Dada Erick sesak seketika. Dia hanyalah rekan Adnan, tetapi entah kenapa dirinya seperti disambar petir setelah mendengar ucapan pria itu barusan. Dia bahkan hampir membenturkan kepalan tangannya ke tembok sesaat setelah pria itu menutup panggilan, tetapi urung. Erick ingat bahwa Adnan kini sedang terpukul dan tak mungkin baginya memberitahukan tentang hal ini. Namun, titah tetaplah titah. Dia harus segera mengatakannya pada Adnan sebelum terlambat.
“Adnan,” panggil Erick. Adnan kembali membuang muka enggan menatapnya.
“Apa yang barusan dia katakan padamu?”tanya pemuda tersebut.
Erick tersentak. Dia sudah mengecilkan volume suaranya saat menerima panggilan tadi, tapi kenyataannya Adnan mendengar pembicaraan mereka. DIa menghela napas dan menelan saliva sejenak.
“Komandan bilang, kau tidak akan bisa kembali ke Bumi dengan kondisi seperti ini. Ada banyak cara untuk membuatmu normal, tapi dengan satu syarat,” katanya. “Kau harus menyetujui rencananya.”
Adnan bergeming. Sementara Erick, dia tidak tahu harus melakukan apalagi setelah ini. Dia bisa saja langsung
keluar ruangan dan menyalahkan diri sendiri karena mengatakan kejujuran itu pada Adnan.
“Dua bulan,” kata Erick lagi. “Jika kau menyetujui rencananya, maka hanya butuh waktu dua bulan sampai kita dikirim ke Bumi.”
“Apa hanya dengan cara itu aku bisa bertemu Adara?” Adnan masih enggan menatap Erick.
Erick kembali tersentak. “Kapten sepertimu pasti memiliki banyak cara gila,” ucapnya. “Jika kau bisa mengendalikan situasinya, aku akan mendukungmu untuk bertemu dengannya. Bahkan jika harus mengorbankan nyawaku juga.”
Adnan menoleh. Membuat bola mata sendunya tampak jelas oleh Erick. “Aku tidak menyuruhmu untuk berkorban,” lirihnya.
“Aku tahu.” Erick menimpali. “Sejak aku tinggal di sini, hanya kaulah satu-satunya orang yang mau menolongku, Adnan. Kau adalah temanku. Sahabatku—”
“Jangan bilang pengorbananmu hanya untuk membalas hutang budiku,” sela Adnan.
“Tidak! Aku serius!”
“Hutang budiku tak perlu kau balas. Lagi pula, kau rekanku selama empat tahun di sini.”
Erick terdiam.
“Jadi, kapan aku bisa mengatakan pada Komandan jika aku menyetujui rencananya?”tanya Adnan kemudian.
Pemuda berambutcokelat itu kembali tersentak. Napasnya sempat tercekat sepersekian detik.
“Ng ... biar aku saja yang mengatakannya pada Komandan,” kata Erick. “Tapi, jika kau menyetujuinya, maka kau akan menghancurkan negara asalmu, Adnan,” tegurnya lirih. “Kau ... apa kau setega itu, sedang kau masih memiliki status kewarganegaraan ganda kini.”
Adnan bergeming. Matanya terpejam dengan embus napas keluar dari lubang hidungnya. “Entahlah.”
***
Aku kan bilang ingin menjemputmu, bukan ingin ketemuan denganmu.
Kalimat itu masih bersenandung dalam ingatan. Seorang gadis yang kini rambutnya telah acak-acakan terbangun dari lelap. Matanya perlahan terbuka, sebentar menelisik setiap hal yang bisa dijangkau oleh pandangannya. Dia mendengkus. Aroma keringat akibat panas alam itu masih terhidu. Bukan hanya keringat, kini bertambah dengan belerang dan bau gosong yang tertangkap indera penciumannya. Amat tajam.
Adara—gadis itu—berdecih dan mengusap hidung sejenak. Pikirannya bertaut, bertanya sudah berapa lama dia nongkrong di rak kayu gantung itu. Dia ingat sekali—entah beberapa hari yang lalu—naik ke rak tersebut demi menyelamatkan diri dari amukan lava panas. Dan kini, pikirannya seperti kosong, selain hanya beberapa memori kecil yang dia ingat.
Perutnya bernyanyi. Memaksa gadis itu untuk tersadar bahwa dirinya sudah beberapa hari tak mendapat asupan pengganjal perut di sana. Dia hanya membawa sebotol air mineral di ranselnya yang kini sudah habis tak bersisa. Adara kembali mendengkus kasar.
“Aku lapar,” katanya serak.
Gadis yang masih mengenakan seragam sekolah itu menunduk ke lantai ruangan yang sudah dipenuhi oleh genangan berwarna cokelat pekat. Dia mengernyit, mengambil sebuah buku dari dalam ransel dan menjatuhkannya ke genangan tersebut untuk mendeteksi sesuatu. Kering. Buku itu tak tenggelam ataupun terbakar di sana.
“Apa tak apa?” gumam Adara.
Tanpa pikir panjang, gadis itu melompat dan mendaratkan kedua tungkainya di atas genangan cokelat pekat yang telah memadat sempurna itu. Dingin. Adara memijakkan telapak kakinya yang masih berbalut sepatu itu berkali-kali.
