AST
Bongkahan batu mulai menuruni bukit dan gunung. Menuju lembah dan dataran rendah. Dengan berbagai ukuran, mereka menghantam pondasi bangunan dan menerjang segala hal yang dilewati. Tanah turut bergetar mengiringi mereka. Mulanya perlahan, makin lama semakin mengguncang hebat. Permukaan tanah meretak tidak terbatas. Di penghujung daratan, air laut mulai surut. Banyak ikan tertinggal di permukaan. Sekali lagi, raung monyet dan binatang lain mulai bersahut-sahutan. Anjing menggonggong. Para kucing dan tikus sibuk melarikan diri. Para penerbang mulai memindahkan jalur perjalanan mereka. Mencoba memberi isyarat, tetapi tidak dimengerti oleh setiap insan.
Lagi. Bunyi debum terdengar dari tengah samudera. Sepersekian detik kemudian, cairan merah nyala memuncrat, dan bagai sebuah muntahan ia menyembur amat tinggi. Tidakterkecuali, suhu udara yang mulanya rendah, kini memanas bersamaan dengan gejolak tersebut. Membanjiri lautan dengan lava yang merengat bebas. Diikuti serentak oleh kerucut yang lain. Mereka meledak, membanjiri sekitar dengan luapan amukan yang tiada terkira. Habis. Musnah.
Apakah ini akhir dunia?
Jawabannya ... bukan.
Ini adalah ... wujud pembaruan dunia.
***
Seluruh stasiun televisi sedang gencar menyiarkan berita terhangat kini, termasuk sebuah layar televisi di salah satu kediaman seseorang. Riuh suara yang keluar darinya tidak terelakan. Berisik memenuhi volume ruangan yang bisa dijangkaunya. Sementara itu, seorang gadis dengan kilau rambut hitamnya yang terkuncir tengah melahap sepotong roti sambil memperhatikan layar televisi. Sebentar kemudian, ponselnya berdering—mengurai fokusnya.
“Ada apa, Nancy?” tanyanya pada seseorang di balik telepon.
“Apa kau melupakan sesuatu?” Nancy balik bertanya. “Yu!”
Gadis itu terdiam sejenak, sebelum akhirnya menjentikkan jemari. “Ah, iya! Aku baru ingat!”
“Apa? Kecilkan volume televisimu, Bodoh!”bentak Nancy dari balik panggilan.
Yusagi Adara. Gadis dengan surai terkucir itu bergegas mematikan televisi yang dia tonton sejak tadi dan kembali sibuk dengan Nancy. Dengan lihai, dia bergegas mengenakan atribut sekolah sambil menerima panggilan dari rekannya itu sampai akhirnya keluar dari kediaman tersebut menuju ke sekolah. Untuk beberapa saat Adaramematikan panggilan dari Nancy sampai akhirnya mereka bertemu di sebuah persimpangan.
“Apa kau menderita amnesia, sampai kau tak ingat kalau Adnan akan pulang hari ini?” Nancy menyerobot bertanya sebelum Adara bebas membuka mulutnya. “Kenapa malah aku yang ingat akan hal itu?” dengkusnya kesal.
Adara tersenyum kuda membalasnya. “Dia tak menghubungiku sejak kemarin ....”
“Itu kejutan buatmu, Bodoh!” sela Nancy. “Adnan tahu kalau kedatangannya pasti akan membuatmu terkejut. Ah, aku sudah membayangkan kalau dia datang ke sekolah, lalu berlutut, dan memberikan sebuah kado terindah untukmu di depan para guru. Hmmm ... pasti manis sekali!”
“Jangan konyol!” Adara sigap menempeleng kepala rekannya itu sampai Nancy menggerutu. “Aku tak mau berurusan dengan guru konseling lagi setelah urusanku dengan Harumi waktu itu,” tambahnya sedikit kesal.
“Harumi terlalu kekanakan untukmu. Masa iya, seorang cowok macho seperti dia menangis di tengah lapangan. Hanya karena, kau menolak cintanya. Hahaha. Menyedihkan sekali! Apa dia tidak malu dengan perut sixpack-nya itu? Apa jangan-jangan ... itu karena dia operasi plastik? Ya ampun, menyedihkannya kau, Harumi!”celoteh gadis berambut cokelat tersebut.
