“Hari ini apa yang akan lo lakuin?”
Tanya itu berhasil membuat Ayla menoleh, mata bundarnya memandang sosok cewek bertubuh jangkung yang ada di depannya, matanya kecil, tapi begitu sangat tajam. Nuna adalah nama cewek itu.
“Gue? Maksud lo?” tanya Ayla bodoh.
Baik Intan, dan Nuna, keduanya hanya memutar bola mata mereka jenggah. Entah habis kepentok apa sahabat mereka, sebab sekarang Ayla yang memang sudah lemot benar-benar semakin lemot sekali.
“Kan elo biasanya selalu ngasih bingkisan buat Kak Devano. Terus elo mau ngelakuin apa sekarang?” tanya Nuna, memperjelas pertanyaannya yang tadi.
Suasana sudah mulai tidak kondusif, mentari sudah mulai meninggi, dan anak-anak sudah mulai protes karena kepanasan, sementara kepala sekolah sebagai sosok yang sekarang memberikan ceramah masih menggebu-gebu melakukannya. Seolah lupa jika di depan sana, ada ratusan murid yang terpanggang panasnya mentari.
“Hm! Gue udah bikin kue cokelat, sih. Namun …” kata Ayla terputus, dia kembali menghela napas lagi, melirik tasnya yang ada di belakang. “Gue nggak yakin deh bakal ngasih lagi apa enggak,” lanjutnya.
Nuna mendengus, melipat kedua tangannya di dada. Apakah dia percaya begitu saja dengan Ayla? Oh, tentu saja tidak! Nuna paling tahu siapa Ayla, berapa puluh kali dia bilang ingin menyerah mengidolakan Devano? Berhenti menyapa Devano? Gila terhadap Devano dan lain sebagainya? Tapi semua yang dikatakan oleh Ayla adalah bulshit! Semua yang dikatakan Ayla hanya omong kosong semata. Sebab yang terjadi adalah, Ayla tetap menjadi Ayla. Dia tetap saja mengejar-ngejar Devano seperti dengan cewek-cewek tidak jelas lainnya. Padahal sudah jelas jika Devano jangankan menanggapi, melirik pun tidak sama sekali. Meski sebuah pernyataan Devano kemarin malam cukup membuat Nuna merasa benar-benar … aneh.
“Ah, yang bener? Jangan-jangan hanya hoax, lagi,” ledek Nuna. Intan pun terkekeh juga mendengar ucapan dari Nuna tersebut.
“Ah, beneran, Ayla mah hoax doang. Bilang capek ngejar Kak Devano, nyata dikejar juga. Berapa uang yang dia buang hanya buat dapetin foto Kak Devano yang benar-benar nggak ada manfaatnya itu?”
“Lo minta juga kan sama gue!” kesal Ayla yang tak terima. Ayla mendengus, kemudian dia mengerucutkan bibirnya dengan sempurna.
*****
Jam istirahat sudah tiba, baik Ayla, Nuna, dan Intan kini sama-sama sedang berjalan menuju kantin. Hari pertama masuk sekolah tanpa embel-embel calon siswa baru adalah cukup membuat mereka agaknya merasa percaya diri juga. Menanggalkan seragam putih biru untuk mengenakan seragam putih abu-abu adalah hal yang menyenangkan untuk mereka. Ini bukan hanya sekadar masalah gengsi, ini seperti pembuktian kalau mereka sudah dewasa. Ya, itu adalah pemikiran dari mereka.
“Kantinnya hanya satu nggak sih? Jauh bener,” keluh Intan. Kantin dari gedung kelas sepuluh memang jaraknya lumayan jauh, dari ujung ke ujung. Cukup memakan waktu, memang. Namun bagaimana pun jika mereka lapar, hanya kantin itulah satu-satunya tempat yang bisa dijangkau.
“Salah sendiri elo nggak sarapan? Jadi kita ikut kena imbasnya juga, kan?” dengus Nuna mulai protes. Intan kembali terkekeh juga sambil menggaruk tengkuknya yang tak gatal.
