4

Malam menjelang, ketiga gadis remaja yang sedang bersantai di kamar mereka masing-masing. Secara bersamaan, sama-sama memegang ponsel di tangan mereka. Itu karena notif pemberitahuan dari aplikasi menulis, rupanya kawannya sudah up. Sebagai teman tentu saja mereka langsung tancap gas membuka aplikasi dan mulai membaca kata demi kata yang dirangkai oleh sahabat mereka yang satu itu.

"Gila, parah banget ceritanya," pekik Miu setelah selesai membaca bab terbaru novel temannya. Gadis itu bahkan langsung bangkit saking tak percayanya dia dengan cerita yang baru saja selesai dia baca.

Tak jauh berbeda dengan reaksi Miu. Indi dan Lili rupanya juga bereaksi tak jauh berbeda seperti temannya itu setelah selesai membaca bab terbaru tersebut.

Beberapa menit kemudian, ponsel mereka berdering. Vie menelepon mereka semua di waktu yang bersamaan. "Gimana? Udah baca belum? Keren kan?" suara tawa terdengar dari sana, rupanya Vie sedang terkikik geli memikirkan bagaimana reaksi temannya saat ini.

"Bagus apanya? Sangat-sangat gak waras dan absurd, Vie!" umpat Lili tanpa filter mengkritik sahabatnya. Bukannya jahat, dia hanya tak ingin sahabatnya itu dikritik orang lain. Jadi biar saja dia yang lebih dulu mengkritik biar temannya siap mental kalau ada kritikan yang lebih jahat dari yang barusan dia lontarkan.

"Terlalu keren, sampai-sampai gue bingung harus bilang apa selain 'Wow'!" kata Miu sedikit menyemangati kawannya. Bagaimana pun menulis itu tak mudah, jadi jangan terlalu jahat kalau memberi kritikan. Kalau gak suka ya skip aja, gak ada juga yang maksa untuk terus ngikutin sampai selesai.

"Gue gak berani komen, gue takut lu down nanti," kata Indi memilih diam.

"Ha-ha-ha, gak apa-apa lagi. Gue tahu kalau tulisan gue aneh, tapi kan gue baru nulis dua bab, baru belajar juga, jadi masih banyak kekurangan," tukas Vie dengan nada ceria, gadis itu sama sekali tak marah dikritik habis-habisan oleh Lili. "Gue juga cuma iseng, bukannya serius. Nanti kalau udah bener bisa nulis yang keren, baru deh gue seriusin tuh dunia tulis menulis!" lanjut Vie terdengar penuh semangat.

"Gue dukung!" tukas Miu menyemangati.

"Gue juga, semangat Vie!" tambah Indi.

"Lu tahu kan gue gak maksud jahat walau omongan gue kadang nyakitin, jadi semangat!" tutur Lili merasa bersalah.

"Iya, gue tahu. Santai aja, Li," balas Vie dengan cepat.

Keempatnya mengobrol selama beberapa saat, mereka memberi masukan untuk novel yang Vie garap sekarang, misalnya apa saja yang harus ditulis dan apa aja yang bisa jadi plot untuk terus menyambung dan mengembangkan cerita kawan mereka itu.

Vie mengakhiri panggilan setelah melihat waktu, hari sudah semakin larut dan mereka belum juga tidur.

...ೋ❀❀ೋ═══ • ═══ೋ❀❀ೋ...

"Yo," sapa Lili saat dia baru saja sampai di markas mereka keesokan harinya. "Ada makanan gak? Leper gue," tukas gadis itu bahkan dia belum duduk tapi sudah menanyakan soal makanan.

"Ada tuh, tadi Miu bawain gorengan," kata Vie melirik ke atas meja.

"Aish, gue lagi diet, gak deh kalau gorengan," timpal Lili sok menolak.

"Gaya lu nolak, palingan bentar lagi langsung ilang sama bungkus-bungkusnya!" cibir Indi terlalu terbiasa dengan gaya kawannya yang selalu saja bilang diet tiap hari, sok nolak makanan, tapi ujung-ujungnya semua habis masuk ke perutnya sendiri gak pake menunggu waktu lama.

