Sudah pukul sepuluh pagi, pekerjaan rumah telah selesai. Langkah Nadia telah tiba di kampus, tempat ia menimba ilmu demi mengejar cita-cita. Duduk dengan lemas dibangku miliknya, ia ditegur oleh kedua sahabatnya dengan raut wajah bingung
"Okey? Nampak nggak semangat," tegur salah seorang temannya
Nadia mengangguk. "Ya, gue okey. Cuma capek, banyak kerjaan di rumah," imbuhnya
"Apa Pak Devan ngasih lo tumpukkan tugas apa?" sahut teman yang lain
"Enggak juga. gue kurang enak badan, Guys. mana nggak selera makan," keluh Nadia
"What!" Rila dan Nina, yakni adalah sahabatnya, melototkan mata mendengar hal tersebut
"Kok lo belum makan? Emang nggak bikin sarapan?" tanya Rila
"Goblok! Jelas dia sakit!" Nina mengeplak kepala Rila. Gadis itu mengaduh kesakitan sedangkan Nadia hanya menatap datar saja.
"Sudah ah, mending kalian duduk yang bener, bentar lagi Pak Dev--datang!" ah, rasanya begitu malas menyebut nama pria itu. Nadia sadar, jam pertama ialah materi dari dosen ekonomi tersebut
Seketika Nadia menghela napas panjang, kini ia harus berhadapan lagi dengan pria bejat itu. ditengah rasa tak semangatnya, akhirnya pria itu datang dari balik pintu. ketampanannya, mengundang kehebohan dari para wanita-wanita yang begitu euforia melihat kehadirannya
"Selamat pagi!" sapanya kepada seluruh anak-anak didalam kelas ini
"Pagi, Pak!" sahut semuanya terkecuali Nadia yang tampak tak acuh. enggan menatap wujudnya, hanya berpaku pada buku diatas meja
Devan memperhatikan Nadia yang kebetulan duduk dibarisan kedua. Gadis itu tampak mencolok dari yang lain. Tidak seperti biasanya ketika ia masuk akan disambut senyuman dari Nadia, kini tidak lagi.
Rasanya begitu beda, berawal karena ulahnya. Jika Nadia menuntun untuk bertanggung jawab, dengan berat hati Devan melakukannya asal keceriaan itu bisa terbit lagi dari wajahnya.
"Pak! kok bengong!" salah satu mahasiswi membuyarkan lamunan Devan yang menatap lurus ke arah pembantunya itu
Devan tersadar, ia mengulas senyum seolah tidak terjadi apa-apa.
"Ah, maaf. Baiklah, kita mulai materi selanjutnya," ucap Devan
**
"Lo pucat banget, Nad, ayo ah kita ke kantin!" ajak Nina dengan wajah khawatir menatap sahabatnya ini.
Ditengah-tengah para mahasiswa berbondong keluar kelas setelah Devan menyelesaikan materinya, Nadia tetap enggan beranjak dari tempatnya. Gadis itu asyik menggambar sesuatu diselembar kertas, sesekali menyeka keringat yang membasahi wajahnya.
Nadia tidak konsentrasi selama pembelajaran tadi, ia lebih banyak melamun dan melukis. Tidak seceria biasanya. Bahkan, banyak anak-anak yang berbisik, mengapa Nadia seaneh itu, apakah dia sakit? Hal itu tak luput dari perhatian Devan, pria itu juga merasa khawatir, bahkan semakin merasa bersalah melihat keadaan perempuan yang ia nodai.
"Ayo, Nad! Lo jangan diam aja kayak patung, lo mesti cerita ama kita," sahut Rila
Nadia mendongak menatap kedua sahabatnya, kemudian mengangguk dan bangkit berdiri.
"Yasudah," ucapnya, singkat nan dingin
Ketiga gadis itu bergegas ke kantin. Rila yang tidak sabaran, memberondongi Nadia dengan pertanyaan disela langkah ketiganya.
