Rea meremas ujung kaos yang dia pakai. Wajah gadis itu senantiasa menunduk. Gina berkata, akan mengajaknya bertemu dengan papa dan mamanya. Bisa dibayangkan bagaimana takutnya Rea. Di hadapan Rea, duduk sepasang suami istri yang kini menatapnya intens.
Gina sendiri telah menceritakan keseluruhan soal Rea. Termasuk Rea yang punya gangguan psikologi. Mattew Aherne, seorang pria berusia lima puluhan tahun, pria dengan aksen bule lokal itu memindai Rea dari atas ke bawah. Dia sudah bertemu orang banyak dalam hidupnya, jadi sekali lihat, dia bisa mengetahui kalau yang dikatakan Gina adalah benar.
"Tidak ingin memberi salam?" sebuah suara lembut mengalun di telinga Rea. Gadis itu langsung bereaksi, takut sekaligus malu. Melirik sekilas pada Gina, wanita itu mengangguk pelan. Rea mendekat ke arah papa dan mama Gina, lantas mengulurkan tangannya, Matt dan Berta, sang istri tersenyum. Mungkin beginilah cara Rea memberi salam. Rea mencium takzim tangan dua orang itu. "Maafkan Rea, sudah merepotkan keluarga Bapak dan Ibu," kata Rea terbata.
"Duduklah," perintah Matt. Gina langsung membawa Rea duduk di depan papa dan mamanya. "Bagaimana bisa kau bertemu dengannya?" tanya Berta masih memindai Rea. "Mama....."
"Tidak, bukan begitu maksud Mama. Maksud Mama dia punya potensi. Dia akan terlihat sangat cantik dengan sedikit polesan," Berta mulai antusias.
"Mama, dia bukan mainanmu!" Matt memperingatkan. Dia tahu sang istri akan senang mendandani Rea atau membawanya berkeliling. Berta langsung cemberut mendengar ucapan sang suami. Ketegasan Matt membuat Berta langsung kicep, tidak berani membantah.
"Kau bisa melakukan itu setelah kita selesaikan prosedurnya," kata Matt tiba-tiba. Gina dan Berta langsung mengembangkan senyumnya. "Tapi sebelumnya, kita harus menanyakan pada Rea, dia mau atau tidak," lanjut Matt. Pria itu sudah menyelidiki asal usul Rea. Bagaimana latar belakang gadis itu. Hingga dia memutuskan untuk mengabulkan permintaan Gina.
"Kamu mau kan Rea?" tanya Gina antusias. Rea seketika mengangkat wajahnya. Melihat Gina dan Berta yang sangat antusias melihatnya. "Mau apa?" tanya Rea polos. "Gubrak!" Kepala tiga orang itu seperti kena hantaman balok. Lah dari tadi mereka bicara ke sana ke sini ternyata Rea tidak menyimak sama sekali.
"Maaf, Rea pikir itu bukan hak Rea untuk tahu. Jadi Rea tidak terlalu mendengarkan," Matt langsung menepuk jidatnya. "Transkrip nilainya hampir sempurna tapi tidak dengan sikapnya," lirih Matt.
"Bukan begitu Pa, Ibu panti mendidiknya dengan baik. Kelak dia tidak akan mencampuri hal yang bukan urusannya," bela Berta. Matt menghela nafasnya. Dia sebenarnya menyukai Rea sejak Gina menceritakan soal gadis itu. Sudah jelas Rea gadis baik. Atau malah terlalu polos soal berbagai hal yang ada di depan matanya.
"Begini Rea, kami berencana mengadopsimu, apa kamu bersedia," Berta berucap to the poin. Rea langsung menatap tiga orang itu bergantian. Tidak percaya dengan apa yang di dengarnya. "Tapi Rea tidak pantas berada di sini," tolak Rea halus.
"Kalau begitu kami yang akan membuatmu pantas berada di sini," Matt berkata tegas. "Cukup katakan ya," pinta Berta. Rea kembali melihat keluarga itu. Mereka terlihat begitu menyayanginya. Bahkan Matt dan Berta yang baru kali ini Rea temui.
"Pikirkan ini, kau punya kecerdasan, kau punya peluang untuk menggapai cita-citamu. Jika kamu mau menjadi putri bungsu kami. Kamu akan mendapatkan semua fasilitas pendukung untuk itu semua. Dan yang lebih penting, kamu akan memiliki keluarga yang lengkap, papa, mama dan kakak," ucap Matt. Rea terkesiap mendengar kata keluarga. Sudah lama dia sangat menginginkan memiliki keluarga. Ayah, ibu bahkan dia berpikir akan sangat menyenangkan jika punya seorang kakak. Tanpa terasa air mata Rea mengalir. Dia begitu terharu. Untuk pertama kali dalam hidupnya ada orang lain yang begitu baik hati padanya selain ibu panti dan Nana.
