Ini adalah malam pertama di mana pernikahan Windi dan seorang pria mapan yang bernama Arbiansyah Wibowo akan di mulai. Salah satu villa di puncak kala itu menjadi saksi bisu atas lenyapnya keperawanan seorang gadis bernama Windi Andini.
Erangan panjang serta sepasang mata tajam terpejam kala menikmati denyutan demi denyutan yang membuatnya termanjakan. Tanpa ada rasa perduli sedikit pun dengan wanita di bawah kungkungannya yang menangis merasakan sakit luar biasa bercampur nikmat.
"Tuan, saya ingin ke kamar mandi." ujar Windi terisak namun tubuhnya masih menyatu sempurna dengan milik sang suami.
Mendengar hal itu bukannya setuju, merasa miliknya masih ingin menikmati kenikmatan yang baru saja ia raih setelah sekian lama tak mendapatkannya. "Diamlah! Apa kau tidak bisa melihat kesenanganku saat ini? Silahkan saja pergi jika mau aku memulai untuk kedua kalinya dalam waktu dekat!" Arbi berkata sembari menyematkan senyuman smirk.
Bungkam Windi tak bisa melakukan apa pun selain menunggu perintah. Kini ia sadar, bukan hanya tubuhnya yang terbeli. Tetapi semua yang ada di dirinya sudah bukan miliknya lagi. Windi tak akan memiliki kesempatan untuk sekedar melirik ke arah lain saja. Ke kamar mandi pun ia tidak bisa tanpa mendapatkan ijin.
"Hah..." Arbi terdengar menghela napas lalu merubuhkan tubuhnya yang berpeluh di atas tubuh Windi. Beberapa menit Windi masih merasakan sesuatu di bawah sana sangat keras tak mengendur sedikit pun. Sungguh, pria yang berusia 48 tahun ini tidak bisa di remehkan sama sekali. Kekuatannya masih sangat stabil dalam urusan ranjang.
"Ayolah aku mohon beranjaklah..." gumam Windi berdoa sebab ia merasa sangat risih dengan tubuh polos mereka yang terkena keringat sekaligus takut jika sampai pria itu berubah pikiran.
Dan, semua yang ia takutkan kini ternyata benar. Sebuah bibir sudah kembali meraup bibir ranum milik Windi. Itu artinya pria ini bukan tengah menikmati malam pertama mereka barusan. Melainkan tengah menimbang apakah permainan kedua sudah bisa di mulai.
Belum kering rasanya air mata di kedua pipi gadis itu kini Windi sudah merasakan kembali tubuhnya di guncang dengan sangat hebat. Berbeda dengan yang pertama. Ia benar-benar merasakan tubuhnya begitu nyeri di dalam sana. Tak di pungkiri permainan Arbi begitu membuat Windi terasa melayang. Rasa sakit yang semula terasa sangat dalam, perlahan berganti menjadi rasa yang nikmat. Dan air mata di kedua pipi Windi tak lagi jatuh.
"Cih...mengapa kau berhenti menangis? Kau menikmatinya kan?" kekeh Arbi kala melihat Windi tak lagi merespon dengan kesedihan. Hanya diam yang wanita itu lakukan.
Sayang, keterdiaman Windi justru di salah artikan oleh Arbi. Pria itu kesal lantaran permainan yang seharnusnya ia nikmati bersama partner ranjangnya justru seolah hanya dirinya lah yang dominan.
"Gantian!" pintahnya membuat Windi tergagap.
"A-apa, Tuan?" tanya Windi bingung. Ia merasa hal sial padanya belum berakhir.
"Cepat kau di atas." pintah Arbi membuat Windi menurut dengan wajah gugup serta malu. Hanya duduk yang ia lakukan tanpa melakukan pergerakan.
"Astaga...seperti ini." Arbi tampak marah melihat Windi yang tidak bisa ia ajarkan dalam bergerak. Tak bisa menahan diri, ia pun membalikkan tubuh Windi kembali dan ia mengambil kendali.
Sungguh malam pertama yang begitu mengerikkan bagi Windi, sebab sepanjang malam ia harus berulang kali melayani sang suami hingga subuh menjelang. Tubuh langsing gadis itu sampai terlihat letih dalam tidur panjangnya.
Malam pertama yang ia rasakan sama sakitnya dengan seorang pria yang tengah meneteskan air mata usai mendatangi rumah keluarga Windi. Yah, dia adalah Jenson. Beberapa kali melakukan panggilan tanpa mendapat jawaban, akhirnya ia memilih untuk segera ke rumah Windi tanpa perduli malam sudah semakin larut.
Rasa khawatir yang ia rasakan nyatanya benar terjadi pada sang kekasih. Jenson terdiam membisu kala mendengar penuturan sang ibu Windi.
"Nak Jenson tolong jangan cari Windi lagi. Dia sudah menikah tadi bersama pria pilihannya." ujar wanita paruh baya itu tanpa tahu apa yang terjadi sebenarnya pada sang anak.
