Panggilan Honey

Suara barang pecah beberapa kali menggema di dalam kamar milik Jenson. Kali ini ia tidak bisa menahan diri lagi. Tentu saja perlakuannya itu membuat sang pelayan ketakutan hingga berlari melaporkan  keadaan di dalam kamar Jenson pada sang tuan.

Tubuhnya gemetar dengan kepala menunduk. "Tuan, Tuan muda Jenson mengamuk di kamarnya." lapor sang pelayan dengan hati-hati.

Arbi tampak menikmati makannya dengan santai di temani gadis cantik yang kini berstatus nyonya di rumah itu, yaitu Windi. "Biarkan saja...mungkin sedang mencari barangnya di kamar atau ada masalah dengan kantor." ucapnya tampak masa bodoh.

Kening Windi mengernyit mendengar penuturan sang suami. Ada apa dengan hubungan anak dan ayah ini? Mengapa mereka tampak sangat acuh satu sama lain?

"Itu pekerjaan dia yang pilih dengan meninggalkan perusahaan ayahnya. Biarkan dia menerima konsekuensinya." Arbi pun kembali meminta Windi untuk menambahkan lauk di piringnya.

"Win, tambahkan lauk yang itu." ujarnya dan Windi tanpa mengatakan apa pun akhirnya patuh.

Makan dengan rasa tak selera rasanya begitu menyiksa. Beberapa kali Windi tampak meneguk air demi mendorong makanan di tenggorokannya. Tak lama setelah itu tampak Jenson berlalu cepat dari ruang makan menuju keluar rumah.

"Jenson!" panggil Arbi namun tak mendapat respon apa pun. Mata Jenson terlihat merah saat sekilas ia melirik ke arah Windi.

Tanpa berani mencegah atau melakukan hal lain, Windi hanya bisa menunduk di meja makan. Ini bukan perihal rasa takutnya pada amarah Jenson, namun lebih pada rasa malu mengingat dirinya meninggalkan Jenson demi menikahi sang ayah. Begitu hina rasanya, meski tak dapat di pungkiri wajah sang ayah yang mapan justru lebih mempesona di kalangan wanita. Sementara Jenson masih begitu muda untuk menjadi pria idaman.

"Bi, tolong antar dia ke kamar. Sepertinya dia kelelahan karena semalam." tutur Arbi membuat sang pelayan patuh dan mengajak Windi.

"Nyonya, mari saya antar." tutur pelayan sopan.

Tak ada suara dari Windi. Gadis itu masih tetap diam dan berjalan meninggalkan sang suami yang entah ingin kemana. Sekedar bertanya pun ia tidak berani pada Arbi. Di sini Arbi usai memastikan kepergian sang istri barulah ia bergegas ke ruang kerja untuk melanjutkan pekerjaan dari rumah.

Berbeda halnya dengan keadaan di tempat Jenson saat ini. Sesampai di perusahaan kepalanya pusing memikirkan apa yang terjadi barusan. Berusaha tetap fokus bekerja sungguh sulit, namun sekali lagi. Perusahaan ini bukanlah perusahaan sang ayah atau miliknya yang bisa sesuka hati ia malas-malasan.

"Aku harus pergi dari rumah itu." gumamnya memantapkan hati untuk angkat kaki dari rumah itu.

Hingga satu hari penuh ia bekerja dengan perasaan gelisah, kini sudah waktunya Jenson kembali ke rumah. Seperti biasa selepas pulang kerja ia selalu kembali ke rumah jika tidak ada janjian pada sang kekasih. Namun, hari ini adalah hari pertama ia menyandang status jomblo.

Bukan janjian bertemu, justru kepulangannya tentu akan bertemu dengan Windi di rumah. Selama beberapa menit menempuh perjalanan dengan motor, tampak Jenson merubah pikirannya untuk pergi dari rumah.

Senyuman sinis terukir di wajah tampannya saat ini. "Ibu tiri...cih sungguh menggelikkan. Apa ini sifat aslimu, Win? mencintai pria seperti apa sebenarnya dirimu? Tampan? atau yang kaya? Atau yang tua? Sungguh menggelikkan. Untuk apa aku justru kacau karena wanita sepertimu?" Tak pernah Jenson sangka jika hatinya bertambat pada wanita murahan seperti Windi.

