Endri Satya Nugraha. Pria yang belum lama ini telah mengakui perselingkuhannya dengan wanita lain pada Niana Restiya, selaku istri sahnya, tampak termenung di tempat kerjanya sendiri. Bahkan ketika jam operasional sudah berjalan selama dua jam, Endri terhitung belum menyentuh pekerjaan apa pun. Padahal ia masih harus mencari solusi atas segala kerugian yang belakangan ini dialami oleh perusahaannya, tetapi pernyataan Niana malah menguasai hampir seluruh pikirannya.
Endri mengembuskan napas. Matanya turut terpejam. Dan tak lama berselang ia mulai menyandarkan punggung dan mendongakkan kepalanya. Rasa resah itu masih tetap ada, bahkan meski ia sudah menyetujui penawaran Niana yang tentu saja cukup menguntungkan. Namun kali ini kegelisahan lain juga turut muncul, mengenai Lesy yang pastinya akan menolak rencana tersebut. Apalagi Lesy sedang dalam keadaan hamil muda dan pastinya jauh lebih sensitif daripada sebelum-sebelumnya.
"Bagaimana caranya aku menjelaskan situasi ini pada Lesy? Lesy pasti tak akan setuju jika aku memilih untuk mempertahankan istriku sekaligus ingin menikahinya." Endri bergumam sembari membuka matanya secara perlahan. Langit-langit ruangan yang dihiasi lampu berbentuk kotak lebar menjadi pemandangan matanya saat ini. Namun benaknya masih tetap memikirkan cara untuk membujuk calon istri keduanya tersebut.
Meski sangat menarik dan tentu jauh lebih cantik daripada Niana, Endri pun mengakui bahwa Lesy lebih manja serta keras kepala. Wanita itu sulit untuk dibujuk, tetapi hal itulah yang membuat Endri justru merasa bahwa hidupnya menjadi jauh lebih berwarna. Apalagi setelah Niana tak lagi menarik di matanya, Lesy muncul sebagai pengobat kebosanan yang mendera dirinya dalam kurun waktu nyaris setengah tahun dan sekarang, Lesy sudah mengandung benih yang ia tanam.
"Kalau aku mengatakan beberapa keuntungan yang bisa aku dan dia dapatkan dari Niana, aku rasa dia akan setuju," ucap Endri sesaat setelah menegakkan tubuhnya kembali. Lalu ia menaruh kedua siku tangannya di atas meja yang berpapan kaca berkualitas tinggi tersebut. Kedua telapak tangannya saling bertaut satu sama lain dan lantas ia gunakan untuk menopang dagu, sementara matanya menatap lurus ke depan di mana beberapa sofa tersusun dengan rapi.
Ruang kerja yang megah ini, Endri pasti bisa mempertahankannya sebagai direktur utama. Segala kesulitan yang masih melanda harus segera ia atasi. Dan Niana yang akan membantunya terlebih dahulu. Urusan keuangan, Niana pasti bisa membantu, apalagi gaji Niana terbilang sangat besar. Toh, Niana sendiri yang memberikan penawaran, padahal Endri sudah membukakan pintu lebar agar Niana segera keluar.
Lamunan Endri buyar ketika seseorang mengetuk pintu ruangan pribadinya itu. Yang tak lama berselang, muncul seorang pria yang tentu saja sudah tak asing lagi bagi Endri. Royan—sekretaris pribadi Endri—berangsur memasuki ruang kerja atasannya tersebut.
Royan lantas merundukkan tubuhnya, dan detik berikutnya ia berkata, "Selamat siang, Pak Endri."
"Ya, selamat siang. Ada apa? Apa orang itu sudah setuju untuk bertemu dengan saya?" sahut Endri.
Royan menelan saliva dengan susah-payah. "Beliau masih menolak untuk bertemu, Pak Endri. Karena kondisi perusahaan Bapak sedang kesulitan, beliau meragukan rencana investasi untuk ke depannya. Dan sepertinya kita gagal mendapatkan bantuan lagi," jawabnya.
Endri menghela napas. Lelah rasanya. Ia sudah menghubungi beberapa pengusaha real estate besar, tetapi mereka tidak tertarik untuk berinvestasi. Kalau begini caranya, tak lama lagi perusahannya akan segera bangkrut. Endri tidak ingin membiarkan hal itu terjadi sebelum perusahaannya benar-benar dipailitkan.
"Keluarlah, beri waktu agar aku bisa berpikir," ucap Endri pada Royan.
Royan mengangguk. "Baik, Pak," jawabnya.
Tak berselang lama, Royan pun hengkang dari ruangan itu. Sementara Endri mulai termenung lagi. Namun kali ini, ia berusaha untuk mengesampingkan urusan Niana dan Lesy terlebih dahulu, ia harus bekerja dan mulai mencari cara sebelum perusahaannya benar-benar gulung tikar.