"Lo ada masalah apa, Nad? kayaknya bukan sakit aja, deh, pasti ada yang lo pikirin sampai mendemam begini." teman Nadia ini memang terlihat risau sekali
"Iya, Nad, cerita ama kita, jangan ada yang lo sembunyiin, siapa tahu kita bisa ngebantu lo," seru Nina
Sejenak Nadia menghela napas panjang. Ini begitu sulit untuk diungkapkan.
"Ada masalah dikit sama--
"Nadia!"
Belum usai menyelesaikan kalimatnya, seseorang berteriak memanggil nama Nadia dari jarak lima meter didepan. Nadia termanggu menatap pria yang menghampirinya.
"Nad, lo dipanggil sama dosen sastra," ucapnya
"Hah? ngapain?" Nadia bingung, memang ada urusan apa dirinya dengan dosen wanita itu
Pria yang menyampaikan pesan itu hanya mengendikkan bahu, tidak tahu menahu.
"Meneketehe! udah, lo kesana aja, gue mau ke kantin, bye!" pria itu pamit seraya melambaikan tangan kepada ketiga gadis tersebut
Nadia dan kedua temannya saling melempar pandangan. ada apa gerangan Nadia dipanggil oleh dosen killer itu?
"Serem ih kalau nggak nuruti kemauan dosen itu. Mending lo samperin aja, Nad, biar kita mesan makanan dulu. Supaya lo nyampe nanti, pesanan kita udah datang," usul Nina
Nadia mengangguk. Ketiganya melanjutkan langkah menuju kantor untuk bertemu dengan dosen tersebut. Sesampainya di sana-Nadia tampak ragu. pasalnya ini juga kantor yang ditempati majikannya. Sejenak Nadia menarik napas dalam-dalam sebelum menekan handle pintu.
"Semangat! Kita tunggu di kantin!" ucap temannya. Nadia mengangguk. dengan keberanian yang timbul, Nadia bergegas masuk ke dalam ruangan tersebut
Didalam ruangan ini, sudah tampak beberapa kepala hitam dengan tubuh bersembunyi dibalik sekat. Diantara mereka ada yang masih sibuk dengan laptopnya, dan ada pula yang keluar masuk untuk sekedar menaruh buku dan pergi mencari makanan
Nadia menatap satu persatu di mana meja dosen sastra, yang namanya tentu saja ia hafal. Setelah menemuinya, Nadia bergegas melangkah dengan jantung yang berdegup cepat.
Benar saja, dosen wanita itu berada ditempatnya tampak fokus dengan laptop
"Permisi, Buk, apa ibu manggil saya?" sapa Nadia
Dosen itu menghentikan kegiatannya sejenak. Ia menoleh menatap Nadia dalam pandangan tidak mengerti dan aneh
"Manggil kamu? tidak, untuk apa saya manggil kamu. Sudah, pergi sana!" elaknya, yang kemudian mengusir Nadia dengan kibasan tangan
Nadia mengerutkan dahinya, apa temannya tadi mengerjai dirinya? Ah, rasanya tidak mungkin, pria itu bukan tipe yang suka menjahili orang.
"Ah, aneh, apa-apaan sih, pake ngerjai segala!" decak Nadia sembari menggaruk kepalanya yang tidak gatal.
Nadia melangkah pelan, memikirkan apa maksud anak itu mengerjainya sekaligus memalukannya. Nadia mengeram kesal, buru-buru ia melangkahkan kaki dengan cepat ingin melabrak lelaki tersebut.
Namun, baru dua langkah berjalan, tiba-tiba sesuatu menarik lengan Nadia, menyeretnya entah kemana. Nadia berbalik, sontak ia terkejut melihat tubuh Devan dari belakang.
"Le-lepas!" Nadia berusaha menyentak tangan keduanya agar saling terlepas. Namun, cekalan pria itu semakin kuat, membawanya masuk ke dalam ruangan yang hanya dibatasi sekat itu
"Duduk, Nad," titah Devan dengan lembut
"Enggak!"
