Suara kicauan burung yang terbang menari seolah terbawa oleh pergerakan awan pagi itu. Menghilang dan tak meninggalkan jejak di atas awan, Burung yang indah menyambut pagi seorang wanita yang tengah mempersiapkan segala kebutuhan suaminya pagi ini. Bahkan sejak mentari belum muncul pun, Windi sudah bergerak menata pakaian demi pakaian untuk Arbi bawa pergi.
"Sudah siap semuanya?" pertanyaan dari seorang pria yang baru saja keluar dari kamar mandi dengan jubah mandinya menghampiri Windi yang menarik resleting koper. Ia menoleh, dan mengangguk.
"Sudah," jawabnya singkat.
Namun, tak ia duga jika tiba-tiba saja tubuhnya terhuyung dan terduduk di atas pangkuan Arbi. Pria itu duduk di sisi ranjang dengan santai memangku bobot tubuh sang istri. "Beri aku vitamin pagi ini sebelum berangkat." tuturnya tanpa ekspresi apa pun di wajah.
Hal itu membuat Windi tak tahu harus berkata iya atau tidak. Di detik berikutnya ia mendapatkan sebuah ide. "Kau sudah mandi dan bersih, rasanya akan memakan waktu lama jika harus membersihkan diri lagi nanti, Tuan." jawabnya mencoba menolak secara halus.
Sayang, Arbi yang Windi belum kenal seluruhnya tampak acuh. Pria itu tak akan mengurungkan apa yang ia niatkan tentunya. Seringai kecil terbit di bibir pria tampan itu dan jangan lupakan tangannya yang sudah bergerak kesana kemari. Jujur, meski tak memiliki rasa cinta namun Windi selalu bisa merasakan kenikmatan yang sang suami berikan.
Pria pertama yang menyentuhnya dan pria yang pertama pula memberikan pengalaman sejauh ini padanya. Dan Windi suka itu.
Beberapa menit keduanya menikmati waktu singkat pagi itu dengan tubuh yang saling mengeluarkan peluh. Hingga akhirnya permainan panas pun usai.
“Pagi, Jen.” Sapa Arbi yang sudah lebih dulu turun untuk sarapan. Matanya melihat sang anak yang duduk mengoles selai pada roti tawarnya.
Tak ada sahutan apa pun saat ini, dan kening Arbi tampak mengernyit melihat sikap acuh sang anak. Sekejap ia kembali sadar jika inilah yang terjadi selama ini, mengapa ia harus heran?
“Selamat pagi, Tuan?” sapa sang pelayan dengan hormat dan Arbi hanya mengangguk kecil.
Tak lama kemudian, Windi pun turut menyusul ke meja makan dengan wajah segar sehabis mandi serta rambut yang masih basah lantaran tak sempat untuk ia keringkan.
“Tuan, apa saya tidak boleh pulang ke rumah sama sekali?” Pertanyaan yang memenuhi kepala Windi terus ingin ia keluarkan.
Meski sebenarnya tahu jika Arbi tak akan mengijinkannya. Tak ada jawaban, Windi seketika menunduk melihat tatapan tajam sang suami.
“Duduk dan sarapanlah!” titiah pria itu yang sedari tadi tak luput dari pengamatan Jenson. Matanya melirik dan kembali menikmati sarapannya.
Windi pun makan dengan susah payah ia menelan sarapan.
Lima menit sarapan berlangsung dan Arbi bergegas menuju mobil di antar sang istri. Tatapan nanar Windi memperhatikan mobil yang semakin menjauh.
Dari arah dalam terlihat sepasang mata yang tersenyum menyipit memperhatikan itu semua.
“Aaaa!” Windi berteriak kala merasakan tangannya di tarik paksa ke dalam rumah.
“Kau ingin berapa? Hah dua puluh juta? Lima puluh juta? Berapa, Windi? Katakan!” Suara menggelegar dari sosok Jenson membuat tubuh Windi bergetar ketakutan.
Lembaran uang demi lembaran berjatuhan dari atas kepalanya. Air mata pun mengiringi uang itu mendarat di lantai rumah megah milik Arbi.
Tak ada yang mampu Windi ucapkan selain terisak menunduk.
“Untuk apa kau bertingkah seperti ini? Agar aku mengasihanimu? Kamu sadar ? Pria itu adalah ayahku? Win, apa yang kamu permasalahkan denganku? Hah! Apa? Apa yang pernah aku perbuat ke kamu? Katakan!” Semakin terisak Windi mendengar setiap kata yang terucap dari bibir Jenson.