“Aman,” gumamnya mantap.
Netranya menyebarkan pandangan. Mendapati sesuatu yang menarik perhatiannya, Adara bergegas keluar ruangan. Dia terkejut. Matanya melebar. Semuanya telah lenyap, tertimbun oleh amukan lava panas. Dia berjalan menjauhi gedung sekolah dan melihat bahwa seluruh bagian gedung itu telah berada di bawah lava yang kini memadat.
“Apakah ini mimpi?”
***
Adnan berkali-kali memandangi arloji yang melingkar di pergelangan tangan kiri. Matanya sesekali melihat keluar jendela. Batuan dan benda asing melayang, serta aroma luar angkasa telah dinikmatinyaselama sebulan di tempat
ini—setelah sebelumnya gagal pulang ke kampung halamannya di Bumi.
Cosmo seharusnya menjadi torus perdamaian bagi umat manusia. Namun,kini pangkalan militer dan pusat perdamaian dunia itu malah memihak pada salah satu aliansi di Bumi; aliansi barat. Sejak deklarasi perang itu diumumkan ke publik, banyak jiwa merasa gelisah, bahkan ketakutan. Terlebih saat mereka dihadapkan pada
permasalahan Bumi yang semakin menua. Ini menjadi konflik berkepanjangan jika salah satu dari aliansi di Bumi itu tak ada yang mau mengalah.
Namun,bagaimana jika mengalah hanya untuk menjadi budak bagi aliansi lain yang haus akan kekuasaan?
“Kau sudah siap?”
Lamunan Adnan terurai seketika saat seorang pemuda bertanya padanya. Dia menoleh ke arah rekannyaitu. Erick.
“Satu bulan lagi,” kata Erick. Dia tersenyum tipis pada pemuda bermata birudi depannya.
Adnan mengangguk. Dia memandang kembali keluar jendela yang menampakkan planet biru itu, lalu berlalu setelah Erick mendorong kursi rodanya.
***
Adara
menengadah, menatap hamparan langit. Semburat jingga mulai jelas menampak di ufuk barat. Dia kembali mengedarkan pandangan. Hamparan tanah kosong dengan reruntuhan bangunan tak berbentuk yang bagai batu itu seakan membuat dirinya berada di tempat lain di Bumi ini. Seperti di Mars, atau di planet alien di luar galaksi sana. Langkahnya yang terhuyung bergerak tak tentu. Baterai ponselnya sudah hampir habis dan dia tak tahu harus ke mana lagi jika saja ponselnya mati dan melenyapkan kompasnya.
Gelap sudah mulai merambat perlahan. Embusan angin bersuhu rendah menerobos tubuh gadis itu hingga membuatnya bergidik. Adara mendengkus panjang sambil kedua tangannya bersilang dan saling mengusap—berusaha menghangatkan diri.
“Kompasnya rusak atau bagaimana, sih?” celotehnya. “Dari tadi aku tak menemukan orang-orang di sekitar sini.”
Adara memandangi sekitar. Lagi-lagi hanya hamparan kosong dengan beberapa reruntuhan bangunan di sekitarnya. Tanpa hewan. Tanpa manusia. Angin kembali berhembus, kini lebih kencang dari sebelumnya. Adara bergidik gemetar. Namun, semua rasa itu seketika tertahan saat dia melihat sebuah reruntuhan bangunan yang unik. Dia bergegas berlari menuju bangunan itu dan masuk. Yah, walaupun hanya seluas 1x2 meter persegi,
setidaknya bisa melindungi dirinya dari kegelapan malam ini.
Adara meringkuk, merangkul kedua tungkainya yang bertekuk. Tubuhnya gemetaran. Selang beberapa saat, bulir air mata jatuh membasahi kedua pipi.
Kacau. Dia hanya seorang diri sekarang. Kehilangan rumah, teman, dan segalanya sekaligus. Adaratak tahu harus melakukan apa selain merenungi nasibnya kini dan sambil berharap seseorang menolongnya. Pikirnya bergelayut pada bayangan seorang pemuda yang tersenyum ke arahnya.
Aku akan menjemputmu, Adara!
Adara tersentak. Pandangannya terangkat sebelum akhirnya dia dikejutkan oleh deru suara yang menggangu pendengaran. Dia mendongak dan mendapati beberapa pesawat bermanuver di sana. Adara hendak berteriak, tetapi tertahan saat pikirannya mulai berputar bahwa tak seharusnya dia berteriak detik ini.
Ketiga pesawat yang bermanuver di langit adalah milik aliansi barat. Dan untuk dirinya yang merupakan warga negara aliansi timur tak mungkin meminta tolong jika dia tidak ingin mati sekarang. Air liurnya meluncur, menerobos kerongkongannya seketika. Embusan napas keluar dari lubang hidung. Kedua manik cokelatnya masih memandang tiga pesawat yang bermanuver perlahan meninggalkan wilayah tersebut.
“Kau bodoh sekali, Adara,” gumamnya. “Apa kau ingin mati sebelum Adnan menjemputmu?”
Adara terdiam dan kembali duduk di posisinya semula dan kembali menangis.
“Bodoh!”
***
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 65 Episodes
Comments