Adara hanya tersenyum simpul menimpali. Seorang Nancy bisa saja melontarkan candaan yang berlebihan hanya untuk menjatuhkan harga diri seseorang. Seperti saat ini contohnya, Nancy tak pernah menyukai karakter Harumi dan dia amat santai mengejeknya sekarang. Beruntung sekali,Harumi—pemuda yang sempat menyukai Adara—sudah tidak bersekolah di tempat yang sama lagi. Jika saja Harumi mendengar celetuk canda Nancy, maka sudah dipastikan gadis berambut cokelat itu mendekam di ruang UKS atau menangis di depan guru konseling setelah bertemu dengan pemuda tersebut.
“Jadi ... apa yang akan kau lakukan saat bertemu dengan teman masa kecilmu nanti, Yu?” tanya Nancy mengubah topik pembicaraan. Yu, adalah panggilan darinya untuk Adara.
Adara berpikir sejenak. “Entahlah,” jawabnya singkat.
“Kau tak ingin mengajaknya berkeliling kota?” tanya Nancy lagi. “Dia sudah tidak pulang selama empat tahun, ‘kan?”
Gadis berambut hitam itu mengangguk, membenarkan pertanyaan Nancy. “Aku cuma takut kalau aku lupa pada wajahnya,” katanya.
“Ah, kau benar juga,” gumam Nancy. “Empat tahun itu sangat lama. Pasti Adnan sudah banyak berubah.”
***
Beberapa tahun belakangan, bencana mulai merenggut wilayah hidup manusia. Ada sekitar tiga sampai lima bencana—atau bahkan lebih—yang terjadi dan meningkat setiap harinya hingga mengurangi area yang mulanya dijadikan tempat tinggal, kini menyempit karena efek dari bencana tersebut. Sebagian negara bagian yang wilayahnya hancur memilih untuk bergabung dan menghindari pembentukan aliansi yang bisa menjatuhkan sistem pemerintahan mereka. Ya, bergabung dengan negara adidaya adalah satu-satunya cara untuk mempertahankan hidup, meskipun adapula sebagian negara yang bergabung bersama negara lainnya hingga akhirnya terbentuk dua aliansi di dunia. Dunia sudah memasuki tahun 2085 dan banyak negara berkembang yang telah berubah menjadi negara maju. Barisan bencana yang semakin sering terjadi tak pelak dari kesalahan yang dilakukan oleh penghuni Bumi sendiri. Menolak gagasan apik demi melestarikan planet biru dan masih memakai metode lama adalah salah satu penyebabnya.
Sementara, Adara dan Nancy adalah sedikit dari berjuta-juta umat manusia yang berhasil selamat dari rentetan kerusakan Bumi berskala besar. Namun, demi mengantisipasi hal yang tidak diinginkan, pemerintah pusat memutuskan untuk menggabungkan negara yang mereka tinggali dengan salah satu aliansi. Dengan begitu, pertumbuhan dan perkembangan penduduk masih bisa diatur sedemikian rupa sampai tidak terjadi himpitan yang mengganggu stabilisasi negara.
Bola mata Adara lagi-lagi terarah pada sebuah televisi yang sengaja di pasang di depan salah satu gedung sekolahnya. Berita mengenai bencana lagi-lagi tersiar. Tidaksedikit pula murid-murid yang saling berbisik membicarakan hal itu.
“Bencana makin sering terjadi,” ucap Nancy. “Gempa bumi bermagnitudo besar sampai menimbulkan tsunami, runtuhnya tanah, dan juga gunung meletus. Apa kita sudah memasuki akhir dunia?”
Adara memalingkan wajahnya pada Nancy. Wajah gadis berambut cokelat itu memandangnya sendu, sedikit tertunduk bagai sebuah kecemasan bertengger di tengkuknya.
“Dunia belum berakhir jika Bumi masih menyisakan segelintir orang bodoh seperti kita, Nancy.” Adara menimpali seraya menepuk-nepuk pundak Nancy. “Teruslah bersikap bodoh jika kau tak mau dunia musnah,” candanya kemudian.
Nancy merengutkan wajah pada Adara. Gadis itu selalu bersikap santai, padahal kecemasan sudah seperti benang kusut di sekitarnya. “Jangan bercanda di saat seperti ini, Yu!” gertak Nancy sambil berusaha menggapai ransel Adara karena gadis itu mulai meledek dirinya yang mudah cemas pada suatu hal. Sampai akhirnya, ponsel Adara
berdering dan mengurai konflik keduanya.
