Dia terluka, tapi vitalnya tidak terkena. Hanya ada beberapa bagian tubuh yang harus berlubang oleh lesatan peluru, tapi sejauh yang Ilina lihat, dia baik-baik saja.
Banyak pertanyaan bersarang di kepalanya. Kenapa dari semua tempat dia tersesat di desa ini? Kenapa dari semua orang, anak haram Palmer yang mau dibunuh yang tersesat di sini? Kenapa dari semua orang, dia tergeletak di sekitaran tempat Ilina? Kenapa dari semua kesempatan, dia baru melarikan diri dan muncul sekarang?
Tapi Ilina menyimpan itu baik-baik. Menyuruh semua orangnya pergi seolah tidak terjadi apa pun, dan ia duduk menunggui pria itu sadar.
Cukup lama sebenarnya ia menunggu. Nyaris tiga jam lewat sampai Ilina mengambil buku catatannya untuk menulis.
Sebut saja itu diary, walau apa yang tertulis di atasnya bukanlah curhatan hati yang puitis. Ilina terbiasa menulis hal-hal yang ia lakukan di kehidupan sehari-hari. Apalagi hari ini ia bertemu orang asing yang identitasnya lumayan berbahaya.
Di tengah aktivitas menulis serentetan kata acak mengenai Andreas Noah, tiba-tiba terdengar suara erangan halus dari pria itu. Ilina melirik. Melepaskan kacamata minusnya hingga wajah pria itu kini nampak samar.
Kondisi terbaik Ilina menghadapi seseorang adalah saat matanya buram. Itu membuat pendengarannya jadi lebih sensitif untuk mengenali suara.
"Kamu baik-baik saja?" tanyanya, memancing suara pria itu keluar.
Suara Ilina membuat dia segera membuka mata. Sejenak terlihat mengumpulkan kesadaran sebelum dia kembali mengerang. "Ini ... di mana?"
Suaranya tidak terdengar berbohong. Dia kebingungan.
"Rumahku." Ilina beranjak. Agak mendekat untuk memperlihatkan wajahnya.
Meski buram, karena jaraknya berada dalam jangkauan dua meter, Ilina bisa melihat dia agak berkedip cepat. Reaksi pertama melihat wajah Ilina tidak terlalu mencurigakan.
Dia tidak mengenal Ilina, kemungkinan besar.
"Kamu bisa bicara?"
Dia diam saja. Kini balik memerhatikan Ilina.
"Aku tidak tahu bagaimana kondisimu, tapi aku harus bertanya untuk memastikan. Kamu baik-baik saja?"
".... Ya." Dia menutup matanya lagi.
Lukanya menyakitkan, kah? Ada obat yang bisa menghilangkan rasa sakit pria ini di kotak persediaan namun Ilina tidak memiliki banyak alasan untuk memberikan dia terlalu banyak.
Cukup untuk dia bisa hidup.
Karena belum tentu setelahnya dia hidup, jika Ilina tahu niatnya.
"Siapa namamu?"
Pria itu kembali membuka mata. ".... Noah."
"Aku Lia." Ilina hanya mengarang nama dari tiga huruf namanya. "Aku melihatmu tergeletak dan membantumu. Tapi kurasa aku setidaknya perlu tahu sedikit mengenai lukamu."
"...."
"Aku mengerti." Dia tidak mau mengatakannya. Berarti dia waspada. "Kalau begitu istirahatlah. Aku tidak punya obat yang cukup, jadi lebih baik beristirahat."
Meninggalkan dia sendirian, kini Ilina setidaknya sudah tahu dua hal.
Dia tidak mengenal Ilina, dan dia tidak bisa bergerak banyak. Maka baik-baik saja meninggalkan dia sendirian untuk sebentar, karena bahkan jika mau bergerak, dia akan kesulitan.
...*...
Pria yang pendiam.
Pagi-pagi Ilina sengaja keluar terlambat, tapi seujung kuku pun dia tak bergerak.
Ilina masuk ke dapur rumah untuk mengambilkan air hangat, lalu kembali ketika Noah sudah duduk dari posisi berbaringnya tadi.
Dia menerima air pemberian Ilina tanpa sedikitpun bertanya. Dia bahkan meminumnya tanpa sedikitpun gerakan sedang curiga.
Keterdiaman yang menurut Ilina terlalu hening.
Orang yang pendiam itu berbahaya. Karena perasaannya hanya bisa ditebak dari ekspresi wajah, berbeda dari mereka yang cerewet dan banyak suara.
Haruskah ia pancing dia lagi?
Tidak. Ayo diam dulu sebagaimana dia diam.
Ilina sangat terbiasa bersabar dan mengamati segalanya dalam keheningan.
...*...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 61 Episodes
Comments