"Mas?" ucap Niana sesaat setelah turun dari lantai kedua dan saat ini ia melihat Endri yang nyaris keluar dari pintu utama rumah itu. Ia tahu betul bahwa suaminya tersebut hendak berangkat ke kantor. Dan ia tidak akan membiarkan Endri berangkat begitu saja.
"Apa kita bisa bicara sebentar?" lanjut Niana ketika Endri sudah memutar badan dan menatapnya, sementara ia terus berjalan ke arah pria tersebut.
Sampai saat Niana menghentikan langkah di hadapannya, Endri belum memberikan ucapan apa pun. Matanya terus menatap sorot tajam mata Niana yang sebetulnya terlihat agak sembab dan sudah pasti Niana usai menangis di sepanjang malam. Kecut. Perasaan Endri benar-benar kecut. Rasa bersalah kembali muncul dan bernaung di dalam hatinya. Namun ia berpikir bahwa dirinya sudah tidak mungkin mundur dari keputusan yang sudah ia ambil. Ia tidak boleh bersikap labil. Karena mau bagaimanapun Endri tetap harus mengutamakan Lesy yang sedang hamil muda, daripada Niana yang masih sehat secara fisik.
Endri menghela napas. Detik berikutnya, ia meluruskan tubuhnya untuk benar-benar menghadap pada Niana. "Kamu ingin melanjutkan pembicaraan kita tadi malam, Niana? Kamu sudah membuat keputusan? Atau kamu sedang membutuhkan pelampiasan untuk perasaan kamu yang mungkin sudah sangat terluka karena diriku? Jika memang benar, aku siap untuk kamu jadikan sebagai samsak yang bisa kamu pukuli sampai puas, Niana. Sungguh, aku akan menerima segala hukuman dan risiko setelah apa yang aku lakukan pada dirimu," ucapnya setelah itu.
"Kenapa aku harus melakukan kekerasan pada dirimu yang merupakan suamiku sendiri, Mas? Aku hanya akan menjadi istri kurang ajar jika aku melakukan hal tersebut. Dan jika kamu sampai terluka, aku bisa menjadi calon nara pidana atas tindak penganiayaan, bukan? Bisa saja calon istri mudamu tak menerima perbuatan semacam itu dan lantas melaporkan diriku, seandainya aku benar-benar melakukannya," sahut Niana.
Tak lama setelah itu, Niana mulai bergerak. Ia berjalan ke arah ruang tamu yang memang tidak jauh dari keberadaannya sebelumnya. Sebisa mungkin ia tetap menguatkan diri serta hati. Rencana yang sudah ia susun sepanjang malam harus berjalan dengan lancar di tahap pertama. Ia tidak akan membiarkan keinginan suaminya menjadi sebuah kenyataan.
Niana duduk di salah satu kursi sofa yang empuk. Tubuhnya tegak dan tampak elegan. Seelegan penampilannya saat ini. Wajahnya memang cenderung lebih natural alih-alih menor dengan make-up tebal. Pakaiannya pun tak semewah gaun pengantin yang mungkin sudah dipesan oleh Endri untuk sang wanita selingkuhan. Penampilan Niana cukup sederhana, tetapi kali ini jauh lebih tegas daripada sebelum-sebelumnya. Gaun putih sepanjang lutut dengan lengan tanggung membuatnya jauh lebih menarik. Karena ia pun sempat berpikir bahwa mungkin saja ia kalah cantik dari wanita yang bernama Lesy tersebut.
"Kemarilah, Mas. Mari kita berbicara. Kamu ingin mendengar keputusan yang telah aku buat, bukan?" ucap Niana lalu tersenyum senatural mungkin. Senyuman yang ia usahakan agar tetap terulas manis untuk menutupi segala nestapa yang sudah menghujam hatinya saat ini. "Mm, atau kita sambil sarapan saja? Kamu belum sempat sarapan, 'kan, Mas?"
Endri menelan saliva dengan susah-payah. Namun meski begitu, tenggorokannya tetap terasa sangat kering. Niana yang bersikap seolah baik-baik saja justru membuatnya bingung dan agak khawatir. Padahal ia sudah memastikan bahwa Niana pasti sangat terluka. Dan untuk apa Niana bersikap seperti tidak memiliki luka?
