Andra Dan Rea Let The Story Begin
Andrea Kirana, atau dia akrab dipanggil Rea. Gadis berseragam putih abu-abu itu, melangkah melewati anak lain sambil menundukkan wajahnya. Setelah memarkirkan sepedanya di antara deretan sepeda motor yang dipakai oleh siswa lain.
Tanpa berani mengangkat wajahnya, Rea berlalu dari sana. Mengabaikan bisik-bisik dari siswa yang dilewatinya. "Itu tu, si anak panti naik sepeda butut," beberapa bisikan yang terdengar oleh Rea. Gadis itu berusaha mengabaikan semua ledekan itu. Tapi nyatanya, hatinya berkata lain. Wajahnya terasa panas. Dengan mata yang mulai berkaca-kaca.
Rea berjalan cepat dari sana. Tidak peduli pada beberapa siswa yang dia tabrak. Minta maaf pun tidak. Gadis itu terus berlari, menaiki tangga di sudut sekolah. Lantas menarik nafasnya dalam. Seiring air mata yang benar-benar tumpah dari matanya.
"Memangnya salah kalau aku anak panti? Memangnya salah kalau aku yatim piatu? Memangnya salah kalau cuma naik sepeda butut kalau ke sekolah. Memangnya itu salah?!" teriak Rea keras, menumpahkan segala kekesalan di hatinya. Tempatnya berdiri adalah tempat paling sunyi yang ada di sekolah itu. Tidak ada yang akan berkunjung ke sana kalau bukan penjaga sekolah untuk bersih-bersih.
Rea memang tinggal di sebuah panti asuhan dekat dengan sekolahnya. Gadis itu bisa masuk ke sana melalui jalur prestasi. Karena memang otak Rea yang pintar. Tapi yang jadi masalah adalah, sekolah Rea sekolah elit, sekolah dengan mayoritas muridnya berasal dari golongan orang berada. Hingga Rea sering menjadi korban olok-olokan bahkan mengarah ke pembullyan. Sindiran verbal yang sering Rea terima soal penampilannya yang kucel dan jadul. Soal dirinya yang selalu naik sepeda butut. Soal dia yang hanya anak panti asuhan.
Berulangkali Rea minta pindah sekolah saja. Tapi Ibu panti selalu mengatakan di tempat Rea-lah, sekolah yang bisa mewujudkan cita-cita gadis itu. Tempat lain bisa tapi prospek di sekolah Rea lebih cerah.
Sebenarnya, yang membuli Rea hanya satu siswa Tapi siswa lain buat tidak tahu. Hingga siswa itu semakin bebas membuli Rea. Dan hal ini tidak ada yang melaporkan ke pihak sekolah. Sebab semua acuh dengan keadaan Rea.
"Hai....anak panti," kalimat itu sangat sederhana. Tapi bagi Rea, cukup untuk mengikis rasa percaya diri yang dia punya. Atau "sepeda bututmu salah parkir," seloroh siswa itu lagi. Rea ingin membalas tapi apa yang bisa dia lakukan. Balas mengatai siswa itu, Rea pikir itu bukan jalan terbaik untuk membalas sebuah pembulian. Pada akhirnya, Rea hanya diam, melahap semua sindiran dan ejekan yang datang padanya. Kenyang dengan ejekan siswa itu, ganti trauma yang Rea rasa. Gadis itu enggan bertemu dengan siswa itu. Tubuhnya langsung panas dingin, hanya dengan mendengar suara siswa itu.
"Tu kan bener di sini?" seorang siswi berkulit hitam manis tampak berada di dekat pintu gudang itu. Nana, satu nama yang selalu ada untuk Rea. Selalu menemani Rea. Melihat Nana, Rea dengan cepat mengusap bekas air mata yang menempel di pipi.
"Clara lagi?" tanya Nana. Tanpa menunggu jawaban Rea, Nana mengepalkan tangannya. Bertubuh tinggi jangkung membuat postur tubuh Nana seperti pria. Berbeda dengan Rea yang jelas terlihat sisi fenimimnya.
"Laporkan saja ke Pak Budi...biar masuk BK," geram Nana. Dia heran Rea, betah bener di buli dari awal masuk sampai sekarang, mereka hampir lulus.
"Jangan Na, bentar lagi juga kelar. Aku gak perlu ketemu dia lagi, please jangan bertindak aneh-aneh ya," mohon Rea. Melihat itu, Nana hanya bisa menarik nafas, "kau terlalu baik jadi orang," gerutu Nana.
"Ya sudah, aku jadi hantu saja kalau begitu," canda Rea mulai melupakan bulian singkat tadi.
"Ogah gue temenan sama hantu, susah rawatannya. Minta kembang, menyan dan teman-temannya. Repot nanti aku," seloroh Nana. Keduanya mulai turun, masuk ke kelas mereka. Rea bisa tersenyum mendengar candaan receh Nana.