Rasa cinta yang semula mengobarkan api cemburu, kini tak terlihat lagi. Berganti dengan rasa benci yang teramat sangat. Bahkan Jenson tak akan lagi mau menghargai Windi di depannya. Ia menganggap Windi hanyalah wanita yang rela menjual tubuhnya demi harta dan nama. Yah, nama Nyonya Wibowo tentu saja akan sangat di pandang oleh orang-orang menjadi wanita terhormat.

"Sudah pulang rupanya? Bagaimana masalah di kantor mu itu?" Kepulangan Jenson di sapa oleh sang ayah dengan pertanyaan bersuara lantang itu.

"Masalah apa? Aku tidak memiliki masalah." ketus Jenson enggan berbicara baik dengan sang ayah yang terasa seperti orang asing selama ini.

Arbi tersenyum kecil. "Mau kemana kau? Bergabunglah di sini. Ibumu ingin berkenalan denganmu, Jen." panggil Arbi dengan berdiri bersedekap dada.

Windi tak berani menatap Jenson saat ini. Ia hanya duduk di sofa ruang tv sembari menundukkan kepalanya. "Pergilah, Jen. Aku tidak sanggup melihatmu saat ini. Ku mohon." doa Windi yang justru tak terjabahkan.

Langkah kaki Jenson yang di harapkan menjauh justru kini sudah mendekat dan di detik berikutnya pria itu mendaratkan bokongnya di sofa tepat di samping Windi pula. Tentu saja hal itu tak membuat Arbi curiga sama sekali. Justru ia tampak tersenyum senang. Berharap Windi dan Jenson akan berbaikan dan ia tak perduli bagaimana dirinya dengan Jenson. Yang terpenting pernikahannya akan di terima oleh sang anak seiring berjalannya waktu.

"Kalian berdua berbicaralah. Mengapa saling diam? Win, ini anak kita satu-satunya." perkenalan Arbi dengan angkuh.

Satu hari di rumah megah ini, tak sekali pun Windi mengeluarkan suaranya sampai saat ini. Hanya senyuman kaku yang ia berikan pada Jenson saat menoleh ke samping.

"Perkenalkan, aku anak tirimu. Jenson." sebut pria tampan itu seraya mengulurkan tangannya.

Satu senyuman sinis Jenson perlihatkan saat Windi menatap kedua manik mata sang mantan. "Maaf..." Windi membungkam bibirnya cepat saat kelepasan bicara.

"Maksud ku...em namaku Windi." jawabnya membalas uluran tangan Jenson.

Ada air mata yang menggenang di kelopak mata Windi saat melihat aura kebencian di mata sang mantan.

"Ku mohon jangan menatapku seperti itu, Jen. Jangan membuatku semakin sakit." jerit hati Windi namun tak terdengar siapa pun saat ini.

Hingga pada akhirnya Windi yang tak kuasa menahan diri, ia berpamitan untuk segera ke kamar. "Tuan, saya ijin ke kamar." tuturnya menatap Arbi.

Tentu saja panggilan itu membuat Arbi merasa tak nyaman. "Panggilan apa itu, Win? Aku suami mu." ujarnya.

Windi yang hendak bergegas pergi tampak meneguk kasar salivahnya. Matanya menatap sekali lagi ke arah Jenson yang membuang wajah.

Keheningan pun terjadi beberapa saat hingga akhirnya Arbi bergerak mendekati sang istri. Tangannya tampak mengusap pelan lengan Windi dan sebelah tangannya merangkul pinggang langsing sang istri. "Panggil aku Honey." bisiknya namun masih dapat terdengar oleh Jenson.

Terpopuler

Comments

Sulaiman Efendy

Sulaiman Efendy

BETUL KATA JENSON, WANITA MURAHAN, PENGHIANAT, DOYAN OM2..

2023-02-27

0

✍️⃞⃟𝑹𝑨🤎ᴹᴿˢ᭄мαмι.Ɱυɳιαɾ HIAT

✍️⃞⃟𝑹𝑨🤎ᴹᴿˢ᭄мαмι.Ɱυɳιαɾ HIAT

kasian kamu windi sabar saja

2022-12-14

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!