Tentu saja mendengar hal itu Jenson menggelengkan kepala tidak percaya. "Menikah? Tidak, Bu. Windi tidak mungkin menikah dengan pria lain. Saya pacarnya, saya calon suaminya, Bu. Kami sudah berjanji untuk segera menikah ketika saja berhasil mengumpulkan uang untuk membeli rumah." tutur Jenson mengingat bagaimana ia dan Windi menyetujui kesepakatan untuk membeli rumah lebih dulu.
"Ibu tidak tahu, sebab Ibu sudah menasehati Windi juga, tapi dia kekeuh menikah dengan pria itu. Dan sekarang mereka sudah pergi keluar kota." tutur ibu Windi sesuai dengan apa yang ia dengar dari sang anak. Tentu saja semua adalah kebohongan yang Windi katakan tanpa ingin di tahu sang ibu jika dirinya dalam hidup yang tertekan saat ini.
Memilih pergi yang Jenson lakukan saat ini. Sepanjang jalan ia hanya melamun, sekali air matanya menetes untuk pertama kali. Selama ini hidup dalam kesunyian tanpa kasih sayang orangtua membuatnya berusaha tetap kuat dan memilih diam menjalani semuanya. Tapi kali ini tidak ada lagi pertahanan itu yang ia miliki. Windi telah meninggalkannya.
"Apa yang membuat kamu memilih pria lain, Win? Aku yakin ini tidak akan benar. Kamu pasti menyembunyikan sesuatu padaku. Kita berpacaran lama dan kamu tidak pernah melakukan satu kesalahan pun sama aku." gumamnya seraya menaikkan lagi laju motor besar miliknya.
Bukan pulang ke rumah, Jenson memilih untuk menuju sebuah rumah yang tengah ia rencakanan untuk memberi dp. Tatapan Jenson begitu kosong pada bangunan yang baru jadi sekitar beberapa minggu lalu itu. Tidak besar namun cukup untuk mereka tinggali berdua.
"Apa karena ukuran rumah ini, Win?" ia terkekeh meneteskan air mata melihat rumah yang ingin ia persembahkan untuk sang kekasih memang tidak ada mewahnya sama sekali. Dan perumahan itu merupakan perumahan yang sederhana di sekelilingnya. Tak ada rumah yang berukuran besar.
Hingga jam menunjuk angka dua, barulah Jenson memutuskan pulang ke rumah dengan wajah kusut. Meski dalam keadaan sedih ia masih ingat jika besok adalah jadwalnya untuk tetap bekerja.
Waktu subuh berganti dengan pagi. Dimana keadaan rumah tampak sunyi dan Jenson sudah bersiap ke tempat kerjanya. Bekerja di perusahaan ayah temannya membuatnya tak ingin membuat nama sang teman rusak. Sebab itulah Jenson berusaha menunjukkan kualitas dirinya sebagai seorang akuntan.
"Bi, kenapa sarapannya banyak sekali?" tanya Jenson saat duduk di meja makan mendapati makanan di rumah itu begitu banyak macam.
Sang bibi yang mendapatkan pertanyaan itu tampak bingung. Haruskah ia memberi tahu dengan wajah senang atau sedih.
"Em Tuan..." jawabnya ragu-ragu dan Jenson bersuara.
"Bukankah Papah masih di luar kota, Bi?" tanyanya lagi.
Bibi tampak menarik napas panjang lalu hendak menghela. Namun, suara bariton sang pemilik rumah tiba-tiba terdengar.
"Bibi, antar koper ini dan tasnya ke kamar saya." pintah Arbi dingin. Tanpa memberikan sapaan pada sang anak.
"Jen," lirih Windi syok melihat siapa yang duduk di meja makan depan sana.
Begitu pun dengan kedua manik mata Jenson yang membulat lebar melihat siapa wanita yang datang bersama sang ayah.
"Sayang, ayo sarapan kau pasti kelelahan." tutur Arbi semakin menyalakan api amarah di dada sang anak.
Brak!!
Suara tangan yang menghempas meja makan serta sendok yang di banting di atas piring putih itu membuat Arbi dan juga Windi sama-sama kaget. Bahkan Windi sampai terlonjak kaget, namun ia sadar dirinya tidak akan ada benarnya di depan Jenson saat ini. Dan Windi memilih tetap menjalani semuanya tanpa memberi tahu hal yang sebenarnya.
"Jenson! Apa yang kau lakukan?" Arbi berteriak marah mendapat perlakuan buruk dari sang anak. Untuk pertama kalinya Jenson memperlihatkan amarahnya di depan sang papah.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 33 Episodes
Comments
✍️⃞⃟𝑹𝑨🤎ᴹᴿˢ᭄мαмι.Ɱυɳιαɾ HIAT
waduh nikah sama papah nya jen kasian kamu nak sabar ya
2022-12-14
0