***
Seorang CEO muda tengah menatap seorang wanita yang merupakan bawahan sekaligus teman dekatnya sejak masa kuliah. Wanita itu adalah Niana yang saat ini sedang ingin menjumpai sang atasan untuk mengatakan sesuatu di luar pekerjaan. Dany Darmawangsa, CEO generasi ke tujuh sebuah perusahaan yang bergerak di bidang manufaktur dan tentunya adalah atasan Niana sendiri, pria itulah yang saat ini sedang Niana hadapi.
"Ada apa, Niana, sampai kamu ingin bertemu denganku secara langsung dan tiba-tiba begini? Apa ada masalah di pekerjaanmu? Apa kamu benar-benar ingin keluar dari perusahaan ini? Sudah ingin fokus program kehamilan dengan suamimu yang payah itu?" ucap Dany, cukup tajam dan sarkastik.
Jika biasanya tak terlalu tersinggung pada semua ucapan Dany yang memang kerap blak-blakan, kali ini Niana justru merasa kesakitan. Hatinya yang sakit. Pertanyaan dari Dany mengenai rencana untuk resign dan memulai program kehamilan seperti dua buah mata pedang yang ditancapkan di dadanya dengan kejam.
Niana hampir menangis, tidak, tetapi ia memang sangat ingin menangis. Di sepanjang waktu yang berjalan di hari ini pun, ia kerap ke toilet untuk menangis. Memang benar bahwa ia sudah berusaha untuk selalu menguatkan dirinya, apalagi setelah membuat rencana untuk menghancurkan suaminya dan wanita selingkuhan itu, tetapi nyatanya ia tetaplah seorang wanita yang berhati lemah. Niana belum sekuat itu untuk menanggung kenyataan pahit yang belum lama ini ia dengar dari mulut Endri, suaminya sendiri. Padahal di hari sebelum-sebelumnya, ia dan Endri masih menjadi pasangan tanpa suatu permasalahan. Kenyataan itu sudah seperti guntur yang mendadak menyambar hingga membakar seluruh tubuh Niana sampai kerap kesakitan.
Dany mengernyitkan dahi. Ia yang sudah berteman dengan Niana sejak lama tentu saja sudah hafal dengan beberapa kebiasaan Niana. Bahkan meski wanita itu mulai menjauh darinya sejak mengetahui identitas dirinya sekaligus setelah menikah dengan Endri di dua tahun yang lalu, ia masih belum melupakan beberapa sifat Niana. Kala memutuskan untuk menjauh darinya Niana berniat hanya akan menemuinya sebagai seorang bawahan. Namun bagi Dany, Niana tetaplah seorang kawan yang mengetahui semua perjuangannya selama di jenjang perkuliahan. Dan sekarang Niana tampak tidak baik-baik saja.
"Hei, ada apa denganmu? Kamu ada masalah?" tanya Dany sesaat setelah berdiri dari duduknya. Ia berjalan ke arah Niana yang masih berdiri tegak dengan kepala yang tertunduk.
Niana menelan saliva dengan susah-payah. Dan sialnya, air matanya tetap keluar sekuat apa pun ia berusaha untuk bertahan. Ia tidak ingin terlihat sekonyol ini di hadapan Dany, tetapi luka itu menganga lagi.
"Hei, Niana!" Dany berubah lebih tegas dan bahkan, ia sampai mencengkeram kedua pundak Niana. "Hei, kamu menangis?! Ada apa?!"
Niana menatap Dany. Perhatian kecil yang pria itu berikan sebagai seorang teman membuatnya semakin ingin menitikkan air mata. "P-pak Dany ...." Hanya itulah yang mampu ia katakan.
"Ada apa, Niana? Kenapa setelah dua tahun menjauhi diriku, kamu datang dengan kesedihan seperti ini? Apa ada yang merundungmu di tempat ini? Apa kamu masih marah padaku yang menyembunyikan identitasku yang sebenarnya selama kita berteman? Apa ada yang menuduhmu bekerja di tempat ini dengan cara nepotisme?" tanya Dany bertubi-tubi. Ia menghela napas dan berusaha menahan rasa penasarannya terlebih dahulu. "Mari kita duduk terlebih dahulu."
Dany melepaskan kedua pundak Niana. Ia berjalan lebih awal untuk menuju ruang tamu di ruangan kerjanya itu. Namun langkahnya terhenti sebelum benar-benar sampai di tempat tujuannya. Ia memutar badan dan menatap Niana yang masih bergeming sembari sesenggukan.
"Ada apa dengan cewek ini? Apa dia benar-benar hendak resign setelah bekerja di sini selama bertahun-tahun?" gumam Dany bertanya-tanya.
***
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 72 Episodes
Comments