Bab 2

"Nadia,"

Suara bariton milik Devan terdengar dari balik pintu kamar milik Nadia. Pria itu terus memanggil-manggil namanya berulang kali seraya mengetuk pintu.

Nadia enggan menggubrisnya. Ia telah hanyut dalam lamunan menatap ke arah jendela yang menampilkan taman dan kolam renang. Suasana diluar sangat cerah, namun tidak dengan hati dan hidupnya sejak kejadian menyesakkan itu

Hidupnya sudah hancur berkeping-keping, kehormatannya telah terengut oleh lelaki yang bukan suaminya. Kini, apa lagi yang ia banggakan, tubuhnya sudah tidak suci lagi, diri ini sudah tidak pantas untuk diberikan ke pria lain yang akan menjadi jodohnya kelak.

Betapa buruknya seorang Nadia, dirinya tidak berarti apa-apa lagi, baginya.

"Nad! buka pintunya!"

Seketika Nadia tersentak dari lamunan kala pintu diketuk dengan kasar. Nadia menoleh ke belakang, pria itu tampak barbar dan kalut karena tidak mendapatkan respon darinya.

Melihat benda itu, mendengar suara itu, dan membayangkan kejadian beberapa waktu lalu, air mata ini kembali menetes. Nadia menatap nanar ke sana penuh kebencian. Ia benci pada majikan sekaligus dosen yang mengajar dikelasnya

Nadia bangkit, ia menghampiri pintu yang dikunci, berdiri di sana tanpa berniat membukakannya.

"Saya nggak bikin sarapan. makan diluar aja. tenang aja, rumah ini juga bakal saya bersihkan." ucapnya dengan lantang sembari mengusap air matanya yang makin kian kencang mengucur

"Bukan itu, saya cuma-mau tahu keadaan kamu. Saya-saya mohon maaf, Nad," sahut Devan sedikit terbata-bata

Sejenak Nadia menghela napas panjang sembari memutar bola matanya

"Pergilah. usah hiraukan." balas Nadia

"Buka dulu, Nad. Saya mau bicara secara langsung denganmu,"

"Tidak ada yang mau dibicarakan! Saya baik-baik saja, jelas baik-baik saja!" tegas Nadia

Nadia geram, dirinya benar-benar marah, murka, kecewa, benci, sedih, semua bercampur menjadi satu. kedua tangannya mengepal, ingin sekali ia menghajar lelaki brengsek tersebut yang selama ini ia hormati. Namun rasa itu lenyap, berganti benci yang tidak mungkin berkesudahan.

Lama tak terdengar suara Devan, Nadia menyipitkan mata. menerka-nerka apakah lelaki itu sudah pergi atau belum. Ditengah tanda tanya yang hinggap dikepalanya, Nadia menemui jawaban kala sesuatu menyentuh kakinya.

Nadia menunduk, mengernyitkan dahi menatap selembar kertas disodorkan untuknya dari celah bawah pintu.

"Oh,"

Diluar kamar, Devan tampak menarik napas dalam-dalam lalu memghembuskannya dengan kasar. Sembari memijat keningnya, memikirkan kesalahan atas apa yang sudah ia perbuat malam itu. Dirinya menodai wanita yang ia hormati, assisten rumah tangga yang ia perlakukan bak adik sendiri. Namun kini, keadaan telah berubah karena kebiadapannya.

Sungguh, dirinya dipengaruhi alkohol kadar tinggi pada malam itu. Hingga melihat kecantikan Nadia, ditambah tubuhnya terasa dingin karna terkena hujan, parahnya lagi suatu masalah yang tengah ia hadapi membawanya untuk menarik gadis malang itu

"Baiklah, saya pergi." ucapnya dengan pasrah. Sebelum beranjakkan kaki dari sana, Devan meninggalkan secarik kertas, memasukkannya ke dalam celah dibawah pintu

Nadia menerima kertas tersebut, membaca kalimat demi kalimat yang tertulis di sana.

'Saya beribu-ribu minta maaf padamu, Nadia. Saya kalut, saya berada dibawah pengaruh alkohol. Saya tidak sadar sedang melakukannya, kepala saya pusing, tubuh saya dingin, kamu berhak marah, Nad. Tolong beritahu saya apa yang harus saya tebus agar kamu memaafkan saya? Apa saya harus menikahimu?'

Deg!

Seketika Nadia menelan salivanya dengan susah payah membaca kalimat terakhir. Menikah? tak pernah terpikirkan olehnya untuk menikah dengan majikan. Lagi pula, untuk apa menikah? Tidak ada cinta diantara mereka, ikatan hanya akan membuat keduanya tidak bebas untuk melakukan sesuatu yang diinginkan.

