Deru meriam dan peluru saling memburu. Teriakan menggema, menambah haluan nada di atas tanah kosong dengan berbagai reruntuhan di sekitarnya. Sesuatu yang meluncur dari beberapa burung besi yang bermanuver di langit menambah kekacauan di area tersebut.
“Sial! Aliansi barat menggempur wilayah kita tanpa isyarat. Bagaimana kita bisa menghentikannya?” celetuk salah seorang pria dengan senapan yang dia bawa. Dirinya bersembunyi di balik sebuah reruntuhan setinggi satu meter bersama seorang rekannya.
“Dan menurutmu, apa kita bisa menghalau mereka dengan senjata lama ini, huh?” timpal rekannya kesal. Sesekali dia menyelisik dari balik reruntuhan itu untuk mengamati pergerakan musuh.
Ledakan besar kembali bersua, disambung teriakan massal dari banyak pejuang yang langsung terbakar habis di tempat. Pria ini meringis ngeri. Tubuhnya gemetar bergidik, merasakan kecemasan dan takut yang teramat sangat. Terlebih saat melihat koyakan daging milik para manusia yang meledak itu terlontar sejauh beberapa meter dan hampir mendekati lokasi persembunyiannya.
“Kita akan mati,” bisiknya gemetar.
Rekannya yang berambut hitam itu memandangi sebentar. Menyelisik rupa pria yang sudah seperti gelandangan itu, lalu menyiapkan senapannya.
“Hanya orang pengecut yang berpikir dirinya akan mati,” kata pria berambut hitam tersebut. “Kau takkan pernah tahu apa yang terjadi di depanmu kalau kau melihat mereka yang telah kalah. Mereka adalah pemacu semangat, bukan pemicu ketakutan.”
“Hah?”
Si pria tadi mendadak bergeming. Saling berpandangan dengan rekannya itu. Sekian detik kemudian, bahunya ditepuk hingga lamunannya terurai. Rekannya tersenyum simpul.
“Aku akan memirang rambutku jika aku tidak mati di perang ini,” katanya sebelum akhirnya bangkit dan berlari menuju musuh.
“Hah? Ja—”
Pria itu berbalik dan memandang punggung rekannya yang malah berlari mendekati musuh. Sebuah gumulan kabut pasir menutup keberadaan pria berambuthitam itu. Sampai akhirnya, sebuah ledakan tak terelakkan.
“JASON!!!”
***
Adara membuka cepat kedua mata. Dia bangun dari lelap dan menyebarkan pandangan ke sekitar. Sejak pagi tadi, dia masih terpaku di ruang reruntuhan itu tanpa tahu harus ke mana. Otaknya sudah bagai kosong tak berisi saja. Hanya serpihan ingatan masa lalu yang masih terngiang olehnya.
Gadis itu meneguk liur melalui kerongkongannya yang tercekat. Organ yang berbentuk selang itu rasanya amat panas. Sesekali Adara menggaruk leher sembari melakukan salivasi, mencoba menahan gejolak dehidrasi yang mungkin telah menjalari tubuh. Mulutnya terasa kering dan bibir mungilnya juga sudah pecah-pecah bagai retakan tanah di musim kemarau panjang. Jantung dan napasnya kadang saling memburu. Dan juga, Adara kini mudah sekali mengantuk. Tubuhnya benar-benar lemas karena kekurangan cairan.
Adara meringkuk sambil merangkul ransel. Selama beberapa detik dia mengatur napas agar kembali normal. Selang beberapa saat, sebuah dentuman mengejutkannya.
“Apa itu?”
Dia mengeluarkan sedikit tubuh dari ruangan itudan menyebarkan pandangan. Ada sebuah kepulan asap tebal di salah satu arah yang membuat kedua netranya mendelik.
“Asap?” gumamnya.
Deru suara kendaraan berat terdengar samar. Kedua mata Adara yang sudah sendu layu lantas kembali dilebarkan olehnya—fokus dan terus fokus. Beberapa kendaraan pengangkut milik tentara lewat tak jauh dari tempat Adara berada. Mulut Adara terbuka. Namun, anehnya, dia tak bisa berteriak. Adara berdeham, mencoba mengatur pita suara dan kerongkongannya, lalu kembali berteriak.
Sial.
Satu teriakan saja tak berhasil dia suarakan. Adara melambaikan kedua tangan sekuat tenaga. Entah apa yang
dipikirkannya saat ini, dan bahkan dia tak tahu dari mana kendaraan pengangkut itu berasal. Napas dan denyut jantungnya kian memburu ganas dan kini semakin menyempit.
