Niana berangsur meraih gelas berisi air mineral yang sudah disajikan oleh Dany untuk dirinya. Selanjutnya ia menyesap minuman tersebut sampai tiga kali tegukan. Ia meletakkan kembali gelas itu dan mulai menghela napas panjang setidaknya untuk menenangkan hatinya. Saat ini ia sudah berusaha agar tidak lagi menitikkan air mata. Dany memang teman dekatnya sejak lama, tetapi bersikap manja dan lemah di hadapan pria itu rasanya bukan keputusan yang bagus. Apalagi saat ini Niana bukan lagi seorang mahasiswi berusia belia, dirinya sudah menjadi wanita dewasa dan bahkan telah menyandang status sebagai istri dari seorang lelaki tak berperikemanusiaan.
“Maafkan aku, padahal jam makan siang masih setengah jam lagi,” ucap Niana tanpa menatap Dany. Ia terus menunduk dengan bola matanya yang bergerak ke kanan maupun kiri. “Tapi, jika jam makan siang tiba, biasanya kamu akan memiliki agenda untuk bertemu dengan relasimu. Membuatku tidak punya pilihan lain, selain menemuimu saat ini juga, Pak Dany. Jujur saja, aku sudah tidak menyimpan nomor ponselmu lagi, jadi, aku tidak bisa mengirimkan pesan pribadi padamu. Sekali lagi maafkan aku yang sudah mengganggu jam kerjamu.”
“Pak Dany?” sahut Dany sembari mengernyitkan dahinya. “Sampai saat ini aku tidak terbiasa ketika kamu memanggilku demikian, Niana. Kita sudah berteman sejak lama. Aku, kamu, Dominic, Keisya, dan Rubel. Dan sekarang yang tersisa hanya kita berdua, maksudku yang masih bisa bertatap muka hanya kamu dan aku. Aku benar-benar sedih saat kamu memutuskan untuk menjauh dariku, lalu tiba-tiba datang lagi sembari menangis seperti ini.”
Niana menelan saliva dengan susah-payah. Jujur saja, ia paling tidak mau merepotkan orang lain. Apalagi setelah dirinya memutuskan untuk membangun tembok antara dirinya dan Dany selama dua tahun terakhir. Namun untuk kali ini saja, Niana ingin sekali meminta bantuan dari pria itu. Sebuah bantuan yang akan membuat rencananya berjalan dengan lancar.
“Sekali lagi maafkan aku, Pak ... maksudku, Dany,” ucap Niana. Mungkin meminta maaf tidak akan membuat hati Dany merasa lega setelah apa yang ia lakukan terhadap pria itu, tetapi ia pun tidak tahu harus berbuat apa lagi selain memohon sedikit ampunan sekaligus pengertian.
Dany menghela napas. “Sudahlah, aku tidak membutuhkan maaf darimu lagi. Aku rasa aku masih bisa memahami situasimu yang telah menjadi istri orang. Kamu pasti tidak ingin membuat suamimu merasa cemburu, bukan? Sekarang ... jika kamu memang masih menganggapku sebagai teman, tolong katakan mengapa kamu menangis dan secara mendadak ingin bertemu denganku, Niana. Tatap mataku dan bicaralah padaku, Niana.”
Niana menggigit bibir bawahnya. Dalam beberapa saat dirinya dilanda kebingungan. Haruskah ia menatap netra cokelat milik Dany atau tetap menundukkan kepalanya? Karena sesungguhnya ia masih tidak mampu untuk menunjukkan wajahnyadi hadapan pria itu. Ia sudah terlalu tidak tahu malu ketika memutuskan untuk menghampiri Dany yang selama ini tidak hanya ia jauhi, tetapi juga telah menjadi atasannya sendiri. Berhadapan dengan Dany hanya akan membuatnya menjadi wanita tidak tahu diri yang datang ketika sedang membutuhkan bantuan saja. Niana benar-benar tidak mampu mengangkat kepalanya!
“Niana?” ucap Dany. Ia nyaris kehilangan kesabaran. Namun kondisi Niana yang tampak rapuh membuat dirinya harus tetap menahan kejengkelan yang nyaris menguasai dirinya. “Dulu ... saat dicampakkan oleh kekasihmu, kamu pasti datang seperti ini padaku. Menangis seperti anak kecil yang kehilangan mainan. Kamu bilang aku bisa menjadi pendengar yang baik daripada Keisya, Dominic, maupun Rubel, sehingga kamu selalu datang padaku ketika sedang dirundung masalah. Tapi, ... haha, kamu tidak mungkin dicampakkan oleh pasanganmu seperti kala itu, ‘kan?”
