“Ada apa ini?”
“Kenapa berhenti?”
Seluruh penumpang saling bertanya, memandang ke berbagai arah. Teriakan menggema saat sang sopir bus memutar laju kendaraan yang dia kemudikan. Penumpang saling berjatuhan. Mereka bertanya-tanya alasan sang sopir memutarbalikkan bus dan bahkan bermanuver kilat di jalan raya yang kini berubah riuh.
“Pak! Apa yang terjadi?” seru salah satu penumpang.
“Apa kalian pikir aku mau mati, huh? Ada lava panas di sana!” Sang sopir berteriak menimpali.
Adnan tersentak. Dia berbalik dan melihat ke arah belakang. Sungai merah menyala dengan kepul asap di sekitarnya mulai menuruni gunung yang dilihatnya beberapa saat yang lalu. Sebuah dentuman terdengar dan mengurai fokusnya. Tubuh Adnan mengguling beberapa kali, bertabrakan dengan tubuh para penumpang lain dan mendarat secara tidak wajar.
Roda bus yang dirinya tumpangi terjerembab ke sebuah retakan besar, membuat bus itu terguling beberapa kali dan berakhir setelah menerobos beberapa bangunan. Ledakan yang berasal dari satu-satunya gunung di wilayah
tersebutterdengar keras. Diiringi dengan raung tangis para penduduk yang menyelamatkan diri mereka masing-masing.
Adnan tersadar saat ponselnya berdering. Matanya terbuka perlahan, memandang ponsel yang telah terlempar dari saku celananya dan mendarat tidak jauh dari posisinya kini. Dia berusaha meraih ponsel itu sembari meringis menahan sakit karena tubuhnya tertimpa bilah besi kerangka bus. Sementara di sekitarnya, banyak jasad bergelimpangan bagai bangkai ikan. Netranya melonjak kaget saat melihat pria tua yang mengobrol dengannya tadi tengah meregang nyawa, mendelik ke arahnya. Mulutnya menganga seperti hendak mengatakan sesuatu pada pemuda itu, tetapi urung karena sekian detik selanjutnya, dia benar-benar tiada.
Adnan kembali meraih ponselnya dengan susah payah dan bergegas mengangkat panggilan yang sejak tadi telah meributkan telinganya.
“Kapten!” Seseorang berseru dari balik telepon. “Aku baru tahu kalau kau mengundurkan diri. Apa kau kembali ke sana? Kau akan pindah ke sana?”
Pemuda berambut hitam itu tahu betul siapa yang menghubunginya sekarang. Dia mendengkus di sela ringisan sakitnya. Berusaha untuk membalas ucapan lawan bicaranya.
“Kapten, aku mendeteksi adanya gempa bermagnitudo besar di rumah lamamu barusan. Kau sudah berada di sana?”tanya suara di balik panggilan itu.
“Bocah brengsek ini ....” Adnan menggerutu kesal dalam batinnya. “Aku kan sudah mengirim surat resign padanya, sudah pasti aku berada di sini sekarang. Memangnya aku ini penipu sampai dia tidak percaya begitu? Bodoh sekali!”
Seandainya saja Adnan bisa membuka mulut, pasti dia langsung memarahi lawan bicaranya itu. Namun, dia lebih baik mematikan panggilan dan segera menekan sebuah ikondi layar ponsel. Sementara pemuda yang menjadi lawan bicara Adnan barusan mendapat sebuah notifikasi pada ponselnya.
“Share location?” gumamnya. Sepersekian detik kemudian matanya memelotot.
“ADNAN!!!”
***
Iris kecokelatan itu baru saja terbuka perlahan. Pemiliknya menggeliat, merasakan persentimeter tubuhnya yang mendadak seperti remahan kerupuk. Hampir saja dia mati rasa. Pandangannya menyapu sekitar ruangan bercat putih tempatnya terbaring kini dan berakhir pada beberapa selang infus yang mengekangnya.
