Tak lama, bapak Resti membuka matanya. Resti segera menghapus air mata yang membasahi pipinya. Ia harus terlihat kuat di hadapan bapak. Begitulah tekadnya saat ini. Semua demi kesembuhan bapak dan ibu, ucapnya dalam hati.
"Pak." Resti mencoba tersenyum, meski hatinya terasa sakit.
"Res, Nak, jika bapak tidak lagi ada, tetaplah kuat menghadapi hidup yang sulit ini, ya. Bapak yakin, kamu pasti bisa melewati semua ini," ucap bapak Resti lirih.
"Ingat pesan bapak. Jaga dirimu baik-baik, ya. Bapak, titip ibu, ya, Nak," lanjut bapak Resti terbata.
"Bapak jangan ngomong gitu, Resti yakin bapak sama ibu pasti sembuh," ucap Resti.
Air mata yang sudah dihapusnya kembali menetes deras, mendengar ucapan sang bapak. Sungguh, ia tak bisa membayangkan hidup tanpa bapak.
"Tidak, Nak. Bapak sudah tidak bisa bertahan lagi. Jadilah anak yang kuat. Yakinlah, bahwa kamu bisa melawan badai kehidupan yang berat."
Ucapan itu, adalah akhir dari kehidupan bapak Resti. Pak Beno, bapak Resti, akhirnya menghembuskan napas terakhirnya. Resti menangis histeris melepas kepergian sang ayah. Sementara ibunya, masih belum sadarkan diri.
Pihak rumah sakit segera memindahkan tubuh Pak Beno ke ruang jenazah. Resti pun memilih tinggal di ruangan, menemani ibunya. Pikiran Resti berkelana. Ia memikirkan, cara menyampaikan kematian bapak pada ibu, tanpa membuatnya syok.
Terlalu larut memikirkan hal itu, membuat Resti tak menyadari, bahwa sang ibu telah membuka matanya. Beliau memanggil Resti lirih. Melihat tak ada respon yang putrinya berikan, membuat ibu menyentuh punggung tangan Resti.
Resti terjingkat kaget. "Ibu, udah sadar? Resti panggilin dokter dulu, ya," ucap gadis itu.
Langkahnya terhenti, karena sang ibu memegang jemarinya erat. Resti menoleh dan menatap ibunya. Tanpa alasan yang jelas, perasaannya berubah tak enak.
"Ada apa? Ibu mau sesuatu?"
Gelengan lemah dari sang ibu, membuat Resti semakin tak tenang. "Ibu, kenapa?" tanya Resti.
"Resti, mungkin waktu ibu tidak akan lama lagi. Dengar, Nak. Seberat apa pun masalah yang kamu hadapi, tetaplah tersenyum. Karena dengan senyum, perlahan masalahmu tidak akan terasa berat. Ibu, akan selalu mendoakanmu dari akhirat nanti." Napas ibu Resti mulai tersengal.
Patien monitor pun mulai memperlihatkan, detak jantung ibu Resti yang terus menurun. Tidak hanya itu, tekanan darah, saturasi paru-paru, dan kadar oksigen terus menurun. Tak lama, dokter masuk dan segera memeriksa kondisi pasien.
Resti menangis keras, saat dokter sudah menggunakan alat pacu jantung. Monitor juga sudah menunjukkan garis lurus. Dalam satu hari yang sama, Resti harus kehilangan kedua orang tuanya.
Mimpi pun tidak pernah, Resti mengalami kehilangan begitu cepat. Saat ia sudah mendapatkan pekerjaan, mengapa Tuhan justru mengambil orang tuanya? Ia bahkan belum sempat membahagiakan mereka dengan jerih payahnya.
***
Sebuah mobil mewah memasuki lobby rumah sakit. Tak lama, turun sepasang suami istri dengan tergesa-gesa. Mereka segera menuju ruang rawat kelas VIP. Di sana, terbaring lemah sesosok tubuh pria.
"Raka, ini mama, Nak," ucap sang wanita yang menyebut dirinya mama bergetar.
"Papa bicara dengan dokter dulu, ya, Ma," pamit sang suami.
Si wanita hanya mengangguk seraya mengusap wajah putranya. Air mata tak hentinya mengalir deras dari kedua mata itu.
"Tante."
Suara itu mengalihkan tatapan ibu dari Raka. "Kamu … Bayu, 'kan?"
"Iya, Tante." Bayu tersenyum.
"Saya … mau minta maaf," ucapnya lirih.
Ibu dari Raka mengerutkan dahinya dalam mendengar permintaan maaf dari salah satu sahabat Raka. "Minta maaf? Kenapa?"
"Raka … kecelakaan karena berita yang saya sampaikan beberapa jam yang lalu." Bayu menundukkan kepalanya dalam.
