Resti menatap langit-langit kamarnya. Ia merasa seperti bermimpi, ada pria yang ingin menikahinya. Terlebih, pria itu baru pertama kali bertemu dengannya. Senyum terbit di wajah cantik Resti.
"Dia tampan, sih. Tapi, aneh gak, ya? Apa benar bapak dan ibu ingin aku menikah dengannya? Kenapa mereka gak bilang apa-apa?" gumamnya
Begitu banyak pertanyaan yang timbul dalam benaknya. Membuat Tresi tak mampu memejamkan mata barang sekejap. Sampai jam menunjukkan tengah malam, Resti tak juga memejamkan mata. Ia terus saja mencari alasan yang tepat, pria itu ingin menikahinya.
"Tidak mungkin, 'kan dia jatuh cinta padaku? Lagi pula, dia terlihat kaya. Sementara aku?" gumamnya lagi.
Mulutnya terbuka lebar karena rasa kantuk yang mulai menyerang. Perlahan, mata Resti mulai tertutup.
***
Matahari mulai mengintip dari balik gorden. Raka yang masih bergelung di bawah selimutnya mulai bergerak. Segera ia bersiap untuk berangkat bekerja. Selesai dengan segala rutinitas hariannya, ia segera turun dan sarapan bersama keluarga.
"Pagi, Sayang," sapa Dewi.
"Pagi, Ma." Ia mengecup pipi Dewi.
"Raka, bagaimana pertemuanmu dengan gadis itu?" tanya Ibra, ayah Raka.
"Dia sudah setuju."
Dewi dan Ibra saling bertukar pandang. Tidak menyangka, bila Raka bisa meyakinkan gadis bernama Resti itu dengan mudah.
"Semudah itu?" tanya Dewi.
"Sebenarnya, dia terlihat ragu," jawab Raka jujur.
"Alasan apa yang kamu berikan?" tanya Ibra yang ingin tahu.
"Raka cuma bilang, kalau orang tuanya yang meminta Raka menikahi dia," jawabnya acuh.
Dewi dan Ibra hanya menganggukkan kepala. Bergelut dengan pikiran mereka masing-masing.
"Papa minta, kamu jangan sakiti dia. Papa tahu, kamu belum bisa move on dari Riska. Pernikahan bukan sebuah permainan. Jadi, kamu tetap harus menghargainya sebagai istri. Kamu mengerti, 'kan?" Ibra memberikan nasihat pada putra semata wayangnya.
Raka menghentikan gerakannya yang sedang memakan sarapan. Mendengar ucapan sang ayah, berbagai pikiran mulai bergelayut dalam benaknya.
"Raka mengerti, Pa," jawabnya lirih.
"Oh, iya. Raka ingin, Papa dan Mama, bertemu dengan Resti."
"Oke. Ajak dia ke rumah malam ini," ujar Dewi.
"Tidak. Kita bertemu di restoran saja," tolak Ibra.
"Papa dan Mama, tentukan saja lokasinya. Setelah itu, beritahu Raka."
Raka pun segera mencium punggung tangan orang tuanya. "Raka berangkat dulu," pamitnya.
Mereka menatap punggung Raka hingga menghilang. Dewi menghela napas perlahan.
"Apa tidak berlebihan, membiarkan mereka menikah?" tanya Ibra.
"Tidak. Mama yakin, Resti gadis yang tepat untuk Raka," jawab Dewi.
***
Pekerjaan yang menumpuk, membuat Resti melupakan sejenak masalah yang tengah ia alami. Termasuk, masalah pernikahan yang sempat dibicarakan oleh pria yang tidak dikenalnya. Sampai sebuah pesan masuk ke dalam ponselnya, membuat konsentrasi Resti seketika buyar.
Sore ini di restoran western. Lampu merah ketiga dari gedung kantormu. Aku dan orang tuaku akan ada di sana. (Raka)
Resti terdiam sesaat. Memikirkan benar atau tidaknya langkah yang ia ambil. Resti meletakkan ponselnya dan berusaha kembali konsentrasi pada pekerjaan. Bagaimana pun, ia harus bisa memisahkan masalah pekerjaan dan pribadi.
Tepat pukul lima, Resti keluar dari gedung kantornya. Sejak siang tadi, Raka seakan tak bosan untuk mengingatkannya akan janji temu mereka. Saat ia melangkah ke halte bus, sebuah mobil melintas dan membunyikan klakson.
"Ayo, naik," ajak pria di dalam mobil.
"Ah, Pak Bayu, 'kan? Apa Pak Raka yang meminta, Pak Bayu, menjemput saya?" tanya Resti.
Bayu mengangguk seraya tersenyum. Resti pun melangkah ke bagian belakang mobil. Namun, Bayu memintanya untuk duduk di depan saja.
"Depan aja. Aku supir pribadimu," ucap Bayu.
Senyum kecut terlihat di wajah Resti. Baginya, ucapan Bayu seakan tengah menyindir. Demi menjaga kedamaian hati dan mood, Resti memilih membuang pandangan dari jendela di sampingnya.
