Dingin menyelinap dalam pori-poriku, menjalar masuk hingga menusuk tulang. Aku menggigil, berada dalam kubangan air. Basah. Baju dan rambutku tak lagi kering.
Aku meronta. Tak ada suara yang mampu keluar. Hanya hati yang menjerit kesakitan. Tak ada yang mendengar. Sunyi dalam hening yang mencekam. Membentuk rasa takut yang kian tebal. Hanya aku, tanpa orang tempat meminta pertolongan. Sendirian ditempat yang tak kukenal.
Aku membuka mata, mencoba bangkit. Gagal. Lunglai tubuhku seakan tak bertulang. Tak berdaya, lemas tanpa tenaga. Kepalaku terasa sakit, nyeri yang sangat. Perlahan, mataku kembali terpejam. Aku kehilangan kesadaran.
* * *
"Kau sudah sadar?" tanya seorang lelaki padaku.
Aku masih terdiam. Tak menjawab. kuperhatikaan sekelilingku. Sebuah kamar yang cukup luas. Tempat yang nyaman tapi begitu asing.
Kupegang kepalaku yang nyeri, ada perban yang membalutnya. Ah, sebuah luka yang mampu kurasa. Seperti bekas benturan, tapi aku tak ingat bagaimana aku mendapatkannya.
"Apa kau baik-baik saja?"
Lelaki itu kembali bertanya. Aku masih terdiam. Mencoba mencari tahu di mana diriku berada.
"Tenanglah, kau aman di sini," ucapnya seakan tahu apa yang aku pikirkan.
"Siapa namamu?" ia kembali bertanya sambil mendekat padaku.
Aku mencoba duduk. Dengan sigap ia membantuku.
"Namaku?"
Kulihat ia mengerutkan dahinya, "Iya, siapa namamu?"
Aku terdiam. Menggelengkan kepala. Oh, Tuhan, siapa namaku? aku tak mampu mengingatnya...
Lelaki itu terlihat heran.
"Kau tidak ingat namamu?" katanya lagi.
Aku mengangguk.
"Mungkin karena luka di kepalamu," ucapnya sambil mengulurkan sebuah piring lengkap dengan makanan yang terlihat lezat. "Makanlah, kau pasti lapar".
Aku memandangnya. Tak mengambil apa yang ia sodorkan. Ia lalu duduk di dekatku dan mulai menyuapiku. Aku membuka mulutku. Ia tersenyum. Rasanya aku memang sangat lapar.
"Enak?"
Aku mengangguk seraya berkata, "Di mana aku?"
Dia kembali tersenyum, "Aku kira kamu tak dapat bicara, hahahaha". Tawanya pecah sejenak menghambur di udara.
"Kau di rumahku, tadi pagi aku menemukanmu di tepi telaga. Kepalamu terluka, tapi dokter sudah mengobatinya," jelasnya padaku.
Aku hanya diam mendengar penjelasannya. Aku berusaha mengingat apa yang terjadi, siapa diriku, dan kenapa aku bisa sampai di sini. Tapi gagal. Tak ada yang kutemukan dalam ingatanku kecuali rasa sakit yang tiba-tiba menyergap kepalaku. Aku memegang kepalaku erat seraya merintih menahan sakit...
\*
Perkataan kotornya membludak, meledak-ledak kencang, menghambur memenuhi udara yang panas. Kemarahannya benar-benar tak tertahan hingga menampakkan sisi lain dari dirinya yang beringas. Seperti singa lapar yang mendapatkan mangsanya, dicengkeramnya lenganku kuat-kuat. Matanya melotot, memandangku tajam tanpa berkedip. Kusembunyikan rasa takutku dengan tetap memasang wajah ketus yang dipaksakan.
"Aku tidak membutuhkanmu lagi. Sekarang pergilah!" ucapnya kasar padaku.
"Apa maksudmu? Bukankah kita akan menikah?"
"Menikah? Dasar wanita bodoh, siapa yang mau menikahimu? Aku telah mendapatkan apa yang aku inginkan, jadi enyahlah dari hadapanku sekarang!"
"Mendapatkan apa? Apa yang kamu maksudkan?"
"Hahahaha... Tentu saja semua hartamu, kamu beru saja menandatangi pengalihan kekuasaan atas semua asetmu, jadi aku sudah tidak butuh dirimu lagi!"
"Tidak, itu tidak mungkin. Alex, katakan kamu hanya bercanda 'kan?" mataku mulai terasa panas, ada alir air yang tak mampu lagi kubendung. Tangisku mulai pecah, tak percaya dengan apa yang baru kudengar. Kenyataan pahit yang baru saja kuterima.
"Buka telingamu dan dengar baik-baik, aku tidak bercanda! Sekarang semua sudah menjadi milikku dan kamu sudah tidak punya apa-apa. Pergilah dari hadapanku dan jangan pernah muncul lagi," kata-katanya semakin membuat tangisku kian menjadi-jadi. "Dan satu hal lagi, aku memang akan segera menikah, tapi tidak denganmu, aku akan menikah dengan Jesy!"
Kata-katanya seakan menjadi badai petir yang menyambarku... Jesy! Tidak mungkin. Bagiamana sahabatku mengkhianatiku. Aku tiba-tiba menggila. Histeris. Aku meronta. Mengamuk. Memukulnya sambil berteriak tak percaya. Aku memaki bahkan mengumpatnya habis-habisan.
"Dasar kau bajing*n! Kau laki-laki bus*k! Aku selalu baik padamu, tapi kenapa kau tega melakukan semua ini padaku?" Mulutku tak terkendali lagi menumpahkan semua kemarahanku. Demikian juga tanganku yang terus berusaha memukul dan mencakar Alex sekenanya.
Dia memegang tanganku, menghentikan amukanku dan tiba-tiba menghempaskanku. Aku terjerembab. Kepalaku membentur sudut meja. Ada rasa sakit yang sangat. Kupegang kepalaku. Ada darah segar yang keluar disertai bau anyir. Tubuhku mendadak terasa berat. Mataku tak mampu terbuka. Gelap!
\*
Aku kesakitan, memegagi kepalaku. Merintih dan mulai menangis.
"Hei, tenanglah! Jangan paksakan dirimu. Tak apa jika kamu belum bisa mengingat apapun".
Laki-laki itu memelukku sejenak, menenangkanku yang meronta. Setelah aku mulai bisa menguasai diriku, dia melepas pelukannya dan berkata, "Jika sesuatu membuatmu sakit dan menderita, maka lupakan saja. Mulai saat ini namamu Viola. Kamu boleh tinggal di sini. Namaku Sean, kamu boleh memanggilku Kak Sean".
Begitulah aku tinggal di sini sejak lima bulan yang lalu. Hanya sebongkah ingatan menyakitkan yang mampu kuingat. Bukan tantang jati diriku, tapi tentang dua nama yang mengukir rasa sakit di hatiku; Alex dan Jesy.
Sebongkah ingatan yang kuperoleh, yang jika bisa memilih, aku akan memilih untuk tidak mengingatnya. Tapi takdir yang tak dapat kutolak. Tuhan mengirim sepenggal ingatan menyakitkan untuk tetap bersemayam dalam benakku. Ingatan yang membuat sepotong hati dalam diriku dipenuhi kebencian yang dalam dan kelam.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 68 Episodes
Comments
sri utami
keren kak
2021-03-02
1
Berdo'a saja
awal yg bagus lanjut baca aja deh
2020-11-12
1
au ah! ngambek! 🙁🙁🙁
dih 😵
2020-10-04
1