"Apa ini berhubungan dengan Riska?"
Bayu menganggukkan kepalanya perlahan. Namun, ia tak menyangka bila ibu Raka hanya menanggapinya dengan wajah datar.
"Tante … gak marah?" tanya Bayu.
Tawa kecil terlihat di wajah ibu dari sahabatnya itu. "Tante justru berharap mereka putus. Sejak awal, Tante sangat tidak setuju dengan hubungan mereka. Tapi, kau tahu bagaimana Raka, 'kan?"
Bayu membenarkan ucapan itu. Raka tidak akan mudah percaya pada ucapan orang lain. Namun, kali ini jelas berbeda. Ia melihat sendiri perselingkuhan kekasihnya.
"Ma."
Ibu Raka menoleh. Raka terlihat mulai membuka matanya. Bayu mendekati sahabatnya.
"Raka, biar mama panggil Dokter dulu, ya," ucap sang ibu.
"Biar saya aja, Tan," sela Bayu.
Ibu Raka menganggukkan kepala menyetujui ide Bayu. Ia pun berlalu meninggalkan pasangan ibu dan anak itu.
"Ma, Raka gak sengaja nabrak orang tadi. Ada dua orang tua yang mungkin seusia dengan, Mama dan papa," ucap Raka susah payah.
"Apa?" Wajah mama Raka puas, mendengar penuturan itu.
"Apa mereka dibawa ke sini juga?"
Raka menggelengkan kepalanya perlahan. Obrolan mereka terhenti, saat Dokter datang. Mama Raka pun menyingkir sementara, memberi ruang untuk Dokter memeriksa Raka. Ia mendekati sang suami. Kemudian, berbisik tentang apa yang tadi Raka ceritakan.
Reaksi papa Raka pun sama dengan mamanya tadi. Belum sempat mereka mencari tahu, pihak kepolisian mendatangi ruang rawat Raka.
"Saudara Raka Abhimana?" tanya seorang polisi.
"Iya, Pak. Ada masalah apa, ya?" tanya papa Raka.
"Maaf, Anda, siapanya saudara Raka?" Polisi balik bertanya.
"Saya ayahnya. Tidak apa, Bapak, bisa bicara dengan saya lebih dulu."
"Begini, Pak. Kami ingin meminta keterangan mengenai kecelakaan yang terjadi sore tadi. Karena saat itu, saudara Raka yang mengemudi mobil," terang pak polisi.
Belum sempat orang tua Raka atau pun Bayu menjawab pertanyaan yang polisi ajukan, Dokter datang memberitahu kondisi Raka. Mereka pun terfokus pada berita yang Dokter sampaikan.
"Pasien mengalami gegar otak. Butuh waktu untuk memulihkan kondisinya seperti semula." Dokter menjelaskan.
"Apa kami bisa menemui saudara Raka, untuk saat ini?" tanya pak polisi.
"Bisa, Pak. Silakan," ucap Dokter.
Polisi segera mendekati ranjang Raka. Kemudian, menanyakan beberapa pertanyaan. Raka menjawab dengan jujur semua pertanyaan itu. Pihak kepolisian pun meminta pihak rumah sakit untuk menguji sampel darah pasien.
"Kamu gak takut, jika nanti di penjara?" tanya sang ibu, saat polisi telah keluar dari kamar rawat Raka.
"Raka salah, Ma. Kalau pun Raka harus di penjara, memang itu resikonya yang harus Raka hadapi," jawab Raka.
"Tapi, Nak …."
"Sekarang, Mama dan Papa bantu Raka cari tahu keadaan para korban. Terutama, kedua orang yang Raka tabrak," sela Raka.
"Papa sudah tahu. Kedua orang yang tertabrak mobilmu, meninggal dunia satu jam yang lalu. Sementara dua orang yang kebetulan berada di sana, hanya mengalami luka lecet. Papa juga sudah membayar biaya rumah sakit, serta memberi uang kompensasi pada mereka. Hanya gadis yang ditinggal orang tuanya itu yang menolak." Papa Raka menjelaskan semuanya.
"Gadis?" Raka mengulang ucapan papanya.
"Iya, dua orang paruh baya yang kau tabrak, memiliki satu orang putri yang berumur 22 tahun."
"Dia jadi yatim piatu karena Raka," ucapnya sedih.
"Jenazah orang tuanya sudah dibawa pulang." Bayu menambahkan.
Pikiran Raka kini terpusat pada gadis, anak dari pasangan yang ia tabrak. Maaf, aku tidak pernah bermaksud membuatmu jadi yatim piatu, gumamnya dalam hati.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 99 Episodes
Comments
🤗🤗
kasihan sama restinya
2023-07-23
2
Anie Sandi
nyimak thor 👍🏻
2022-12-16
1