyangka jika Ayahnya akan melakukan hal ini pada adiknya.
Luna tersenyum kecut menerima perlakuan Nathan. Dengan mudahnya seorang Ayah melayangkan sebuah pukulan dan menyakiti putri kandungnya sendiri.
"Sudah puas? Jadi ini kasih sayang yang selama ini Ayah maksud? Aku benar-benar kecewa pada Ayah.'' ucap Luna sebelum ia berlari masuk ke kamar dan mengabaikan mereka semua.
Nathan terdiam, ada sedikit rasa sesal di dalam hatinya karena sudah melakukan ini pada putrinya. Untuk pertama kalinya ia mengangkat tangan dan menyakiti Luna. Tapi semuanya sirna saat melihat apa yang sudah Luna lakukan selama ini.
''Ayah benar-benar keterlaluan.'' ucap Vienna berlari menyusul Luna.
Vienna perlahan mengetuk pintu kamar adiknya dan masuk.
"Luna, maafkan Ayah ya." Vienna memeluk adiknya yang sedang menangis di tepi ranjang. "Kakak yakin Ayah tadi hanya sedang lelah karena pekerjaan di kantor ditambah lagi kamu yang belum pulang dan..."
Luna menoleh ke arah Vienna, dengan cepat gadis itu menghapus air mata yang sejak tadi mengalir di pipi adiknya. "Perusahaan Ayah sedang goyah. Saat emosi nya reda besok, pasti Ayah sudah tidak marah lagi padamu.'' ucapnya mencoba menenangkan Luna.
Luna enggan menjawab ucapan Vienna. Ia memilih untuk diam dan merebahkan dirinya di atas ranjang lalu memejamkan matanya erat. Berharap besok bisa melupakan apa yang terjadi hari ini.
*
*
*
Keesokan harinya, Luna sudah bersiap untuk berangkat ke sekolah. Gadis belia itu sama sekali tidak mempedulikan Clarissa yang sejak tadi memanggil namanya dan terus saja berjalan keluar.
"Nona hari ini saya akan mengantar anda ke sekolah atas perintah Tuan Nathan." ucap supir yang sudah menunggunya sejak tadi.
Luna mengangguk dan segera masuk ke dalam mobil tanpa mau berdebat seperti biasanya. Karena gadis itu selalu saja menolak jika di antar sopir dan memilih untuk naik angkutan umum.
Sesampainya di depan gerbang sekolah, Luna segera turun dan berniat mencari Zelin. Ia ingin memberi sahabatnya itu pelajaran karena sengaja meninggalkannya di Club tadi malam.
''Itu dia, lihat saja aku akan.....'' belum selesai Luna bicara, langkah kakinya terhenti saat mendengar seseorang berteriak memanggil namanya.
"Luna Xaviera!''
Luna terdiam, gadis itu sangat mengenali suara yang baru saja meneriakkan namanya. 'Mampus! Itu pasti si Guru killer menyebalkan. Aku harus segera kabur dari sini' gumam Luna sambil mengambil ancang-ancang hendak berlari dari sana.
"Berani kamu berniat kabur, nilai matematika kamu akan saya kurangi. Dan saya akan melaporkan kelakuan kamu semalam pada kepala sekolah supaya kamu di skors!" ancam Devan membuat Luna tidak bisa berkutik dan berkali-kali menelan saliva dengan susah payah.
"Jangan dong Pak. Saya siap menerima hukuman apapun asal jangan di skors. Bisa-bisa Ayah saya semakin murka dan mengutuk saya jadi kodok." ucap Luna dengan wajah memelas dan bibir monyong ke depan.
''Kamu pikir saya peduli?! Lari keliling lapangan dua puluh putaran tanpa jeda dari sekarang." perintah Devan membuat Luna melotot tajam dan mengangkat tangan kanan nya berniat untuk protes.
"Jika kamu protes hukuman ditambah tiga kali lipat.'' tegas Devan tanpa mau mendengar alasan Luna.
''Tapi saya belum sarapan Pak, bagaimana kalau saya pingsan dan..."
Devan melipat tangan di bawah dada dan menatap tajam ke arah Luna. Mau tidak mau gadis itu berlari menuju ke lapangan dan melaksanakan hukuman yang Devan berikan.
Luna mengacak-acak rambutnya frustasi. Sial sekali nasibnya nasibnya sejak tadi malam. Bahkan rasa sakit karena tamparan sang Ayah saja masih terasa.
Di tambah lagi Luna belum sarapan dan sekarang harus berlari mengelilingi lapangan yang luasnya dua kali lipat lapangan bola biasa. 'Dasar Guru killer sialan. Lihat saja aku akan membuat perhitungan denganmu nanti'
...----------------...
Devan Alexander, 30 tahun.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 60 Episodes
Comments
Alivaaaa
keren 👍
2024-07-21
0
Nirwati Mapparessa
pemeranx suka banget
2023-08-19
1
Ruk Mini
dih..30 taon cute bgt thorr
2023-07-02
0