Adara tersungkur. Mata buramnya masih mencoba melihat ke arah kendaraan itu pergi. Barat. Ya, arah barat. Ke arah sana pun seharusnya dia pergi. Namun, dengan kondisinya kini, Adara hanya tersungkur dalam kegemingan. Merangkul pasir dalam genggaman tangannya dan sambil berpikir, apakah dia akan mati detik ini?
Sementara itu, seorang pemuda tengah mengamati sekitar dari balik teropong mungil yang dibawanya. Di atas kendaraan pengangkut itu telah banyak penduduk dengan berbagai usia, mulai dari lanjut usia, ibu hamil, bahkan anak-anak. Salah seorang anak perempuan turut mengamati sekitar seperti pemuda tersebut. Sepersekian detik kemudian, bola matanya melebar. Dia melonjak terkejut dan sigap menarik baju pemuda di sampingnya.
“Aku melihat sesuatu di sana!” serunya di sela deru kasar kendaraan yang ditumpangi. “Coba lihat lebih jelas!”
Pemuda tadi segera menajamkan fokus teropongnya sejenak. “Berhenti!” serunya pada sang supir. “BERHENTI!!!”
Kendaraan pengangkut itu berhenti, menuruti titah pemuda tersebut.
“Ayo ke sana!” ajak si gadis kecil sambil turun dari kendaraan tersebut dan berlari menuju sesuatu yang dilihatnya.
“Hei! Tunggu!”
Bola mata mungil itu menyalang. Melihat sesuatu di depannya, sampai akhirnya seorang pemuda menghampiri dirinya.
“Jun. Aku, kan, sudah bilang, tetaplah di sana!” tegur pemuda tersebut.
“Ssst.” Jun—si gadis kecil itu—mendesis sejenak sambil menunjuk ke arah depannya berkali-kali. “Dia masih hidup, Kak,” bisiknya.
Pemuda itu tersentak. Terlebih saat dia melihat sesosok tubuh tergeletak di depannya kini. Seorang gadis berseragam sekolah yang tak sadarkan diri.
“Kau yakin?” tanyanya pada Jun.
“Instingku selalu benar, Kak Jo!” jawab Jun setengah berseru, berusaha meyakinkan sang kakak.
Jo bergegas memeriksa denyut nadi gadis berambut hitam itu. Dia harus berkali-kali pindah area untuk mencari nadi kehidupan pada gadis itu, sampai akhirnya di bagian lehernyalah denyut nadi terasa. Amat lemah.
“Dehidrasi berat,” ucap Jo. Dia bangkit dan memberi isyarat pada supirkendaraan pengangkut agar lebih mendekat ke lokasi, lalu kembali pada sosok gadis yang tak sadarkan diri itu.
“Kita akan membawanya?” tanya Jun penasaran. “Benar?”
Jo memandangi adik perempuannya sejenak, lalu mengangguk sembari mengusap rambut gadis kecil itu. Dia
tersenyum simpul. “Tentu saja,” katanya menimpali.
***
Seorang pemuda tengah memandang ke luar jendela kaca pada sesuatu yang tengah dinaikinya sekarang. Mata birunya berfokus pada sebuah planet biru dan serpihan bebatuan melayang di sekitarnya. Tidakhanya itu, banyak pula kerikil besi dan pecahan berbagai macam benda turut bertaburan, menyurai hening ruang anti gravitasi tak terbatas itu.
Pikirannya melayang, merujuk pada seseorang yang gagal ditemuinya beberapa waktu lalu. Bibirnya sesekali tergigit kecut—kesal tiada tara. Napasnya kadang memburu seiring detak jantungnya yang telah normal. Sudah tiga bulan, dan dia harus segera turun ke planet biru itu untuk menjemput seseorang yang selalu merumitkan otaknya.
“Adnan?”
Seseorang memanggil namanya. Jelas sekali. Pemuda itu berbalik dan seperti biasanya, dia selalu tahu siapa sosok yang memanggilnya dengan nama ‘Adnan’.
“Kau melamun lagi?”tanya sosok tersebut.
“Tidak.” Adnan menjawab cepat. Dia berjalan mendahului pemuda berambutcokelat itu.
“Jangan mengelak dariku, Ad!”
“Berhentilah menanyaiku seperti itu, Erick!” sergah Adnan sigap berbalik pada pemuda yang menegurnya barusan; Erick. Sejenak, dia setengah menunduk dan mengatur ritme napasnya. “Maaf,” imbuhnya.
Erick menghela napas. “Tak apa,” katanya sambil menepuk pundak Adnan. “Ayo, bergegaslah!”
***
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 65 Episodes
Comments