"Nona, anda ingin ke tepi telaga lagi?" tanya Bibi Sun, kepala pelayan di rumah ini.
"Iya, Bi. Apa Kak Sean akan pulang malam lagi?"
"Sepertinya begitu, Nona. Setiap akhir pekan tuan muda akan pulang sedikit larut".
"Kemana dia pergi, Bi?"
"Apa nona Vio tidak tahu? Tuan muda pergi ke cafe dan toko bunganya setiap akhir pekan. Pelanggan akan lebih ramai dan Tuan Muda Sean akan ikut melayani para pelanggan."
"Cafe? Toko bunga?" tanyaku dengan ekspresi heran.
"Iya, nona. Apa tuan muda tidak mengatakannya?"
Aku menggeleng, "Kak Sean tak perkata apapun".
"Mungkin karena Nona tidak bertanya, jadi tuan muda juga tidak bilang. Di rumah ini, semua terbiasa mengurusi pekerjaannya masing-masing tanpa banyak bicara pada orang lain, Nona. Tuan muda juga seperti itu, kecuali jika membutuhkan bantuan atau hal penting, baru akan memberitahu."
Aku manggut-manggut berusaha mencerna penjelasan Bibi Sun. Selama ini memang orang-orang di rumah ini terlihat sibuk dengan pekerjaannya masing-masing. Mereka seperti tidak suka ikut campur dengan hal-hal yang bukan urusannya. Aku juga tidak pernah mendengar mereka bergosip. Jika ada waktu luang bahkan mereka gunakan untuk membaca buku di perpustakaan yang khusus disediakan untuk mereka. Ada begitu banyak buku dari berbagai disiplin ilmu. Aku sering melihat mereka membacanya.
Entah mengapa, aku merasa bahwa sebenarnya mereka adalah orang-orang berpendidikan tinggi. Mereka memiliki keterampilan khusus yang terlatih. Seharusnya mereka bisa mendapat pekerjaan yang lebih di luar sana. Hanya saja, masing-masing dari mereka terlihat sangat bahagia dan menikmati pekerjaan di rumah ini. Aku pernah bertanya pada salah satu di antara mereka, kenapa memilih bekerja di rumah ini? Ia hanya tersenyum dan bilang kalau ia mencintai rumah ini. Jawaban serupa juga aku dapatkan dari pekerja di taman belakang. Mungkin karena Kak Sean memperlakukan mereka dengan sangat baik sehingga mereka betah. Atau mungkin karena ada alasan lain yang tidak ingin mereka katakan padaku.
"Nona mau pergi sendiri atau butuh seseorang untuk menemani? Atau mungkin nona tidak usah ke telaga sore ini, sepertinya akan turun hujan".
"Tak apa, Bi. Aku pergi sendiri saja. Jika hujan turun aku akan segera pulang," jawabku sambil tersenyum. Aku memang lebih suka pergi ke telaga sendiri, menikmati senja. Kak Sean selalu berkata untuk membawa seseorang bersamaku, tapi aku lebih suka pergi sendirian. Lagi pula jarak telaga tak begitu jauh pula dari rumah.
"Baik, nona. Bawalah payung untuk berjaga-jaga".
Aku tersenyum dan mengangguk. Tapi pada kenyataannya aku tak pernah membawa payung seperti yang disarankan Bibi Sun.
Aku tak butuh itu. Jika hujan turun aku hanya perlu bergegas pulang. Begitu pikirku.
Sejenak kemudian aku telah berada di luar gerbang rumah. menyusuri jalan, menuju tepi telaga. Tempatku menghabiskan waktu menikmati senja.
\*
Awan mulai menggumpal saat aku tiba di tepi telaga. Mungkin hujan benar-benar akan turun nanti. Namun aku tetap berharap dapat menikmati senja sore ini.
Aku menanti kedatangan senja sambil bermain diantara bunga-bunga liar di tepi telaga. Sesekali iku bekejaran berama kupu-kupu. Andai aku punya sayap, tentu aku dapat terbang bersama mereka. Hayalku mulai membumbung.
Kudongakkan kepalaku ke atas. Menatap langit yang makin gelap. Di ujung barat, tak kudapati semburat jingga yang kutunggu. Aku termangu. Duduk di batu besar. Sekali lagi kudapati kenyataan bahwa hidup tak selalu seperti yang diharapkan.