"Tidak, Niana," kata Endri sesaat setelah melirik waktu di jam tangan perak di lengan kirinya. "Aku tidak punya banyak waktu untuk menyantap makanan. Tapi mungkin kita bisa berbicara selama sepuluh menit."
Niana terluka. Untuk mendengar keputusannya saja, Endri tetap memperhitungkan waktu. Kelihatan sekali bahwa Endri memang ingin segera mengakhiri pernikahan ini. Sebenarnya secantik apa wanita bernama Lesy di mata Endri sampai benar-benar membuat Endri begitu tega mencampakkan Niana yang sudah lama menjadi pendamping hidupnya?
"Baiklah. Kita bicara selama sepuluh menit, atau bahkan kurang dari sepuluh menit, Mas. Aku tahu jika perusahaanmu sedang mengalami kesulitan, dan kamu pasti harus bekerja dengan lebih keras untuk memperbaiki perusahaanmu itu, 'kan?" Niana tersenyum tentunya setelah ia berusaha menekan rasa getir yang nyaris membuat air matanya mendesak untuk dikeluarkan. "Aku bukan orang yang suka ingkar janji, dan kamu tahu soal itu, Mas. Aku tidak akan berbicara melebihi batas waktu yang kamu tentukan, Mas."
Endri mengangguk. Dan kini ia sudah duduk di hadapan Niana. Segala pertanyaan pun bermunculan lagi. Namun satu hal yang pasti, ia ingin mengakhiri pernikahan ini. Lesy harus ia utamakan terlebih dahulu.
"Jadi, bagaimana keputusanmu, Niana? Kamu tahu, bukan, apa pun keputusanmu, pernikahan kita ini sudah tidak bisa diselamatkan lagi? Aku ... aku sudah berselingkuh dan sampai menghamili wanita lain, dan aku tidak berhak mendapatkan maaf darimu, Niana," ucap Endri. Kepalanya tertunduk. Wajahnya yang tampan itu menunjukkan suatu penyesalan, tetapi juga pengharapan yang amat besar.
Niana diam-diam mengepalkan kedua telapak tangannya. Rahangnya mengeras. Betapa keras ia menahan rasa kesal, marah, dan benci pada Endri yang saat ini berlagak bodoh dan polos. Kalau memang sadar bahwa sikapnya akan melukai Niana, mengapa pula Endri tetap melakukannya? Dan bahkan sampai menanam benih di rahim wanita yang lain?! Padahal Niana tidak mandul!
Niana memejamkan mata seraya mengembuskan napasnya secara perlahan dan sebisa mungkin tidak akan menimbulkan suara. Ketika sudah merasa agak tenang, ia pun berkata, "Bukankah akan lebih baik jika kita tidak bercerai, Mas?"
Di balik tundukan kepalanya, mata Endri melebar. Rasa terkejut berbaur menjadi satu dengan perasaan lain yang bersarang di dalam hatinya. Dengan cepat, ia menatap Niana. "Apa?" Satu kata pertama meluncur dari mulut Endri, yang kemudian di susul perkataan lain ketika ia kembali berkata, "Niana, kamu tahu bahwa kesalahanku ini adalah kesalahan yang benar-benar tidak bisa diampuni, bukan? Aku sudah menghamili wanita lain!"
Niana berangsur mengangguk. "Aku tahu, Mas. Tahu betul soal itu. Jujur saja, tadi malam aku sangat terkejut dan tidak bisa berpikir dengan jernih sampai akhirnya aku memutuskan untuk melarikan diri ke kamar. Tapi, sepanjang malam pun aku sudah berpikir, Mas. Aku sudah berpikir dengan hati-hati dan aku rasa kita memang tidak seharusnya bercerai, Mas."
"Tapi, kenapa? Apa kamu bisa mengampuni diriku?!"