Niana mengepalkan kedua telapak tangannya. Dan masih tanpa menatap Dany, ia berkata, “Sepertinya, bagiku kamu masih menjadi orang yang paling tepat sebagai tempat menceritakan masalahku, Dany. Sejujurnya, aku tidak berniat untuk membuatmu terbebani seperti saat kita masih muda. Tapi, saat ini aku sangat membutuhkan bantuan darimu, Dany. Agar aku bisa membalas perbuatan pasanganku yang membuatku lagi-lagi merasa dicampakkan.”
Wajah Dany menunjukkan ekspresi syok setelah mendengar ucapan terakhir Niana. “Apa maksudmu, Niana? Maksudmu Endri mencampakkan dirimu? Bukankah selama ini pernikahan kalian baik-baik saja? Ah sial! Benar juga, sejak kalian menikah, aku nyaris tidak mendengar kabar kalian sama sekali. Aku sungguh tidak mengetahui apa pun. Tapi ... aku benar-benar terkejut jika yang kamu katakan itu adalah sebuah kebenaran, Niana. Aku tidak habis pikir jika dirimu sampai dicampakkan.”
Bibir Niana kembali terkatub rapat bahkan sampai memucat. Tubuhnya saja mulai gemetar ketika luka di dalam dirinya kembali membuat kekacauan. Jika tidak mampu mengendalikan diri, sudah pasti air matanya akan keluar lagi. Ia bisa menangis jauh lebih keras dan penuh kepiluan. Namun demi harga diri dan demi tak membuat Dany turut hanyut di dalam situasi buruk ini, Niana harus mampu menahan dirinya.
Dany memutuskan untuk bangkit dari duduknya. Ia berjalan ke arah Niana dan berangsur duduk di samping wanita itu. Mata Dany mendapati kedua telapak tangan Niana mengepal kuat, Jika dibiarkan terlalu lama, wanita itu bisa melukai permukaan tangannya sendiri.
“Niana ....”
Dany berkata lebih lembut. Ia berusaha untuk tidak menyudutkan Niana yang sudah menjauhi dirinya selama ini. Detik berikutnya, ia meraih salah satu telapak tangan Niana. Tangan Niana yang gemetar membuat Dany mulai meyakini bahwa yang ia dengar memanglah sebuah kebenaran. Dan wanita itu masih terus menunduk ketika Dany sudah memberanikan diri untuk bersikap penuh perhatian, meskipun diam-diam cukup terkejut dengan apa yang telah Dany lakukan.
“Katakan padaku. Anggap saja kita sedang kembali ke masa lalu, masa di mana kita berlima masih kerap bercanda maupun bercerita. Masa di mana kamu tidak pernah ragu untuk memintaku sebagai pendengar baikmu, Niana. Masa di mana kamu menatapku sebagai mahasiswa biasa, alih-alih atasan yang perlu kamu hormati,” ucap Dany selembut mungkin. Senyuman tipis pun ia ulas untuk membuat Niana tak lagi merasa resah apalagi tidak enak hati padanya.
Mendengar ucapan Dany, Niana berangsur mendapatkan keberanian untuk menatap netra cokelat yang pria itu miliki. Wajah tampan Dany yang masih sama, selain terlihat lebih dewasa. Sudah lama sekali, ia menjauhi pria ini hanya demi menjaga hati Endri. Namun mengapa pria ini yang jauh lebih memahami hati Niana sampai saat ini? Dan mengapa pula Endri yang selalu ia tempatkan di posisi pertama justru memberikan luka?
“Mas Endri ... akan punya anak,” ucap Niana pelan.
Mendengar pernyataan dari Niana, mata Dany langsung menatap bagian perut Niana yang tertutup oleh kemaja dan blazer. “Kamu ... hamil?” tanyanya setelah itu.
“Bukan aku.” Niana menyahut sembari menggeleng. “Tapi, wanita lain. Aku ... sampai saat ini dia tidak mau memiliki anak dari rahimku dengan berbagai macam alasan. Dan aku tidak pernah protes. Tapi, ta-tapi ... kemarin dia mengaku bahwa dia ingin bercerai denganku demi menikahi wanita yang mengandung darah dagingnya.”
Niana mampu mengutarakan apa yang terjadi pada Dany. Namun cerita yang terucap dari bibirnya lagi-lagi harus menciptakan buliran air mata. Ia menangis tanpa suara dan rasanya jauh lebih menyakitkan. Dadanya terasa sesak. Akan jauh lebih baik jika ia bisa berteriak, tetapi ia tidak mungkin melakukannya di hadapan Dany. Niana hanya mampu menggigit bibirnya dengan kuat.
“Sial!” Dany mengumpat. Tak hanya sekali. Berulang kali bibirnya mengucapkan segala perkataan kotor, caci-maki, sekaligus rutukan yang ia tujukan pada Endri.
***
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 72 Episodes
Comments