“Anda sudah sadar?” tanya seseorang yang baru saja masuk ruangan. “Kapten Unit 3—Adnan Harris.”
Adnan berdeham sejenak. “Di mana ... aku?” tanyanya serak.
“Ruang perawatan Cosmo Unit 1,” jawab wanita berpakaian serba putih itu. “Anda mengalami kecelakaan akibat bencana yang terjadi di kota tempat tinggal lama Anda, Kapten.”
Pemuda itu mengernyit. “Bencana?” selisiknya. Sepersekian detik kemudian, dia terlonjak—teringat sesuatu—dan hampir saja terjatuh dari ranjang sebelum akhirnya wanita itu menolongnya.
“Anda masih dalam perawatan dan dilarang untuk bergerak, Kapten.”
“Aku bukan kapten lagi!” serunya kesal sembari meringis menahan sakit di sekujur tubuhnya. “Aku harus keluar,” imbuhnya.
“Tapi, Kapten ....”
“Sudah kubilang, aku bukan kapten lagi!”
Wanita yang merupakan seorang perawat itu tercekat sejenak. “Maaf, Tuan. Tapi Anda dilarang untuk keluar selama masa perawatan,” ucapnya. “Besi kerangka bus yang menimpa tubuh Anda menyebabkan beberapa ruas tulang punggung Anda hancur.”
Adnan tersentak, memelotot. “Apa?” tanyanya lirih—tidak percaya.
“Itu benar, Tuan. Saya adalah perawat di sini, jadi saya tidak mungkin menipu Anda. Anda bahkan sudah satu minggu tak sadarkan diri sejak peristiwa itu.”
Pemuda berambut hitam itu kembali terlonjak kaget. “Bagaimana? Bagaimana aku bisa kembali ke sini lagi?” tanyanya.
Suara pintu ruangan yang terbuka mengurai fokus Adnan dan perawat tersebut. Seorang pemuda berambut cokelat tampak memasuki ruangan dan sigap menghampiri ranjang Adnan. Sedetik kemudian, dia mengernyit aneh pada
pemuda yang baru saja tersadar dari tidur panjangnya itu.
“Kau sudah sadar?” tanyanya.
Adnan tidak menyahut. Sementara sang perawat menoleh dan memberi isyarat pada pemuda berambut cokelat itu. Namun, sekian detik selanjutnya, perawat tersebut keluar ruangan setelah diberi isyarat oleh pemuda tersebut.
“Kau mengirim titik lokasimu padaku saat itu, Kapten. Jadi kami langsung bisa mengirim bantuan untukmu. Lagipula, kenapa kau mengundurkan diri dari pekerjaanmu?”tanya pemuda seusia Adnan itu.
Adnan masih bergeming dan membuang muka.
“Kapten.”
Detik ini, Adnan mengembuskan napas panjang yang amat kasar. “Aku, kan, sudah resign kemarin. Kenapa masih memanggilku seperti itu?” tanyanya masih tak mau memandang pemuda berambutcokelat itu.
“Komandan memintamu untuk kembali setelah kau sehat nanti,” timpal pemuda itu menghiraukan pertanyaan Adnan.
“Frederick Add.”
Pemuda itu tersentak saat Adnan menyebutkan namanya. Terlebih saat Adnan memandang ke arahnya dengan kedua mata birunya yang misterius.
“Erick,” panggil Adnan. “Jelaskan padaku, kenapa Komandan memintaku untuk kembali?”
Erick menundukkan pandangannya sejenak. Dia mengembuskan napas panjang sebelum akhirnya menarik sebuah kursi dan duduk di dekat ranjang Adnan.
“Bumi hancur,” katanya.
“Hah?”