Sementara Ayla, dia hanya diam membisu. Pikirannya masih kemana-mana, dia masih bingung dengan apa yang dia alami. Seperti mimpi tapi nyata, tapi jika nyata hal itu benar-benar tidak mungkin sama sekali. Bagaimana tidak, dia pacaran dengan Devano? Tapi sampai detik ini di jam istirahat sekolah pun, Ayla sama sekali tidak merasa jika ada tanda-tanda status hubungannya dengan Devano itu nyata. Bahkan, seperti hari-hari biasanya, dia hanya bersama dengan dua sahabatnya yang selalu heboh, dia berjalan di antara mereka sebagai cewek yang paling diam di antara yang lainnya, dan hanya satu yang berubah. Ya, tatapan dari cewek-cewek kepadanya. Sebuah tatapan tajam dan tidak suka, dengan bisikan-bisikan paling tidak mengenakan telinga sama sekali, meski Ayla sendiri tidak begitu memperhatikan ucapan mereka.
“Kalian ke kantin dulu, ya. Gue mau ke toilet dulu,” kata Ayla. Menepuk bahu Intan dan Nuna sekilas kemudian dia berjalan cepat menuju toilet.
Untung dia segera melihat toilet, sebab panggilan alamnya benar-benar tidak bisa ditahan sama sekali. Ayla pun langsung menghela napas lega ketika selesai buang air kecil, berjalan menuju cermin dan mencuci tangannya pada kran yang ada di sana.
“Eh, itu bukannya cewek yang kemarin malem, ya,” suara itu mulai terdengar. Ayla melihat dari pantulan cermin di depannya, jika ada dua cewek kelas sebelas yang saling berbisik dengan suara kencang, memandang Ayla dengan tatapan penuh menilai dari ujung kaki sampai kepala.
“Iya, elo bener. Dia kan cewek yang katanya ceweknya Devano itu kan?” tanya cewek lainnya.
Ayla kini hanya bisa menelan ludahnya dengan susah, dia menundukkan wajahnya, berusaha untuk pura-puratidak mendengar meski terasa sulit.
“Bener, gue nggak paham sama Devano. Dikejar cewek paling populer di sekolah aja nggak peduli, eh malah mau-maunya sama cewek kayak gitu? Udah dekil, kecil, bodi udah kayak papan setrikaan, jelek lagi. Ya ampun, kalah jauh lah sama Cindy.”
“Mungkin dipelet kali. Jangan deket-deket sama cewek itu!”
“Bikin kesal lihat wajahnya,” imbuh cewek satunya lagi. Setelah puas keduanya mengatakan apa yang ingin mereka sampaikan kepada Ayla, keduanya pun keluar.
Sementara Ayla sendiri hanya bisa berdiri dengan bodoh di depan cermin. Menghela napasnya panjang dengan sempurna. Ini adalah hal yang paling mengerikan, gunjingan dan cemoohan atas dirinya sudah tidak bisa dihindari lagi. Padahal, sampai detik ini Ayla sendiri sama sekali tidak merasa kalau dia adalah ceweknya Devano sama sekali.
Ayla kemudian tersenyum getir, setelah dia merasa selesai dan mengeringkan kedua tangannya, Ayla berjalan keluar, membuka pintu toilet, tiba-tiba ….
Byur!!!
Ayla hanya bisa berdiri dengan bodoh, ketika sekujur tubuhnya basah kuyub. Dia kemudian memandang ke atas, melihat sebuah timba terjungkir di atas pintu dengan sebuah tali yang sepertinya sudah disiapkan dengan rapi di sana.
Ayla terdiam, dia tidak bisa berkata apa-apa. Dia masih bingung, apa yang sebenarnya terjadi. Apakah semua yang dia alami adalah sebuah kesengajaan? Lantas siapa yang melakukannya? Sebab Ayla merasa tidak memiliki musuh siapa pun di sekolah. Dia baru saja datang ke sekolah dan ini adalah hari pertama dia ke sekolah. Jadi, bagaimana bisa?
“Ups, maaf, sengaja!”
Suara itu membuat Ayla memandang keluar toilet, tiga cewek kelas dua belas berdiri di depannya dengan angkuh, bersedekap, kemudian tersenyum dengan penuh kepuasan.
Ayla masih diam, matanya terasa nanar. Sengaja? Ayla tidak salah dengar, kan? Kalau apa yang mereka lakukan itu sengaja?