“Adnan?” gumam Adara sambil memandangi layar ponselnya.
“Hah? Adnan mengirim pesan? Seperti apa?” Nancy sontak mendekatkan dirinya pada Adara penuh keingintahuan.
[ Kejutan apa yang akan kau berikan padaku nanti? ]
Adara mengernyit. Pemuda itu tidak menghubunginya sejak kemarin dan kini dia mengirimkan pesan seperti itu padanya.
“Adnan pasti sudah mempersiapkan sesuatu untukmu, Yu. Makanya, dia bertanya padamu,” tebak Nancy semringah.
Sedetik kemudian, ponsel Adara kembali berdering. Adnan melakukan panggilan terhadap gadis 17 tahun itu. Nancy hampir saja merebut ponsel Adara sebelum akhirnya gadis berambut hitam itu berlalu menghindarinya. Ya, perasaan Nancy terlalu rumit untuk dijelaskan. Atau, tentu saja dia bahagia dengan hubungan dua sahabat yang masih erat sampai sekarang itu.
“Aku tunggu kau di kelas, Yu!” serunya pada Adara. Gadis berambuthitam itu berbalik sejenak dan menunjukkan isyarat ‘oke’ padanya.
“Ada apa, Adnan? Kenapa kau baru menghubungiku sekarang? Aku sedang di sekolah tahu!” celoteh Adara saat berhasil menerima panggilan dari Adnan. “Kau ada di mana sekarang?” tanyanya sembari bersandar pada salah satu sisi gedung sekolah.
“Aku barusan turun. Tadi sempat delay karena ada sedikit masalah.” Adnan menjawab sambil sesekali melihat arloji yang melingkar di pergelangan tangan kiri.
“Turun?” Adara mengernyit.
“Iya. Landing maksudnya,” jawab Adnan lagi. “Memangnya,kau pikir aku tadi bisa naik pesawat dengan badai sekencang itu, huh! Dan juga ... ada gempa bumi barusan di dekat sini.” Suara Adnan perlahan mengecil. “Kau
baik-baik saja?” imbuhnya.
“Iya. Aku baik-baik saja.”
“Ya sudah. Aku akan menjemputmu sepulang sekolah nanti,”ucap pemuda di balik panggilan itu.
“Tak perlu. Kita bertemu besok saja,” elak Adara.
“Besok? Hanya butuh dua sampai tiga jam perjalanan kereta ke sana, ‘kan?”
“Iya, aku tahu. Tapi aku ada pelatihan tambahan nanti, jadi kemungkinan aku akan pulang malam.”
“Tak apalah. Aku kan bilang ingin menjemputmu, bukan ingin ketemuan denganmu. Lagipula mengurus surat kepindahanku juga lama dan pasti sampai malam. Jadi, jarak waktunya pas sampai kau selesai pelatihan nanti,” ujar Adnan. Matanya sesekali melihat ke satu arah di mana dia bisa menghentikan bus menuju ke stasiun. “Tunggu aku, ya!”
Adara tersenyum simpul. “Baiklah,” timpalnya. “Jangan salah alamat. Berjalanlah ke arah timur, nanti kau akan menemukan sekolahku.”
Senyum Adnan terukir jelas, menampakkan deretan giginya yang putih dan rapi. Dia mengangguk, lalu berbisik
di sela deru bus yang datang dan berhenti di depannya. Adara mengernyit, menelaah sesuatu yang barusan diucapkan oleh pemuda itu dan sama sekali tak terdengar jelas di telinganya. Sekian detik kemudian, Adnan tiba-tiba memutus panggilan.
“Apa yang dia ucapkan tadi, ya?” gumam gadis bersurai hitam itu seraya berbalik hendak menuju kelasnya.
Tungkai Adara mulai melangkah perlahan. Belum sempat menapak pada ubin lantai gedung sekolahnya, sebuah bunyi melengking amat keras terdengar. Membungkam pendengaran sampai semua orang di sana menutup kedua telinga mereka.
Lengkingan itu terdengar selama beberapa detik. Adara melepaskan telapak tangan yang menutup kedua telinganya. Menelisik sekitar sejenak. Langkahnya kembali tergerak, sementara kedua matanya menyebarkan pandangan ke berbagai arah.
“Apa itu tadi?” gumamnya.
***
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 65 Episodes
Comments