"Astaghfirullah, Ya Allah, Salsa, kamu nggak papa?" Ramli menghampiri Salsa yang saat ini sedang duduk di sebuah warung dengan dikerumuni beberapa orang. Terlihat di halaman warung itu ada mobil ringsek yang menabrak beberapa sepeda motor di depannya. Sepertinya, sepeda motor itu adalah milik beberapa pelanggan warung yang sedang parkir.
"Nggak papa, Yah. Tadi Salsa nggak sengaja nabrak sepeda motor yang parkir di warung ini, Yah. Salah warungnya sendiri kenapa nggak pasang lampu jalan. Kan Salsa jadi nggak lihat mana tikungannya."
"Heh! Masih syukur saya nggak minta ganti rugi karena kamu udah ngerusakin pagar rumah saya!" Pemilik warung yang merupakan seorang wanita itu terlihat melotot dan membentak Salsa.
"Bu, tenang dulu, Bu." Ramli mencoba meredam emosi Ibu pemilik warung.
"Pak, bilangin dong sama anaknya. Tau sopan santun sama orang tua. Dari tadi dia terus marah-marah sama semua orang yang ada di sini yang katanya sengaja markir sepeda motor agak ke tengah halaman saya. Jelas jelas kan dia yang salah!"
"Iya, Bu, maaf. Anu, bapak-bapak sekalian. Ini nomor handphone saya. Kalian silakan bawa sepeda motor kalian ke bengkel dan tahu saya berapa biaya kerusakannya. Nanti uangnya akan saya transfer."
Mereka semua pun mengangguk dan mencatat nomor ponsel Ramli. Terlihat Salsa yang masih marah dan menatap mereka semua dengan tajam.
"Apa kamu? Mau marah? Seumur umur, baru kali ini saya melihat ada muda yang nggak tau seperti kamu!" Ibu pemilik warung kembali membentak Salsa yang seakan tak takut.
"Salsa, jangan gitu, dong." Ramli memperingatkan anak gadisnya agar tidak memancing amarah pemilik.
Mereka pun pulang dengan menggunakan sepeda motor. Sedangkan mobilnya akan diambil oleh montir yang sudah dia telepon. Dia sudah membayangkan berapa besar biaya yang akan dikeluarkannya untuk semua kerusakan itu. Untung saja pemilik warung tidak menuntut ganti pagarnya yang ditabrak oleh Salsa hingga membuat mobilnya ringsek parah.
Sesampainya di rumah, Dewi yang melihat Salsa langsung melotot tajam.
"Hebat, ya, kamu. Sudah bawa mobil, malah ngerusakin juga. Belum lagi kerusakan kendaraan yang kamu tabrak."
"Bu, sudahlah, Salsa pasti saat ini trauma karena kejadian barusan."
"Bela terus anak kesayanganmu ini, Mas! Aku nggak ngerti sama jalan pikiranmu! Anak salah pun tetap di bela!"
"Udahlah, aku lagi nggak mau bertengkar! Terserah aku, toh yang ku keluarkan adalah uangku sendiri!"
"Aduh, Ayah, Ibuk, jangan berantem dong, aku pusing. Lagian Ibuk lebay banget sih, baru gitu doang! Sama anak kok perhitungan." Salsa melerai pertengkaran orang tuanya yang jelas-jelas disebabkan olehnya.
"Nih, ini anak yang kamu banggakan. Selalu menganggap sepele semua hal!"
"Udahlah, kamu berisik banget! Sana, Sa, kamu ke kamar aja. Istirahat, ya, Sayang. Soal tadi jangan kamu pikirin."
Salsa mengangguk dan pergi ke kamarnya. Sedangkan Ramli memilih untuk pergi ke dapur karena dia haus.
Di dapur, dia melihat Anisa yang baru saja selesai mencuci piring. Gadis itu terlihat sedikit lelah karena hari ini banyak sekali pekerjaan rumah yang harus dia selesaikan.
"Ayah udah pulang? Gimana Salsa, Yah? Dia nggak apa-apa, kan?" tanya Anisa sedikit khawatir.
"Nggak papa, cuma kecelakaan kecil, masih bisa ditanggulangi. Bulan depan uang bulanan kamu Ayah potong, ya, buat benerin kendaraan yang ditabrak Salsa."
"Iya, Yah, nggak apa-apa." Anisa hanya mengangguk pelan.
"Kasian kalau uang bulanan Salsa yang Ayah potong. Dia pasti sedih."
