Mentari tak terlihat pagi itu. Tertutupi awan yang mulai menghitam. Resti yang sudah berada di kediaman Raka sejak semalam, menatap langit mendung yang menaungi bumi pagi ini. Segala persiapan sudah dilakukan sejak dua minggu yang lalu. Tidak ada pernikahan megah layaknya para keluarga kaya. Hanya keluarga dan sahabat terdekat saja yang hadir. Resti tidak memiliki siapa pun untuk di undang. Sementara tamu lainnya, adalah kerabat dari keluarga Raka.
Alam seakan tak merestui pernikahan ini, gumam Resti dalam hatinya. Ia masih menatap langit yang mulai menurunkan rintik hujan.
Ketukan pintu, mengalihkan perhatian Resti. Dewi, ibu dari Raka calon suaminya, masuk. Ia tersenyum menatap calon menantu yang sudah terlihat cantik. Kebaya broken white, sudah membalut tubuh rampingnya.
"Cantik banget," puji Dewi.
"Terima kasih, Ma," ucap Resti.
Sejak pertemuan mereka terakhir, Dewi meminta Resti memanggilnya mama, seperti Raka. Karena itu, Resti melakukan permintaan calon mertuanya itu. Wajah Resti tak menunjukkan kebahagiaan. Hal itu membuat Dewi memeluk calon menantunya.
"Apa kau mulai ragu, Sayang?" tanya Dewi.
"Bukan ragu, Ma. Hanya tidak yakin," jawab Resti lirih.
"Itu sama aja, Sayang," ucap Dewi gemas.
"Aku tidak ragu menikah dengan Mas Raka, Ma. Karena jujur saja, aku sudah menyukainya. Hanya sekedar suka. Tapi, apa pernikahan ini harus tetap berlangsung, disaat kami tidak saling mencintai?" tutur Resti.
"Mama tahu apa yang kamu rasakan. Tapi, kamu harus percaya, bila kalian bisa saling mencintai seiring berjalannya waktu," ucap Dewi menenangkan.
Resti mengangguk seraya tersenyum pada Dewi. Tak lama, terdengar Raka mengucapkan ijab qobul dengan lantang. Dalam satu tarikan napas, Raka menyebut nama Resti. Terdengar syahdu di telinganya.
Ada kesedihan yang menggelayut di wajah gadis itu. Bukan lagi masalah ketidakyakinannya menjalani pernikahan, tetapi ia merasa sedih, tidak memiliki orang tua di hari bahagianya. Air mata mulai jatuh berderai teringat pada mereka.
Ibu, bapak, sekarang Resti sudah jadi istri, ucap Resti dalam hati.
"Kamu pasti merasa sangat sedih karena orang tuamu. Besok, pergilah bersama Raka ke makam mereka."
***
Pernikahan telah usai. Setelah beramah tamah dan makan malam bersama keluarganya, Raka membawa Resti ke rumah yang sudah ia siapkan. Sebenarnya, Raka mempersiapkan rumah itu untuk Riska. Namun, kini Resti yang akan menjadi nyonya rumah itu.
Resti menatap kagum rumah di depannya. Memang tak semegah rumah orang tua Raka. Akan tetapi, ada taman mungil yang menghiasi rumah itu. Rumah itu terlihat minimalis, tetapi cukup nyaman untuk mereka tempati berdua.
"Maaf, ya. Rumah ini tidak sebesar rumah mama dan papa," ujar Raka.
"Aku suka, kok, Mas." Resti menatap Raka.
Raka sedikit terkejut mendengar panggilan Resti padanya. "Mas?" ulang Raka.
"Maaf. Tapi, aku bingung harus manggil apa. Rasanya aneh, jika aku panggil suami dengan sebutan 'pak'," jelas Resti.
"Ah, tidak apa. Saya suka mendengar panggilan itu."
Diam-diam Resti tersenyum lega. Ia sempat takut, saat akan melontarkan panggilan itu. Apa lagi, mereka tidak sedekat itu untuk saling merubah panggilan.
"Ini kamar utama. Di sinilah kamar kita."
Resti menatap desain kamar itu. Ruangan itu di dominasi dengan perabotan berbahan kayu. Tidak banyak barang yang memenuhi ruangan itu. Raka pun menuju ruangan lain di kamar itu.
"Ini walk in closet. Kamu bisa menyusun barang-barangmu di sini. Yang ini, kamar mandinya." Raka memperkenalkan ruangan dalam kamar mereka.
