Tidak Baik Terlalu Larut Dalam Kesedihan

Usai semua keluar dari kamar untuk membersihkan diri, kini sudah saatnya untuk makan malam. Dimana biasanya Jenson akan memilih makan di luar tanpa menemani sang ayah. Untuk pertama kalinya malam ini ia turut hadir di meja makan. Tentu sebuah kejutan bagi Arbi melihat anaknya ikut makan. Namun, sepertinya itu hal yang tak memuat Arbi senang. Terlihat dari raut wajah pria itu yang hanya biasa saja seperti menganggap kehadiran Jenson ada.

"Bu, tolong ambilkan aku juga." Jenson bersuara seraya menyodorkan piring kosong pada Windi.

Di sana Arbi mulai makan dengan lahap, tak perduli bagaimana sang istri menatap anaknya saat ini. Windi tampak mengambil piring Jenson tanpa mengeluarkan suara. Tangannya bahkan bergetar dan hal itu terlihat jelas oleh Jenson.

Makan malam pun berlangsung dalam keheningan, hanya suara sendok dan garpu yang saling beradu. Dalam menikmati makan itu beberapa kali terlihat Windi meneguk kasar air minum di gelasnya. Sulit rasanya ia menikmati makan yang seharusnya terasa lezat malam ini. Tenggorokannya seperti menelan bongkahan batu yang sulit untuk masuk ke perutnya.

"Besok aku harus ke luar kota tiga hari. Berdamailah kalian di rumah." ujar Arbi tanpa perduli bagaimana Windi sangat terkejut menatapnya.

Sehari setelah menikah dan ia sudah harus di tinggal? Bukan. Bukan itu permasalahannya, namun Windi sungguh tidak akan mau di tinggal berdua bersama Jenson. Pria yang ia nilai saat ini sudah berubah jauh dari pria yang ia kenal sebelumnya.

"Em, Tuan...ah iya Honey, apa aku boleh pulang ke tempat ibu saja?" tanya Windi berusaha terlihat baik-baik saja di depan Jenson.

Mendengar pertanyaan Windi, Jenson terkekeh dalam hatinya. Di sini ia menampakkan bibirnya yang mencebik seolah jijik mendengar penuturan Windi.

"Ada apa? takut denganku? Kau bukan wanita selera ku, Bu." celetuk Jenson sungguh terdengar tidak sopan meski niatnya hanya bercanda dalam tujuan menyindir. Tentu saja Arbi kesal mendengar hal itu.

"Jen, hentikan omong kosong mu! Hormati dia. Dan kau Windi, tetap di sini dan jangan pernah berpikir untuk pulang tanpa izin dariku." Windi tak bersuara, wanita itu hanya menundukkan kepalanya saja.

Sedangkan Jenson yang sudah selesai makan memilih untuk meninggalkan meja makan segera menuju kamarnya. Ia ingin tidur menunggu esok hari di mana sang ayah akan pergi. Berbagai rencana liciknya akan ia tata dengan rapi.

"Kau sudah bermain-main denganku, Win. Tunggu pembalasanku." tuturnya tersenyum penuh rencana jahat di pikiran Jenson saat ini. Hingga perlahan matanya yang berat pun mulai tertutup menikmati alam mimpi yang indah.

Tak jauh berbeda dengan sosok ayah yang juga mulai terlelap dalam tidurnya tanpa memeluk tubuh Windi layaknya suami istri. Ia memilih tidur memunggungi tubuh istrinya usai puas bermain peluh sebelumnya. Tak ada yang tahu jika di sebelah sini Windi tengah berbaring meneteskan air matanya yang sulit di hentikan.

"Kelak jika sudah menjadi seorang istri, berbaktilah pada suamimu. Sekurang apa pun sikap suami padamu tetaplah ikhlas dan sabar. Sebab Tuhan akan tahu waktunya turun tangan membalikkan semua keadaan yang sepantasnya kamu dapat. Fitrahnya seorang wanita adalah bertutur kata lembut dan berperilaku baik penurut. Bapak akan bahagia melihat anak bapak menjadi wanita yang baik." Sekilas bayangan sang almarhum bapak membuat Windi memejamkan mata.

Sosok pria yang tidak bisa ia lihat untuk terakhir kalinya, kini rasanya begitu ia rindukan. Tubuh Windi pun bergetar memeluk tubuhnya sendiri. Semua terjadi sungguh di luar dugaannya. Seperti kilat mimpi buruk yang begitu cepat terjadi.

Hingga kesedihan terus berlangsung tanpa sadar membuat Windi terlelap dalam tidurnya. Ia tak tahu jika di sini sang ibu tampak meneteskan air mata.