"Ssssttt!!" refleks Devan menjulurkan jari telunjuknya dibibir mungil milik Nadia. Nadia terpaku, sejenak tatapannya memperhatikan ketampanan lelaki yang lebih tua tujuh tahun darinya. "Pelankan suaramu, tidak enak sama dosen lain," ucapnya dengan pelan
Nadia melengos, menepis jari lelaki yang sudah merengut kesuciannya ini. Bahkan, menyentuh kulitnya saja Nadia sudah merasa jijik. Nadia mundur selangkah, memberi jarak untuk keduanya. Untung saja ruangan ini cukup luas, sekitar 2x2 meter.
"Kalau tidak mau ketahuan, jangan simpan saya di sini! Anda mau memperko-
"Diamlah, Nadia! saya tidak ada maksud seperti itu."
"Duduk! dan makanlah ini, saya tahu kamu pasti sedang sakit dan tidak sarapan sebelum berangkat." Devan menyodorkan sekotak makanan yang ia dapatkan dari kafe miliknya. Tentu saja salah seorang pegawainya yang mengantarkan
Nadia menatap makanan itu, chicken katsu dengan dua saos yang menggoda, ini termasuk menu kesukaannya ketika singgah ke kafe milik majikannya ini.
Nadia masih diam membeku, berat sekali bokong ini untuk duduk dikursi yang telah disiapkan.
"Duduklah, sekalian ada yang mau saya bicarakan." titah Devan
"Tidak untuk saat ini. dan terima kasih atas makanannya. Saya mau ke kantin, teman-teman sudah menunggu, permisi!"
Nadia beranjak pergi tanpa ingin mengambil makanan yang Devan berikan. Devan terdiam, membiarkan gadis itu pergi tanpa mencegahnya. Mungkin bukan sekaranglah saatnya untuk memperbaiki hubungan mereka, Devan masih memaklumi jika Nadia sangat membencinya.
Lagi pula, jika pada akhirnya amarah Nadia meledak-ledak ditempat ini, pasti akan menimbulkan persepsi aneh dari dosen-dosen yang masih betah berdiam diri diruangan ini.
Devan menghela napas panjang, membuangnya dengan berat seraya mengusap wajahnya dengan kasar. Sungguh, ia merasa amat bersalah telah bersikap kurang ajar malam itu. Apa lagi Nadia masih suci, kehormatan itu masih melekat pada diri gadis tersebut. Dan-dirinyalah yang malah merampasnya dengan kasar dan tanpa ampun.
"Semua ini gara-gara Karin!"
**
"Lama amat, Nad," ucap Rila kala melihat sahabatnya telah datang mendekat. Saking lamanya Nadia, terpaksa kedua gadis itu menahan hasrat untuk menyantap makanan yang menggoda dihadapannya
"Masa sih? Gue tinggal berapa menit?" tanya Nadia seraya menunduk menatap jam yang melingkar dilengan kirinya
"Setengah jam, tahu! emang sepenting apa urusan lo sama dosen itu?" tanya Nina, ingin tahu
"Hmmm," Nadia bergumam, bingung menjawab. "Cuma ngasih materi yang harus dibaca, soalnya nanti ada ulangan," ucapnya dengan alasan yang mengada-ngada
"Ulangan? kok mendadak?" sahut Rila
"Meneketehe! Udah ah, ayuk makan, gue lapar banget," Nadia langsung meraup sendok yang tersedia diatas meja
Selama menikmati hidangan, Nadia hanya menunduk dan fokus dengan santapannya. Nadia merasa takut jika teman-temannya menangkap kantung matanya yang sedikit membengkak karena habis menangis di toilet.
Ya, alasannya lama berada di kantor, bukanlah mengobrol banyak hal ataupun membahas perihal materi. Melainkan, setelah dari ruangan Devan, Nadia memilih pergi ke toilet untuk menumpah segala kekecewaannya, kebencian dan amarahnya.
☆☆
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Comments
@alfaton🤴
jangan pake lama Thor up-nya.....awal yang bagus ceritanya bikin nagih ingin tau kelanjutannya
2022-12-15
0
Fitri
yang sabar ya Nadia. 😔 kk keren 😍😍
2022-12-15
0
nuna jimin🧸🧸
lgi thor, crazy up thor smngt
2022-12-15
0