"Pasar di sini lokasinya cukup jauh." Ia hanya perlu memberi sedikit informasi. "Aku tidak bisa membeli banyak hal untukmu sekarang. Di dalam hanya ada rebusan jagung dan ubi. Kamu ingin?"
Bohong, sebenarnya. Pasar memang jauh, namun makanan ada. Ilina hanya mau memperlihatkan kesan bahwa ia hanya perempuan polos dari desa yang terlampau polos sampai menolong pria tertembak tanpa sedikitpun bertanya siapa dia.
Untuk sesaat dia menatap Ilina, lagi-lagi dengan sorot misterius. Meski kemudian dia mengangguk samar, hingga Ilina masuk, menyalakan api untuk memasak ubi dan jagung.
Ada satu pelayan di kediaman Ilina ini, tapi ia menyuruh wanita itu pergi sejenak karena jelas tidak wajar seorang gadis muda memiliki pelayan.
Ketika samar-samar Ilina mendengar langkah, ia diam menjaga api yang baru saja menyala. Pura-pura tidak tahu jika Noah berdiri di pintu dapur, nampaknya mengobservasi ruangan.
Beberapa saat baru ia menoleh, pura-pura kaget. "Ada apa?"
".... Aku butuh air."
Nada suara tanpa permintaan tolong tapi juga canggung karena tak ingin terkesan memerintah.
Pria yang tahu cara bersikap.
Mencurigakan.
"Duduklah di sana." Ilina beranjak sekaligus menunjuk kursi makan tua miliknya. "Biar aku ambilkan."
Ilina tahu dia terus memandangnya. Pelan-pelan diambil air dari dalam ember sedang, dituangkan ke gelas lalu diberikan pada pria itu.
"Air apa ini?" Tak disangka dia bertanya begitu.
Tentu saja Ilina agak terkejut. "Air minum?" Apa dia mengira itu air racun?
"Maksudku ...." Dia menatap ke ember tempat air itu diambil. "Tidak. Lupakan."
Ah, Ilina lupa dia orang kota. Tentu saja mereka tidak terbiasa minum air dari dalam ember yang mereka tahu fungsinya untuk menampung air non-konsumsi.
Ilina memilih tidak melanjutkan, kembali ke dekat api seolah ia serius memasak. Bagian ini bisa ditinggalkan, tapi ia mau pria itu melihatnya dan menorehkan kesan 'dia benar-benar gadis desa' karena tidak keberatan berada di dekat tungku api.
"Kamu yang menyelamatkanku?"
"Ya." Ilina menambahkan kayu bakar di bawah panci besar yang bagian luarnya telah menghitam itu. "Kamu tergeletak di depan rumahku malam-malam."
"Kota apa ini?"
".... Aku tidak tahu."
"Apa maksudmu?"
"Aku lahir dan besar di tempat ini. Kakiku belum pernah menginjak tanah yang disebut kota." Itu jujur, meski bohong soal ia tidak tahu. "Ayah Ibuku tidak membiarkan aku keluar."
"...."
Dia benar-benar sulit ditebak. Tadi bertanya, sekarang diam. Meski tidak suka pada orang yang banyak bicara, Ilina berharap dia banyak bicara agar bisa mudah ditebak.
"Apa harus kupanggil seseorang yang lebih tahu?"
"Tidak." Dia langsung menjawab. Berarti tidak ingin sampai orang lain tahu tentangnya. "Tidak perlu. Aku baik-baik saja."
"Baiklah."
*
Gadis ini ... pasti berpikir Noah bodoh.
Tidak peduli seberapa natural dia terlihat, jika celah yang dia tunjukkan memang sudah ketahuan, semua aktingnya sia-sia.
Gadis desa tidak punya postur tubuh setegak itu. Posisi tulang punggungnya benar-benar sempurna. Meski memakai baju yang nampak sudah usang dicuci berkali-kali, dia malah membuat pakaian itu terlihat indah dan khas.
Matanya sempat terlihat juling. Dari kacamata yang tergeletak di atas meja kemarin malam, Noah menebak dia punya gangguan penglihatan yamg cukup parah.
Orang dengan mata buruk bergerak alami mengurusi pekerjaan yang membutuhkan mata.
Tapi kalau memang dugaan Noah benar, maka siapa dia? Kenapa dia bertingkah seolah dia orang bodoh di depan Noah?
Saat ini nyawa Noah tidak ada harganya sama sekali. Jika dia orang yang kebetulan mau memanfaatkan Noah pun sebenarnya dia akan rugi.
Sulit untuk memastikan. Dia sangat berhati-hati. Mungkin orang paling waspada yang pernah Noah lihat selain dirinya sendiri.
Kemisteriusan adalah pintu lain kematian.
Bagi Noah, setidaknya hal itu berlaku.
*
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 61 Episodes
Comments