"Bu, lapar." keluh bocah yang berusia sekitar enam tahun itu. Ia tampak terbaring menekan perutnya.

"Ini, Nak. Minum teh hangat dulu yah? Besok Ibu akan cari uang. Hari ini uangnya sudah di pakai buat beli gas sama buat makan tadi. Ibu janji besok kita akan makan dan tidak kelaparan lagi." ujar wanita tua renta itu. Bahkan wajahnya sudah tampak keriput di sana sini. Bukan karena usia, namun semua karena ia terus sakit-sakitan.

Sementara sang suami yang tampak sehat justru tanpa di duga memiliki penyakit mematikan dan pergi lebih dulu. Sungguh rasanya begitu terpukul, di waktu yang tiba-tiba sang suami pergi dan anak yang selalu menjadi tempatnya mendapat bantuan justru kini juga pergi.

"Sinta tidak mau, Bu. Tehnya pahit." ujarnya kala mengingat segelas teh yang baru ia seduh tadi tak ada rasa gula sama sekali.

"Ya sudah kalau begitu kamu di rumah dulu. Ibu akan keluar cari makan sekarang. Jangan menangis yah?"

Mendengar sang ibu akan mencari makan, Sinta tampak mengaggukkan kepalanya patuh. Ia pun menunggu dengan setia sang ibu untuk kembali ke rumahnya lagi. Sementara Fatih, sang ibu sudah mengunci pintu rumah dari luar dan berjalan mencari dimana ia akan mendapatkan makanan dengan menukar tenaganya.

Beberapa menit berjalan menyusuri jalanan kota itu, matanya menatap sekeliling mencari penjual gerobak nasi goreng. Hingga tampaklah wajah keriput itu tersenyum melihat tumpukan piring yang banyak di samping gerobak itu.

"Mau beli, Bu?" tanya penjual nasi goreng itu.

Pelan Fatih menggeleng. "Yah kalau nggak mau beli pasti mau minta-minta nih?" celetuk penjual itu lagi jengah sebab sehari ini ia berjualan hingga malam sudah banyak orang datang untuk meminta belas kasih.

"Pak, boleh saya cucikan piring ini semua? Yang penting saya bisa bungkus nasi tidak pakai apa pun juga tidak apa-apa Pak. Yang penting bisa makan anak saya di rumah." Mendengar penuturan wanita di depannya rasa iba tiba-tiba muncul dan membuat penjual nasi goreng pun setuju.

"Ya sudah, Bu. Kalau begitu bersihkan semuanya yah? Saya juga sudah capek mau cepat pulang. Nanti saya bungkus nasi gorengnya tapi ngggak pakai telur nggak papa yah?" Cepat Fatih pun mengangguk senang.

Secepat mungkin ia bergegas mencuci semua piring serta gelas yang kotor. Bayangannya kini hanya wajah sang anak di rumah yang terus menangis memegangi perutnya. Hingga waktu kini tepat pada pukul sebelas malam, barulah ia tiba di rumah. Berjalan tergesa membuka pintu rumah dan mendatangi sang anak yang rupanya tengah meneguk teh pahit yang sebelumnya tidak ingin ia minum.

"Sinta, ayo makan." ajaknya sontak membuat sang anak girang dan berjalan cepat ke arahnya. Dua bungkus nasi goreng hanya bercampur bumbu tanpa lauk mereka nikmati. Fatih bersyukur orang penjual itu berbaik hati padanya memberikan nasi lebih. Hingga mereka pun bisa makan dengan cukup malam ini.

"Coba Kak Windi belum menikah, kita pasti bisa makan kan, Bu? Kak Windi tidak pernah mau kalau Sinta kelaparan." tuturnya mengingat sosok sang kakak yang begitu sayang padanya.

"Sayang, maafkan ibu yah. Besok, Ibu jadi mulai besok Ibu akan bekerja. Maafkan Ibu yah terlalu larut dalam kesedihan Bapak pergi sampai lupa ada kamu yang bersama ibu butuh makan." Kini wanita itu menyesali perbuatannya.

Di tinggal sang suami membuatnya sangat rapuh bahkan tak perduli bagaimana kehidupannya ke depan. Dan malam ini Fatih sangat menyesali perbuatannya itu. Di mana ia sebagai ibu harus mendahulukan kepentingan sang anak dari pada hatinya sendiri.

Terpopuler

Comments

✍️⃞⃟𝑹𝑨🤎ᴹᴿˢ᭄мαмι.Ɱυɳιαɾ HIAT

✍️⃞⃟𝑹𝑨🤎ᴹᴿˢ᭄мαмι.Ɱυɳιαɾ HIAT

windi kasihan mamah dan adik mu kelaparan

2022-12-16

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!