Hanya gelengan kepala dan bibir yang ia bungkam serapat mungkin agar tak mengeluarkan suara.
Tanpa mereka tahu dari sudut lain seorang pelayan ikut menggelengkan kepala melihat adegan di depannya saat ini.
“Ya ampun, ternyata mereka saling mengenal? Kasihan.” gumamnya yang tak berani menunjukkan wajah di depan sang majikan.
Selama ini Jenson adalah sosok yang sangat pendiam. Hanya lirikan mata saja mampu membuat orang melihatnya tunduk takut.
“Mau kemana kamu?” Kembali Jenson berteriak dan mencengkram keras pergelangan tangan Windi.
“Jen, biarkan aku pergi.” Windi tak ingin menjelaskan apa pun pada Jenson. Sebab ia sendiri tak mampu menghilangkan rasa malu di wajahnya. Meski semua bukanlah keinginannya.
“Pergi? Semudah itu? Kau mempermainkan aku, Win, kau ingin pergi? Pergilah jika kau ingin melihat apa yang akan ku lakukan selanjutnya.” Wajah Windi menengadah memberanikan diri menatap wajah Jenson.
Bukan Jenson saja yang tersakiti di sini. Melainkan ia juga sangat sakit, seolah menjadi wanita yang tak memiliki harga diri.
“Tolong, jangan menghakimi seseorang jika kamu tidak tahu apa yang terjadi.” Tegas Windi menatap sang mantan.
Bukannya iba atau luluh, Jenson justru terkekeh mendengar hal itu.
“Hahaha tidak tahu apa yang terjadi? Lalu apa yang terjadi? Win, kau pikir aku bodoh. Lihatlah rambutmu basah, dan lihat apa ini? Tanda cinta dari pria tua itu? Kau menikmati tubuhnya atau hartanya hah! Berapa aku bisa membayarmu satu jam?”
Plak!!
Wajah penuh amarah Jenson mendadak semakin merah saat tangan wanita di depannya terhempas begitu kuat.
Dari arah lain pun sang pelayan sampai menutup mulutnya tak menyangka.
Windi menatap penuh benci pria di depannya.
“Hentikan omong kosongmu itu.” Usai mengatakan hal itu, Windi berlari memasuki kamar tanpa memberikan Jenson celah untuk menahannya.
Sementara pria yang di tinggal kini tampak menatap penuh benci juga ke arah punggung wanita yang sudah tak terlihat.
“Tunggu waktunya, Win. Kamu akan tahu konsekuensinya.” gumam Jenson bergegas keluar dari rumah dan menuju ke kantor.
Tangisan pilu terdengar di dalam kamar utama. Windi tampak duduk di sisi tempat tidur sembari memeluk kedua lutunya menenggelamkan wajah di kedua tangannya itu.
Hatinya sakit, mendengar orang yang paling ia cintai justru tega berkata seperti itu. Meski semua yang Windi lakukan berdasarkan uang, tapi semua bukan karena kerelaan. Ia hanya terpaksa.
Kesedihan yang ia rasakan sampai membuatnya melewatkan makan siang hari itu. Rasa lapar sama sekali tak ia rasakan. Windi hanya berbaring tanpa melakukan apa pun di dalam kamar. Hanya air mata yang menetes kian deras.
Bayangan demi bayangan kejadian saat bicara dengan Jenson serta kenangan manis saat mereka kuliah benar-benar semakin menyiksa,
Hal yang sama terjadi di perusahaan. Jenson tampak memijat keningnya yang pusing rasanya. Berbagai macam prasangka buruk terus menghinggapi pikirannya.
Berbagai cara ingin ia lakukan untuk membenci Windi, namun di dalam hatinya sendiri ia berpikir bagaimana cara untuk bisa mendapatkan Windi kembali. Namun, ingatannya jatuh pada ikatan pernikahan antara Windi dan sang ayah, Jenson kembali memukul meja di depannya.
Sakit tentu saja, bagaimana mungkin ia rela kekasihnya ia ambil kembali sementara Windi telah terjamah oleh sang ayah.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 33 Episodes
Comments
✍️⃞⃟𝑹𝑨🤎ᴹᴿˢ᭄мαмι.Ɱυɳιαɾ HIAT
kasian windi demi keluarga rela kamu d hina jen
2022-12-16
0