Tidak, Nadia menggelengkan kepala menatap kertas itu. apa lagi Devan memiliki seorang kekasih, mana mungkin ia merebut lelaki bejat itu dari wanita lain.

Dirinya tak perlu dikasihani mentang-mentang sudah tidak perawan lagi. Nadia enggan menikah, kekasih saja tidak punya. Lebih baik ia mengejar karir dan membahagiakan orang tua dari pada mesti mengabdi kepada pria perengut yang jelas tidak ia cintai.

"Aku tidak akan mau menikah denganmu! Walau sebenarnya tujuan menikah hanya sebagai bentuk tanggung jawabmu!" gumam Nadia dengan penuh keyakinan

Sejenak, Nadia terdiam diatas ranjang. Untuk saat ini ia tidak menginginkan apa-apa. Jika bisa meminta, ia ingin kehormatannya dikembalikan lagi. Kekecewaan sudah mendarah daging, begitu pula dengan rasa benci.

Devan yang baik, yang terkadang turut membantu pekerjaannya, Devan yang ia anggap seperti teman curhat, kini sudah berbeda. Devan mengubah segalanya.

Ditengah kegundahan perasaannya, Nadia dikagetkan oleh dering ponsel yang menggelegar.

"Ibu?"

Nadia segera mengangkat panggilan sang ibu yang jauh di sana.

"Hallo, Bu, Assalamualaikum,"

"Waalaikumsalam, Nad. gimana keadaanmu di sana?"

Nadia tercenung. Ingin sekali mengadu, mencurahkan perasaannya, tampaknya tidak mungkin untuk ia katakan kepada ibu atau siapapun. Biarlah ini menjadi rahasianya sendiri.

"Baik, Bu, Nadia sehat. Ibu dan bapak gimana?"

"Sehat juga, Nad. Tadi malam ibu mimpiin kamu, perasaan ibu nggak enak gara-gara mimpi itu. Masa ibu mimpi kamu diperkosa saat pulang kuliah, oalah ... Ibu jadi khawatir karna mimpi itu,"

Deg!

Jantungnya berdegup cepat mendengar penuturan sang ibu

"Jaga diri kamu, Nak, hati-hati bergaul sama orang kota. Pilih-pilih dulu mana yang baik buat kamu. Hati-hati juga dijalan dimana pun kamu berada." nasehat ibu

"I-iya, Bu. Ibu tenang aja, sejauh ini Nadia nggak kenapa-napa. Nggak ada yang jahatin Nadia, di sini orangnya baik-baik kok," ucapnya dengan sedikit diselip kebohongan hanya demi menenangkan perasaan wanita yang amat ia cintai

Tapi tidak untuk majikanku, Bu. Pria itu memang baik, tapi dia udah merengut kesucian Nadia. Nadia kecewa! Batinnya tanpa ingin mengungkapkannya

"Syukurlah, Nak. Ibu tutup dulu telponnya. Ingat pesan ibu, ya?"

Nadia mengangguk. Kemudian panggilan telepon diakhiri dengan kalimat salam.

Begitu dahsyatnya feeling seorang ibu, Nadia sampai tidak percaya ibu bisa merasakan apa yang ia alami. Ibu memang benar, dirinya diperkosa. Namun, Nadia memilih untuk tidak mengatakannya. Ini aibnya, ini takdir hidupnya, biarlah hanya tersimpan rapat tanpa ada yang mengetahui.

Nadia menatap jam diponselnya, sudah pukul setengah delapan pagi, rasanya begitu malas untuk bergerak. Pria itu pasti sudah pergi meninggalkan kediaman ini, tatkala harus mengajar seharian penuh di kampus. Walau ditengah jam kosong, Devan mesti berkunjung ke beberapa tempat usahanya untuk memeriksa keadaan, hingga memeriksa perkembangan usahanya melalui Macbook.

Ya, selain menjadi dosen, pemuda berusia 27 tahun itu juga mengabdi sebagai pengusaha sukses. Merintis usaha kafe, coffe shop, dan juga minimarket sejak jaman kuliah hingga kini.

Devan adalah sosok mandiri. Tumbuh menjadi anak kedua, membuatnya jauh dari kata penerus perusahaan sang ayah. Tatkala sang kakaklah yang mesti meneruskannya sebagai CEO di perusahaan keluarga.

☆☆

Terpopuler

Comments

pingkygirl

pingkygirl

feeling ibu emang kuat

2022-12-14

0

lihat semua
Episodes

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!