"Sirik aja lu!" dengus Lili, dengan cepat tangan gadis itu menyambar gorengan yang katanya dibeli oleh Miu. "Enak nih, beli di mana?" tanya gadis itu tak peduli dengan tatapan ketiga kawannya yang seolah mengatakan 'Katanya tadi diet, mana'. Lili terus saja mengunyah dan mengunyah sampai dia merasa kenyang.

"Gak usah nanya beli di mana, abisin aja sekalian sama tempat-tempatnya juga gak masalah," tukas Miu mendengus kecil, geli melihat tingkah kawannya yang satu ini.

"He-he, tahu aja kalau perut gue lagi unjuk rasa," cengir Lili tanpa tahu malu. Yah, mereka semua gak ada malunya kalau sudah berurusan dengan makanan. Lagian mereka berteman tanpa jaim dan tahu bagaimana diri mereka semua, mereka berteman dari kecil jadi tak ada sikap dan sifat yang dirahasiakan di antara mereka.

"Vie, lu gak niat ngedit tulisan lo?" tanya Lili tiba-tiba.

"Gak, ah. Gue malas, ntar makin hancur cerita gue," kata Vie jujur.

"Sebenernya lu mau cerita soal apaan sih, Vie?" tanya Indi penasaran. "Dua bab loh udah, tapi gue belum juga nangkep inti dari cerita lo apaan," lanjut gadis itu. Entah otaknya yang tak sampai karena novel sahabatnya dibungkus dengan epik dan penuh kerahasiaan, atau memang novelnya saja yang belum jelas ceritanya apa dari awal.

"Mau tahu?" tanya Vie memasang tampang serius. Lili dan Indi semangat mengangguk. "Gak jadi, deh. Miu gak suka sama yang namanya spoiler," lanjut Vie tersenyum tanpa rasa bersalah sama sekali.

"Yaelah, kan lu bisa chat ke kita berdua aja. Gak usah kasih tahu si Miu!" dengus Lili yang tadi berharap dapat bocoran cerita, mumpung kawannya penulis, jadi dia bisa dapat gak khusus tahu endingnya tanpa harus nunggu lama.

"Yang gue heran, napa lu malah jadi penjahat di sana?" tanya Indi tak paham jalan pikiran kawannya itu. Apa jangan-jangan kawannya ada bakat jadi antagonis yang super duper jahatnya.

"Iya, biasanya kan kalau udah nulis malah pengen jadi pahlawan wanitanya atau heroin di sana. Ini kok malah milih jadi penjahat!" dengus Lili.

"Bosen kali jadi orang baik di dunia nyata, jadi ubah haluan jadi penjahat mumpung lagi di dalam novel," timpal Miu berkomentar. "Lagian Vie kan yang nulis, jadi belum tentu penjahat dapat akhir yang menyedihkan kayak cerita-cerita pada umumnya!" lanjut gadis itu berpendapat.

"Ho, apakah setelah sekian lama akhirnya gue bakalan bisa ngeliat ending penjahat yang mendapat kebahagiaan dan bisa ngalahin pahlawan wanita?" ucap Lili bersemangat.

"Belum ada bayangan sih mau ending yang gimana," ucap Vie terlihat berpikir dengan serius. "Tapi kalau gue beneran jadi penjahat, gue pasti juga pengen dapet ending bahagia dan bukannya malah mati atau dipenggal atau sengsara yang gak ada habisnya," lanjut gadis itu nyengir kuda.

"Tapi dari semuanya, gue paling suka nama gue di cerita lo!" tukas Lili bersemangat. "Lizbelle Margarita, pas gue baca gue ngerasa jadi orang yang paling keren!" lanjut gadis itu dengan senyum merekah di wajahnya.

"Gue setuju, nama gue juga keren!" kata Miu tersenyum puas. Namanya terlalu cantik di novel kawannya itu, Michaella Uftharq. Gue gak tahu artinya apa, tapi keren aja sih.

"Lu belum buat nama gue sayangnya, pokoknya jangan kalah keren dari mereka berdua, ya!" desak Indi setengah kesal.

"Eleh, nama gue aja belum jadi. Emang gampang buat nama?!" tukas Vie memutar bola matanya malas. Dia tak ahli merangkai nama, dia cuma amatiran yang sedikit memeras otaknya untuk membuat cerita dan mana tokoh yang sekiranya masuk akal. Yah kalau kurang masuk akal, tinggal tambahin sedikit lah biar bisa jadi masuk akal.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!