“Gimana? Seger ya? Ya, seenggaknya bisa buat bersihin otak lo yang udah nggak waras itu buat jauh-jauh dari Devano!” ucap cewek yang paling tinggi dan lencir.
Ayla sama sekali tidak menyangka jika yang benci dengannya begitu banyak hanya karena sebuah kalimat dari Devano itu.
“Apa salah gue, ya, Kak?”
“Salah elo apa? Ya jelaslah, masak elo nggak paham? Elo kan ceweknya Devano!” jawab cewek berambut ikal yang kini sudah berdiri di depan Ayla, memandang Ayla dengan bengis lalu mendorong tubuh Ayla sampai Ayla terjatuh dengan sempurna di lantai.
Sakit, tentu saja.
Tapi, hati Ayla yang jauh lebih sakit dibandingkan apa pun juga.
Perlahan, anak-anak pun mulai berkumpul, aksi perundungan itu mulai menyebar dari mulut ke mulut. Sebuah hal yang tidak terbayangkan bahkan sampai kapan pun itu.
“Elo seharusnya tahu, ya, Devano itu adalah milik kita. Berani lo deketin Devano dan sok jadi pacarnya Devano, kami pastikan kalau hidup lo bakal buruk tiga tahun sekolah ini. Paham lo?”
“Tapi, Kak, gue—“
“Gue, gue, apa? Lama-lama gue gantung leher lo di pohon juga lo!”
“Cukup!”
Semuanya langsung berhenti, Ayla kembali terdiam, seorang cowok dengan tubuh tegap itu masuk, menyelimuti tubuh basah Ayla dengan jaket, membantu Ayla untuk berdiri, kemudian merangku tubuh mungil Ayla yang menggigil. Tatapannya tajam memandang semua cewek yang ada di sana, dan hal tersebut cukup membuat tiga cewek perundung itu terdiam, dengan wajah pucat pasi mereka.
“Siapa yang nyakitin cewek gue, mereka akan berurusan sama gue,” tegas, singkat, dan padat. Itulah yang diucapkan oleh sosok itu, menarik tubuh Ayla keluar hingga semua anak memberikan jalan untuk Ayla dan sosok itu.
Cukup jauh keduanya berjalan, hingga tangan kokoh itu melepaskan rangkulan tangannya kepada Ayla ketika menyadari jika suasana sudah sepi. Ya, tepat di belakang gedung kelas sebelas, sepi tidak ada satu orang pun di sana.
Cowok itu berdiri sedikit jauh dari Ayla, memasukkan kedua tangannya ke saku celana, membuat Ayla masih merasa jika semua ini seperti mimpi.
Ayla menggenggam jaket milik cowok itu, dia pun tersenyum. Apa yang bisa dia bayangkan lebih dari itu? Dia bisa mengenakan jaket dari cowok yang begitu dia suka. Ayla kemudian mengingat jika cowok itu tadi merangkulnya. Bahkan lebih dibandingkan dari mimpi terindah, Ayla sama sekali tidak menyangka jika dirinya dirangkul oleh cowok yang begitu disukainya. Ya, cowok itu adalah … Devano.
Ini tidak mimpi, kan?
Ini adalah kenyataan, kan?
Ayla mengucek matanya, mencubit kedua pipinya, dan apa yang dia alami adalah nyata. Tidak mimpi atau halusinasi semata.
Ayla memandang Devano yang ada di depannya, sosok jangkung dengan rambut agak panjang yang menutupi kerah seragam bagian belakang itu tampak begitu nyata. Postur tubuh tinggi tegap terlihat gagah dan sempurna.
“Kak Devano …” panggil Ayla, dia maju beberapa langkah agar tepat di belakang Devano. Namun, cowok itu tidak menoleh sama sekali. Sosok itu benar-benar Devano, kan? “Thanks, ya, udah—“
“Kembalikan jaket gue besok, laundry, karena gue nggak mau ada bekas tangan elo nempel di jaket gue,”
Ayla terdiam mendengar ucapan itu keluar dari mulut Devano. Tatapan Devano benar-benar tajam dan dingin, seolah kebencian sudah tergambar jelas di dalam bola mata Devano. Setelah mengatakan itu, Devano pun langsung pergi, tanpa memberi penjelasan dan mengatakan apa pun lagi.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 58 Episodes
Comments