Kulihat bayanganku yang samar memantul di permukaan air. Aku bertanya pada diriku sendiri, siapa sebenarnya aku ini. Lima bulan lebih telah berlalu, tapi aku masih belum mendapatkan ingatanku. Kecuali sekeping ingatan tentang Alex dan "wanitanya". Tunangan dan sahabat yang mengkhianatiku.
Hingga saat ini, ingatan itu justru menjadi mimpi buruk yang sering mendatangiku. Aku sering terbangun sambil berteriak atau histeris di tengah malam. Namun entah mengapa, setiap Kak Sean bertanya padaku, aku tak pernah mau menceritakan apa yang aku ingat. Mungkin, karena aku tak ingin kembali pada masa laluku.
Bagitu banyak kemungkinan masa lalu yang sering berseliweran di kepalaku. Kehidupanku yang dulu mungkin benar-benar tidak menyenangkan. Apa yang kualami dan keberadaanku di tempat ini mungkin adalah hal terbaik. Karena itu, aku tak mau mengatakan apapun. Sekarang aku adalah Viola dan aku tak lagi tertarik dengan ingatan masa laluku. Kak Sean juga tak pernah memaksaku jika aku tak mau bercerita. Ah, mungkin Tuhan mengirimkannya untuk menjadi penyelamatku. Begitu aku selalu berpikir.
\*
Kak Sean. Laki-laki itu memang seperti malaikat yang baik hati. Dia tak pernah banyak bertanya padaku kecuali tentang hal-hal yang aku butuhkan. Tapi apa yang aku butuhkan, semua telah tersedia di rumah besar itu. Bahkan, aku bukan siapa-siapa, seorang asing tanpa jati diri, ditampung dengan gratis di rumah itu, tanpa harus membayar atau bekerja. Lebih dari itu, mereka memperlakukanku seperti nona rumah. Seperti mendapat keluarga dan perlindungan baru, ada rasa nyaman yang membuatku betah di sini, tanpa ingin mengingat siapa diri ini sebenarnya.
Sejujurnya, aku tak begitu banyak berinteraksi dengan kak Sean. Hanya sesekali di pagi dan sore hari. Atau ketika berada di meja makan. Kak Sean lebih suka menghabiskan waktu di ruang baca sekaligus ruang kerjanya. Jika tidak begitu tentu dia akan berjibaku dengan peralatan melukisnya. Karena itu, aku juga tak tahu banyak tentang dirinya. Aku juga canggung untuk bertanya karena selama ini dia juga tidak pernah bertanya atau mempermasalahkan tentang jati diriku. Aku hanya tahu, dia sangat baik padaku dan aku sangat menyukai senyumnya.
\*
Entah kenapa, tiba-tiba air mataku menitih tak terbendung. Ada perasaan aneh dalam diriku saat tak kujumpai senja. Ada sunyi yang menyergapku. Hingga butir-butir air yang kian bertubi menjatuhijiku dari langit membuyarkan lamunanku. Aku kembali tersadar. Segera bangkit dan berbegas meninggalkan tepi telaga.
Hujan. Ah, tiba-tiba aku membenci hujan. Seberkas ingatan yang samar menyembul. Suatu hari saat aku bermain hujan bersama Alex. Cih. Sepertinya aku sangat senang dan bahagia menikmati hujan bersamanya. Tapi tidak untuk sekarang. Aku membenci hujan yang telah menyembunyikan senja jinggaku, memberiku rasa dingin dan sepi!
Satu-satunya hal yang membuatku sedikit berdamai dengan hujan senja ini hanya karena hujan telah mengaburkan air mataku. Menghapus atau lebih tepatnya membaurkan air mataku yang mengalir dengan rintik rinai hujan yang menghujam wajahku. Selebihnya, hanya menyisakan setumpuk kebencianku pada hujan senja ini.
"Hujan terkutuk!" makiku dalam hati.
Aku semakin mempercepat langkahku dan sedikit berlari. Bibi Sun telah mengingatkanku untuk membawa payung, tapi ternyata peringatan itu tak kuindahkan. Alhasil aku benar-benar basah kuyup dan diserang dingin.
Bruuukkk...Buuugg...
Aku terjatuh setelah kakiku tersandung batu. Aku merintih menahan sakit. Langit seperti berputar hendak runtuh. Aku tak melihat apa-apa lagi. Gelap kembali mendekap.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 68 Episodes
Comments
Berdo'a saja
ok bagus👍👍
2020-11-12
0
Anis Mukaromah
beda dari yang ada
2020-09-07
0
SR_Muin
suka
2020-08-20
0