“Peristiwa yang terjadi satu minggu yang lalu telah meluluhlantakkan banyak wilayah, termasuk tempat tinggal lamamu. Aliansi timur berada di ambang kehancuran saat ini. Setidaknya, itulah yang kudapat dari berita yang tersebar di Cosmo sampai detik ini,” ujar Erick. “Pemimpin aliansi barat melihat momen ini sebagai kesempatan untuk melancarkan deklarasi itu. Dia menghubungi Cosmo dan meminta kita untuk mendukung keputusannya. Kupikir, tadinya Komandan tidak menghiraukannya. Tapi ternyata semua di luar dugaan. Komandan menyetujui hal itu dan dia menghubungiku untuk memintamu kembali ke militer lagi.”
Kedua mata Adnan membola seketika. “Apa? Jadi ....”
Erick mengangguk. “Seperti yang kau sadari sekarang. Komandan hanya memutuskan hal itu secara sepihak. Dan ... perdamaian mungkin sudah tak berlaku lagi sekarang.”
Adnan berdecih. Pikirannya seketika kacau.
“Lalu ... mengenai jumlah korban di tempat tinggal lamamu, tercatat sekitar 25.000 jiwa meninggal,”lanjut Erick.
“Apa ada nama Adara di daftar itu?” Adnan menyerobot bertanya hingga membuat Erick sedikit mengernyit padanya. “Adara. Yusagi Adara namanya.”
“Yusagi ... Adara ....” Erick menggumam sambil berpikir sejenak. “Kurasa ... tidak ada.”
“Wilayah mana yang terparah di kotaku?” Adnan kembali menyerobot tak sabar. “Cepat katakan!”
Erick mendelik kepada Adnan. Pemuda itu sepertinya mencemaskan sosok bernama Yusagi Adara sampai harus mencecarnya seganas ini. “Aku kurang tahu, Adnan. Tapi ... sekolah dan juga kantor pusat pemerintahan masuk ke dalam daftar. Aku melihatnya di berita tadi pagi,” jawabnya.
Adnan mendadak lemas. Gurat senyum setengah terbentuk di bibirnya yang bergetar. Otaknya kacau parah. Mengingat sosok seseorang dan juga kejadian yang menimpanya merupakan hal yang tak bisa dia percayai kini.
“Tak mungkin, kan?” gumamnya seorang diri. Dia terkekeh, lalu kembali diam. “Aku baru akan menjemputnya. Aku telah berjanji padanya.”
Sementara itu, Erick memilih untuk membiarkan pemuda itu merenungi nasibnya. Empat tahun bukanlah waktu yang sebentar untuknya di Cosmo, dan kali ini—saat Adnan kembali ke kampung halamannya—semua impian pemuda itu seakan lenyap begitu cepat. Terlebih saat dia menyebutkan nama Yusagi Adara. Erick sangat yakin kalau Yusagi Adara adalah sosok yang sangat ingin Adnan temui seminggu yang lalu, tetapi gagal.
Sesuatu mengurai lamunan Erick. Sebuah kode terdengar dari earphone yang dipasang di salah satu telinganya. Erick bangkit dari kursi dan bergegas menjauh dari ranjang Adnan.
“Di sini Frederick Add,” ucapnya lirih.
“Kau sudah mengatakannya pada Harris?” tanya seseorang dari balik panggilan. “Bagaimana tanggapannya?”
Erick berpikir sejenak. “Adnan belum menjawabnya, Pak,” jawabnya masih melirih—berharap Adnan tak mendengarnya.
“Kenapa? Kenapa lama sekali?” gertak sang lawan bicara Erick tersebut.
“Maaf, Pak. Adnan baru saja tersadar dan masih butuh waktu perawatan yang lama baginya untuk kembali ke militer.”
Pria yang menjadi lawan bicara Erick berdecih. “Katakan padanya, jika ia tak menyetujui rencana ini maka sampai kapan pun dia takkan bisa kembali ke Bumi. Katakan pula, kalau orang seperti dia tidak akan bisa bertahan hidup dengan kondisi tubuh seperti itu,” tegasnya, “dia harus menyetujui rencananya jika ingin kembali hidup normal.”
***
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 65 Episodes
Comments