"Apa kau tersinggung dengan ucapanku?" tanya Bayu setelah mobil kembali melaju.
Sepertinya, pria itu bisa melihat perubahan di wajah Resti. Karenanya, ia memilih bertanya secara langsung.
"Tidak," jawabnya lirih. Pandangannya masih tetap pada jendela.
"Tapi, kenapa aku merasa seperti itu?"
"Saya cukup sadar diri. Karena itu, saya memilih diam."
Jawaban Resti membuat Bayu tak lagi berkutik. Entah dia merasa sungkan bertanya lebih lanjut, atau memang tak ada lagi yang ingin dibahasnya. Sepuluh menit kemudian, mobil memasuki sebuah restoran yang terlihat mewah.
Bayu membawanya ke sebuah ruang yang tertutup. Ruangan itu, memang dibuat untuk pelanggan yang membutuhkan privasi.
"Selamat sore," sapa Resti saat ia masuk.
Seorang wanita paruh baya mendekat dan mencium pipi kiri dan kanannya. Membuat Resti terkejut. Ia kembali tersadar dan mencium punggung tangan mereka.
"Ayo, duduk samping mama!" Dewi menepuk kursi di sampingnya.
"Terima kasih, Tante," ucap Resti.
"Panggil mama aja seperti Raka. Sebentar lagi, kamu akan jadi menantu mama," ujar Dewi.
Semudah itu orang tuanya menerima aku? Kenapa semua terasa sangat mencurigakan? tanya Resti dalam hati.
"Kamu pasti bingung, kenapa kami bisa menerimamu dengan mudah," tebak Ibra.
Kedua mata Resti membola sempurna mendengar tebakannya. Melihat ekspresi yang Resti perlihatkan, membuat Ibra tergelak. Sementara Raka, hanya menatap mereka bergantian secara datar.
Obrolan pun berlanjut. Ibra dan Dewi menyukai Resti. Begitu pun sebaliknya. Kemudian, obrolan mereka pun berganti dengan tema pernikahan yang akan dilakukan Resti dan Raka.
"Resti ingin pernikahan yang seperti apa?" tanya Dewi.
"Saya?" Resti menunjuk dirinya. "Karena orang tua saya tak lagi bisa melihat, cukup dengan yang sederhana saja, Tan. Eh, Ma," jawabnya.
"Oke. Berapa banyak undangan yang kalian inginkan?" Kembali Dewi bertanya.
Resti menatap Raka. Meminta bantuan pria itu untuk menjawab. Raka menyadari tatapan Resti. Ia pun berdeham sesaat.
"Menurut Raka, cukup keluarga inti saja."
Dewi dan Ibra menatap Raka. Mencoba mencari tahu alasan di balik ucapan putra mereka.
"Tidak bisa begitu, Raka. Pernikahan itu sekali seumur hidup. Lakukan yang terbaik untuk istrimu," protes Dewi.
"Papa setuju dengan ucapan mama. Kamu tidak bisa melakukan hal itu. Resti akan menjadi istri sahmu. Kau tidak sedang berpikir ini permainan, 'kan?" terka Ibra.
"Ya, gak lah, Pa. Raka hanya butuh waktu untuk mempublikasikannya," elak Raka.
"Saya setuju. Apa lagi, saya juga baru mulai bekerja. Saya tidak ingin orang membicarakan hal yang tidak-tidak tentang pernikahan kami, nanti," ujar Resti membela Raka.
Apa pikirannya selalu positif seperti ini? pikir Raka.
"Kalau begitu, terserah kalian saja. Mama dan papa hanya bisa mendukung keputusan yang kalian sepakati."
Dewi tak bisa berbuat apa pun, jika anak dan calon menantunya sudah memutuskan.
***
Hari terus berganti. Beberapa hari sebelum pernikahan, Raka mulai meragu. Ia tidak yakin, bila langkah yang diambilnya, akan menyakiti Resti. Bayu yang masuk ke ruangannya, bisa melihat kegalauan yang dialami Raka.
"Kenapa lo?" tanya Bayu.
"Gue mulai ragu sama keputusan ini," jawab Raka lirih.
"Belum terlambat kalau lo mau mundur."
"Tapi ...." Raka tak melanjutkan ucapannya.
"Sebagai teman, gue cuma bisa mendukung semua keputusan yang lo ambil. Semangat, Bos." Bayu menepuk pundak Raka.
Mendengar ucapan Bayu, Raka hanya bisa menghela napas kasar. Sejujurnya, aku masih mencintai dan mengharapkan Riska kembali. Tapi, aku juga merasa bersalah, telah membuat Resti menjadi yatim piatu, gumam Raka dalam hati.
Raka memejamkan mata, lalu menyandarkan punggung pada kursi kebesarannya. Mencoba meyakinkan hatinya kembali, bila ini adalah keputusan terbaik.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 99 Episodes
Comments
Neng zahra
seruu ceritanya, semangat kak🥰
2023-07-22
2