"Tentu saja bisa, Mas. Kamu kan suami aku, dan aku bukan wanita yang merebut dirimu dari orang lain kok. Aku mengenal kamu sangat lama, Mas Endri. Aku tahu jika kamu adalah pria yang baik. Kebaikanmu membuat diriku tak bisa melepaskan dirimu begitu saja, Mas. Dan lagi, jika kita bercerai akan banyak orang yang terluka. Kedua orang tuaku, kedua orang tuamu, dan bahkan kerabat-kerabat yang mencintai kita, Mas," jelas Niana. Ia mengambil jeda untuk menghela napas. "Coba pikir, Mas, saat ini perusahaanmu sedang mengalami kesulitan finansial. Kondisi perusahaanmu tidak membaik selama berbulan-bulan, bukan?"
Mata Endri bergerak tak menentu. Dirinya bingung dan salah tingkah. Ia mengusap tengkuk belakangnya lalu berangsur menganggukkan kepala. "Kamu benar, Niana. Perusahaanku memang sedang kacau."
"Dan kamu sebentar lagi akan memiliki anak, Mas. Jika Lesy mencintaimu karena uangmu, bukankah kamu akan kesulitan? Jika kita tidak bercerai, tentu aku masih bisa memberikan bantuan. Aku kan masih bekerja dan aku tidak dalam keadaan hamil, aku bisa membantu istri mudamu, bukan?"
Endri menatap Niana dengan lebih tegas. "Kenapa ... kenapa kamu ingin membantu kami yang sudah melukai dirimu, Niana? Apa alasanmu? Padahal seharusnya kamu menceraikan diriku dan memakiku."
"Karena ...." Niana terdiam dalam beberapa saat. Karena aku ingin menghancurkan kalian berdua sebelum benar-benar minggat dari rumah ini dan dari hidup kalian, Mas, batinnya. Dan ia tersenyum pada Endri. "Aku tidak ingin menjadi seorang janda, Mas. Aku sudah kepala tiga, sulit bagiku untuk mencari suami lagi. Lalu seperti yang aku katakan sebelumnya, aku tidak ingin banyak orang yang terluka, Mas. Lagi pula, aku akan mendapatkan banyak pahala jika membiarkan suamiku melakukan poligami, bukan?"
"Aku akan memberikan waktu agar kamu bisa berpikir terlebih dahulu, Mas, dan meskipun aku tetap tidak akan mau dicerai. Toh, keberadaanku akan sangat menguntungkan dirimu, bukan? Tapi tentu saja aku juga memiliki beberapa syarat. Dan aku akan mengatakan syaratku jika kamu setuju, Mas," lanjut Niana.
Endri terdiam. Tampaknya Niana tidak main-main dalam mengambil keputusan itu. Sepanjang hidup yang ia jalani bersama Niana, sungguh ia tidak pernah tahu bahwa Niana adalah wanita yang begitu nekat dan sanggup mengambil risiko. Niana pun mengatakan syarat untuk penawarannya sendiri. Seolah Endri memang harus patuh atas apa yang wanita itu katakan.
Di sisi lain, tentu saja Endri tertarik. Hidup dengan dua istri ... siapa yang tidak mau? Apalagi perusahaannya sedang mengalami guncangan. Tentu saja Niana yang masih memiliki pekerjaan dengan gaji besar akan sangat membantu keuangan di dalam rumah tangga, terlebih untuk Lesy yang akan membutuhkan banyak barang, obat, serta biaya ke dokter kandungan.
Endri menelan saliva. Kemudian ia berangsur menatap Niana dengan sikapnya yang masih serba salah. "Ba-baiklah, Niana. Ji-jika kamu tidak keberatan, aku akan menerima tawaranmu. D-dan bolehkah aku mendengar syarat yang kamu inginkan?" ucapnya gugup.
Niana tersenyum. Terlepas dari seberapa parah rasa kecewa di dalam dirinya saat ini, setitik rasa senang pun berangsur menerangi. Endri sudah masuk ke dalam perangkapnya. Dengan begini, ia bisa melakukan rencana yang sudah ia susun dengan matang. Bahwa ia tidak akan pergi sebelum suami dan sang calon istri kedua hancur, lebih hancur daripada dirinya saat ini.
***
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 72 Episodes
Comments