Deg, seketika hati Anisa berdenyut nyeri. Bukan masalah uangnya, tetapi masalah ayahnya yang masih belum bersikap adil pada mereka. Haruskah dia mengembalikan semua uang yang digunakan untuk operasinya saat kecil agar sang ayah bisa bersikap adil?
"Yah, Nisa boleh tanya? Berapa uang yang Ayah habiskan untuk biaya operasi Nisa saat kecil?" tanyanya ragu.
"Kenapa kamu nanya gitu?"
"Nisa pengen ganti, Yah."
"Diganti? Memangnya kamu ada uang darimana? Lagian kenapa kamu ganti?"
"Nisa bakalan kerja, Yah. Nisa pengen ganti supaya Ayah nggak menganggap Nisa sebagai penguras harta Ayah."
"Nisa, kenapa kamu bisa bicara lancang kayak gini?" Ramli terlihat tersinggung dengan ucapan sang anak sulung.
"Nisa nggak lancang, Yah. Nisa cuma kasian sama Ayah yang harus memikirkan semuanya sendiri. Nisa tau kok selama ini ayah selalu mengungkit soal itu. Tapi, Yah, kalau Nisa boleh milih, Nisa nggak mau kok mengalami sakit waktu kecil. Maafin Nisa, ya, Yah."
Ramli terlihat sedikit bersalah pada Nisa yang selama ini selalu dibedakan dengan Salsa.
"Nisa, apa selama ini Ayah nggak adil sama kamu?"
"Ayah adil, kok. Kalau ayah ngasih Salsa uang, Ayah juga ngasih Nisa uang. Waktu ayah beliin Salsa sepeda motor, Nisa juga dibeliin."
"Tapi Ibu kamu selalu bilang kalau Ayah nggak adil."
"Mungkin itu karena jumlahnya aja, Yah. Kalau menurut Nisa, Ayah cukup adil, kok. Ayah selalu mencukupi kebutuhan Nisa selama ini. Jadi, Nisa ingin membalas budi Ayah. Izinkan Nisa kerja, ya, Yah."
Ramli terlihat berpikir keras. Menurutnya, kalau Nisa bekerja, pasti dia tidak akan meminta lagi. Bahkan bisa membantu menambah biaya hidup mereka.
"Memangnya kamu mau kerja apa?"
"Kebetulan di pasar ada warung makan yang ditinggal pemiliknya yang sudah pulang kampung. Jadi, Nisa mau jualan makanan di sana. Sekalian pergi pulang bareng sama Ibu."
"Ya udah, kalau kamu ingin kerja. Tapi ini bukan Ayah yang maksa, lho. Nanti ibu kamu mikir Ayah yang nyuruh kamu kerja."
"Enggak, Yah, Nisa bakalan bilang sama ibu. Ayah mau kan terima uang dari Nisa. Seenggaknya Nisa cicil tiap bulan."
Ramli bingung harus menjawab apa. Di satu sisi, dia malu jika harus meminta uang operasi Nisa saat kecil. Tapi, di sisi lain, dia memang membutuhkan bantuan finansial karena kerugian yang diakibatkan Salsa lumayan besar. Ada empat sepeda motor yang ringsek parah. Belum lagi biaya mobilnya yang juga lumayan besar. Bisa-bisa seluruh tabungannya habis karena itu.
"Ya udah, tapi jangan sampai Ibu tau, ya, kamu cicil uang tiap bulan."
"Iya, Yah. Tapi, Bisa mohon Ayah jangan berantem lagi sama ibu cuma gara-gara Nisa."
Ramli mengangguk mengerti. Dia pun kembali ke kamar untuk istirahat. Nisa pun mulai menyusun apa-apa saja yang harus dipersiapkan untuk jualan besok. Sepertinya dia membutuhkan mobil pick up untuk mengangkut barang-barangnya.
Untung saja dia memiliki tabungan, jadi tidak perlu memikirkan modal lagi.
Dewi awalnya menolak. Namun, karena Anisa terus membujuk, dia pun mengiyakan saja permintaan sang anak. Lagipula, memasak adalah hobi Nisa, untuk apa dihalangi. Hanya saja, Dewi tidak tahu kalau Anisa sedang mencicil biaya operasinya saat kecil pada sang ayah. Jika sang ibu tahu, pasti akan terjadi pertengkaran besar di rumah ini.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 45 Episodes
Comments
Misaza Sumiati
ada yah ayah seperti Ramli
2025-01-29
0
Yunerty Blessa
mati saja kau Ramli
2024-01-25
0
guntur 1609
astagfirullahhh. kok sanggup ya
2023-12-21
0