"Kenapa menangis?" Gina bertanya. "Rea ingin punya papa dan mama juga kakak," lirih gadis itu. Gina seketika memeluk Rea. "Jangan menangis. Adik Kak Gina tidak boleh menangis mulai hari ini," kata wanita itu.
"Adik?" gumam Rea. "Katakan iya. Dan Kakak akan jadikan kamu adik paling bahagia sedunia," bujuk Gina lagi. Tangis Rea semakin kencang mendengar perkataan Gina. "Jadi bagaimana? Karena usiamu sudah 19 tahun, kau sudah dianggap dewasa. Keputusanmu akan bernilai di mata hukum," kata Matt. "Katakan iya, sayang!" ucap Berta tanpa suara. Wanita itu benar-benar menginginkan seorang putri lagi. Apalagi melihat Rea. Dia jadi teringat Gina waktu seusia Rea.
"Mama, jangan mempengaruhinya. Biar dia mengambil keputusannya sendiri,"
*****
Rea termenung di kamarnya, memikirkan permintaan keluarga Aherne. Dia teringat ucapan ibu panti, "Hal yang paling membahagiakan di dunia ini adalah memiliki keluarga. Tempat di mana kamu bisa pulang. Tempat di mana kamu bisa mengatakan keluh kesahmu. Tempat di mana kamu menemukan yang namanya rumah. Semua itu akan terwujud jika kamu memiliki keluarga. Jadi jika kamu bertemu dengan sebuah keluarga yang mau menerimamu, maka terimalah mereka. Niscaya mereka akan jadi keluarga yang sesungguhnya untukmu."
Rea menarik nafasnya panjang. Hari ini, dia sendirian di rumah. Gina mulai masuk kerja, tapi wanita itu berjanji akan pulang setelah makan siang. Sebab mereka ada janji dengan Mark. Untuk memeriksa lutut Rea.
Rea mulai terbiasa dengan keadaan rumah itu. Merasa bosan di kamar, gadis itu melangkah keluar kamarnya. Sedikit tertatih saat berjalan. "Non, Non Rea mau ke mana?" seorang ART bertanya padanya. "Jalan-jalan keluar sebentar Bi, bosan di kamar," jawab Rea lirih.
Si Bibi hanya berpesan jangan jauh-jauh. Rea baru saja akan membuka pintu ketika tiba-tiba pintu itu terbuka dari luar. "Ehhhh," Tubuh Rea terhuyung ke belakang. Hampir jatuh, jika saja Andra tidak menahan pinggang Rea. Sesaat keduanya terpaku satu sama lain. Rea bisa melihat wajah Andra yang begitu dekat. Pun dengan Andra yang sedikit terkejut dengan kejadian itu.
"Jalan lihat-lihat!" salak Andra galak. "Maaf, saya tidak tahu kalau ada yang mau masuk," Rea menjawab takut sambil menundukkan kepalanya. Andra mendengus geram. Rea semakin takut dibuatnya. "Cepat bersiap! Gina memintaku menjemputmu!" lagi ucapan Andra membuat tubuh Rea gemetar. Dia teringat dengan bentakan Clara padanya.
"Tunggu apa lagi? Cepetan!" Andra jelas kesal dengan Gina. Hanya karena jam kerjanya yang paling fleksibel. Tunangan Nicky itu seenaknya saja menyuruh ini dan itu. Anehnya lagi meski sibuk memaki dan mengumpat Gina, tapi Andra tetap memenuhi permintaan Gina.
"Cepat naik!" perintah Andra tidak sabaran. Rea hanya bisa menurut pada Andra. Takut, gadis itu takut pada Andra. Bisa dikatakan kalau Rea belum pernah melihat wajah Andra secara keseluruhan. Sebab dia selalu menunduk di hadapan Andra. "Pakai seatbeltnya," ketus Andra lagi. Ha? Rea melongo. "Seatbelt?" lirih Rea. Melihat kiri dan kanannya. Tidak paham dengan ucapan Andra.
"Astaga, selain ngebo kamu ternyata juga udik!" kesal Andra. Pria itu lantas memakaikan seatbelt Rea. Gadis itu reflek memundurkan tubuhnya ketika Andra meraih ujung seatbelt di belakang pundak Rea. Gadis itu hanya bisa menahan nafas dan memejamkan mata. Merasakan aroma maskulin Andra yang merasuk ke hidungnya. Untuk pertama kalinya, Rea berdekatan dengan seorang pria.
"Kalau tidur ngebo, udik lagi, hadeeuuuuhh!" maki Andra dalam hati. Pria itu mulai melajukan mobilnya keluar dari rumah Gina.
******
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 111 Episodes
Comments