"Sekarang, susun saja dulu barang-barangmu. Aku akan mandi lebih dulu," pamit Raka.
Pria itu segera masuk ke dalam kamar mandi. Dengan cekatan, Resti segera merapikan barang pribadinya. Gadis itu dengan mudah menata ruangan itu. Ada rasa bahagia tersendiri, saat ia merapikan ruangan itu.
Selesai menata pakaiannya, Resti memilih duduk di meja rias, yang ada di sana. Tak lama, pintu kamar mandi terbuka. Raka keluar dengan handuk melingkar di bagian pinggangnya. Resti berteriak histeris, melihat kejadian itu. Sementara Raka tertawa dengan tingkah istrinya itu. Resti bahkan berlari masuk ke dalam toilet dengan terburu-buru.
"Astaga, Mas Raka," gerutu Resti setelah menutup pintu.
Gadis itu segera membersihkan tubuhnya.
***
Resti mendadak gugup. Ia sudah berada di kamar mandi lebih dari satu jam. Namun, ia tak juga keluar. Entah sudah berapa kali Raka meneriakkan namanya. Resti hanya menjawabnya dengan kata 'ya'.
"Resti, kalau kamu gak keluar juga, aku akan dobrak pintu kamar mandi ini!" ancam Raka.
Tak mempan dengan panggilan, Raka memutuskan untuk mendobrak pintu toilet. Ia merasa Resti terlalu lama di sana. Pria itu takut, ada hal buruk yang menimpa istrinya.
"Jangan, Mas! Aku keluar sekarang," teriak Resti dari dalam toilet.
Ia pun mulai membuka pintu perlahan. Raka menyilangkan tangannya di dada. Resti semakin gugup di tatap intens seperti itu. Jemarinya saling bertautan satu sama lain. Sementara ia tak berani menatap Raka.
"Kalau mandi, tidak perlu terlalu lama. Nanti kamu sakit," ucap Raka lembut.
Ia terpana menatap gadis di depannya tanpa sapuan make up. Tangannya terulur menyentuh pundak Resti. Tubuh gadis itu berubah tegang dan kaku. Raka yang menyadarinya, menatap heran pada Resti.
"Kamu cantik," puji Raka.
Mereka saling menatap. Jemari Raka mengusap pipi Resti lembut. Menatap Resti semakin intens. Jantung gadis itu berdegup cepat merasakan sentuhan suaminya. Perlahan, Raka mulai mencium Resti lembut.
Meski sempat terkejut, tetapi Resti tak menolak. Ia bahkan memejamkan matanya sesaat. Kemudian, mereka mulai melakukan apa yang memang harus terjadi. Resti menyerahkan seluruh hidupnya pada Raka.
***
Raka bangkit dari ranjang, setelah memakai celana pendeknya. Kemudian, ia membuka nakas dan mengeluarkan sesuatu. Raka mengulurkan benda itu pada Resti.
"Ini ... apa, Mas?" tanya Resti.
"Pil KB," jawab Raka datar.
Air mata Resti jatuh mendengar jawaban Raka yang seakan tak merasa bersalah sedikit pun. Resti menertawai dirinya yang telah menyerahkan kesucian yang dijaga pada pria yang berstatus suami.
"Kenapa kamu lakukan ini, Mas?" tanya Resti.
"Jangan salah paham. Aku hanya belum siap memiliki anak," jawab Raka lirih.
"Kalau memang kamu belum siap? Kenapa kamu merenggut kesucianku sekarang?" teriak Resti frustasi.
"Dengarkan penjelasan ku dulu," pinta Raka.
Pria itu menggenggam jemari Resti erat. Resti terus memberontak, tetapi Raka tak melepaskannya. Pria itu menarik napas dalam dan menghelanya perlahan.
"Aku ingin, saat kita memutuskan untuk memiliki anak, cinta itu sudah hadir dalam hati kita. Aku tidak ingin, dia lahir tanpa cinta dan berakhir penyesalan antara kita. Kamu mengerti maksudku, 'kan?"
Resti memilih membuang pandangan. Rak yang tak mendapat jawaban dari Resti, akhirnya melepaskan genggamannya. Ia mengenakan pakaian dan keluar dari kamar.
Setelah Raka pergi, Resti kembali menangis sedih. Hatinya sangat sakit mendapat perlakuan seperti itu.
Kenapa kau lakukan itu, jika kau tidak ingin memiliki anak sekarang? batin Resti.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 99 Episodes
Comments