"Anak panti...anak panti....anak kampung...anak kampung," lagu itu disenandungkan oleh Clara. Siswi yang menjadi the one and the only, haters Rea di sekolah itu. Sialnya lagi mereka satu kelas. Seperti sekarang, gumaman Clara benar-benar memecah konsentrasi Rea dalam mendengarkan penjelasan Bu Mia, guru akuntansi biaya mereka. Hingga ocehan Bu Mia yang sudah ngalor ngidul balik ngidul lagi itu tidak seberapa yang mampir ke otaknya. Padahal biasanya, dia seperti spon yang ketemu air. Diserap habis tu si air.
"Clara kurang kerjaan banget sih," omel Nana. Bu Mia sudah keluar dari kelas Rea. Menimbulkan sedikit suara gaduh. Seperti anak ayam yang lepas dari pengawasan maknya, ngoceh sana sini tidak karuan. "Biarin ajalah. Kalau diladenin bikin tensi naik," jawab Rea berusaha tenang. Gadis manis itu kadang terpengaruh juga oleh ledekan si Clara itu. Tapi dia sadar diri dengan keadaannya. Gadis itu selalu ingat pesan Bu Pantinya, "jangan membuat masalah." Pesan itu seperti sudah terdoktrin rapi di otaknya.
"Eh temen-temen, kalian tahu gak kalau hari ini ada hadiah spesial buat Rea, si anak panti," teriak Clara keras. Tinggal satu mata pelajaran lagi dan mereka akan pulang.
"Maksudmu apa?" salak Nana garang. Rea langsung memijat pelipisnya. Sejak tadi dia sudah berusaha menahan Nana. "Ada deh, kalian lihat saja nanti. Hadiah spesial buat Rea, si anak panti.
Nana langsung mengumpat Clara begitu berada di parkiran. Ternyata mereka mengempeskan ban sepeda Rea. Eh salah bukan sekedar dikempesin, soalnya waktu dipompa sama penjaga sekolah, langsung kempes lagi. "Ini bukan kempes Neng, tapi bannya pasti bocor," seloroh si penjaga sekolah.
Rea dan Nana hanya bisa saling pandang, lalu berlalu dari sana. "Kamu pulang saja dulu. Aku nggak apa-apa kok," ucap Rea. Bersamaan dengan itu rombongan Clara cs lewat dengan motor masing-masing. "Gimana? Suka gak dengan hadiah kita? Sepeda butut begitu gak level berada di antara sepeda motor kita yang mahal ini," sindir Clara.
"Cukup Clara! Kamu keterlaluan kali ini!" Emosi Nana melonjak naik. Gadis itu sudah maju menantang Clara, jika saja teriakan pak Budi membuyarkan aksi Clara. Tatapan tajam Pak Budi seketika membuat Clara dan yang lainnya kabur dari tempat itu.
"Untung tadi pagi gue pakai sunblock, jadi it's okay panas-panasan kayak gini, no problem," celetuk Nana yang menemani Rea "menuntun" sepedanya. Berbekal uang pecahan seratus ribu dari Pak Budi, Rea dan Nana berkeliling mencari tambal ban sepeda. Nana memacu Genio-nya dengan kecepatan siput, untuk mengimbangi langkah Rea.
"Kamu pulang aja deh. Nanti dicariin sama Mbahmu," ucap Rea tidak enak hati pada Nana. Menemaninya berputar-putar mencari bengkel yang mau memperbaiki sepedanya.
"Aku sudah telepon Mbah Putri, pamit pulang sore ada ekskul," jawab Nana enteng. Sebenarnya Rea tahu, Nana tidak akan meninggalkannya sendiri meski dia menyuruhnya."Terserahlah kalau begitu. Kelaparan jangan ngeluh...aku kan cuma anak panti yang gak punya apa-apa," Rea menjawab dengan wajah ceria.
Meski setelahnya, Rea langsung menundukkan wajah. Menahan laju air mata yang mulai menganak sungai di matanya. Ingatkan menunduk bisa menghentikan tangisnya. Nyatanya dia salah. Karena begitu dia melihat ke bawah, Rea malah melihat sepatu warrior usang miliknya. Sepatu yang dia dapat saat ada yang menyumbangkan barang bekas ke panti asuhannya.
"Yah, aku memang Rea si anak panti. Tidak mungkin bisa memakai brand sekelas Nike atau Adidas atau Fila seperti yang siswa lain pakai. Air mata Rea semakin deras mengalir. Sesak dan sakit dia rasakan dalam hatinya. Kenapa hidup seolah tidak adil padanya. Pertanyaan itu yang selalu terlintas di kepalanya.
*****
Karya baru guys, semoga kalian suka...
*****
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 111 Episodes
Comments