Andra menatap judes ke arah Gina. "Tidak mau!" tolak pria itu langsung. Gina seketika memanyunkan bibirnya. Mereka baru kembali dari rumah sakit, memastikan kalau keadaan Rea baik-baik saja. Gadis itu kini masih tertidur di mobil. Andra terpaksa mengantar Gina pulang. Setelah Nicky yang berprofesi sebagai arsitek harus menuju ke lokasi pembangunan. Ada kesalahan teknis yang terjadi dan Nicky harus memeriksanya.
"Tolonglah, An," mohon Gina.
"Pangggil saja pelayanmu untuk membawanya ke atas," Andra kembali menolak. Sekilas Andra melirik Rea yang tidur bersandar pada jok penumpang. "Manis dan imut," batin Andra.
"Kamu tidak akan terlambat ke pertemuanmu hanya karena membawanya ke atas," balas Gina ketika Andra bersiap untuk melancarkan penolakannya. "Andra cepatlah. Semakin cepat kau membawanya ke atas urusan kita segera selesai," Gina melangkah masuk lebih dulu ke rumah besarnya. Ayahnya yang seorang pejabat dan pengusaha, membuat gadis itu hidup dalam kemewahan. "Andra cepat!" teriak Gina dari pintu.
Andra mendengus geram, melihat Gina yang selalu bisa membuatnya menuruti semua permintaan tunangan Nicky itu. Setengah hati, pria itu berjalan menuju mobil, membuka pintunya. Sejenak pria itu tertegun melihat wajah Rea yang tidur. Gadis itu masih terlihat kucel dan dekil. Meski begitu, Andra tidak menampik kalau kepolosan wajah Rea membuatnya sedikit tertarik. Dia sudah terlalu muak dengan penampilan wanita yang full make up.
Pria itu menarik nafasnya pelan lantas menggendong Rea. Membawa gadis itu menuju lantai dua rumah Gina. "Sini," Gina melambaikan tangannya ketika Andra muncul di puncak tangga. "Kau serius akan menampungnya?" tanya Andra. "Aku akan melihatnya dulu. Dia jelas punya masalah dengan mentalnya. Setelahnya kita lihat lagi nanti," keduanya masuk ke dalam sebuah kamar mewah.
"Baringkan dia di sini," pinta Gina. "Dasar kebo, digendong dari sana ke sini. Tidak bangun sama sekali," gerutu Andra. "Kau lupa, Mark memberinya obat tidur," Gina menyahut. Andra kembali menarik nafasnya. Lantas keluar dari sana.
"Aku akan menyelidiki siapa dia, sebab aku berniat untuk mengangkatnya menjadi adikku," kata Gina.
"Kau bercanda ya?" Andra berkata tidak percaya.
"Aku akan bicara pada Papa dan Mama. Jangan khawatir, aku akan memastikan identitasnya. Aku juga tidak akan sembarangan mengambil adik," jawab Gina.
"Terserahlah!" Andra berkata acuh. Andra tahu, Gina kesepian, karena dia sama seperti dirinya, anak tunggal. Tidak punya saudara. Pria itu keluar dari rumah Gina. Lantas melajukannya menuju rumahnya sendiri.
*****
Rea menggeliat pelan, merasakan perih pada lututnya. Gadis itu langsung membulatkan matanya, melihat di mana dirinya berada sekarang. Sebuah kamar mewah bernuansa pink lembut. Rea mengucek matanya. Mencari kebenaran kalau yang dia lihat adalah benar.
Kredit Pinterest.com
"Aku belum mati kan?" gumam Rea, berpikir kalau dirinya sedang berada di surga. Ketika Rea masih melongo dengan kamar mewah itu. Gina masuk ke dalam kamar itu. "Kamu sudah bangun?" tanya wanita berambut pirang itu.
"Su...sudah," Rea langsung melompat turun dari kasur empuk itu. Gadis itu seketika meringis merasakan perih pada lututnya. "Jangan berdiri dulu. Ingat kata Mark, kau harus mengurangi pergerakan di lututmu," Rea melongo mendengar perkataan Rea yang begitu lembut padanya.
"Duduklah," Gina mendudukkan kembali Rea di kasur. "Kakak....," bisik Rea. "Gina, namaku Gina, ingat?" tanya wanita itu. Rea mengangguk pelan. "Kakak Gina, ini di mana?" tanya Rea, kembali memindai kamar itu.
"Rumahku," jawab Gina masih melihat lutut Rea. Gadis itu melongo mendengar ini adalah rumah Gina. Mewah sekali, pasti Gina orang kaya, pikir Rea.
"Tidak apa-apa. Lukanya tidak berdarah lagi, kata Mark aku harus memanggilnya jika lukamu berdarah lagi," cerocos Gina tanpa henti. "Mark?" gumam Rea.
"Mark, dokter yang memeriksamu di rumah sakit," jawab Gina. Wanita itu lalu ikut duduk di samping Rea. Melihat Rea yang sibuk meremas jarinya.
"Boleh Kakak bertanya soal dirimu?" tanya Gina. Wanita itu harus berusaha keras mengajak Rea berkomunikasi secara intens. Rea jelas gadis yang tertutup. Selanjutnya sesi tanya jawab penuh perjuangan pun terjadi. Rea sangat sulit untuk diajak terbuka satu sama lain. Dari percakapan itu, Gina semakin yakin kalau Papanya bisa mengangkat Rea menjadi adiknya.
"Kalau begitu kamu bisa menghubungi Ibu pantimu. Siapa tahu dia sedang cemas sekarang," Gina mengusulkan. Rea seketika menatap ke arah Gina, "bolehkah?" tanya Rea. Gina langsung mengangguk, lantas menyerahkan ponselnya. "Tahu nomornya?" Gina balik bertanya. Gadis itu mengangguk.
Tangan Rea gemetar, belum pernah dia memegang ponsel semahal ponsel Gina. Dia tidak punya ponsel. Hanya ponsel Nanalah yang sering dia lihat atau sekedar ikut melirik ponsel Nana ketika sang sahabat sedang schrolling di media sosial.
"Kenapa?" Gina heran ketika Rea hanya menerima ponsel Gina, tidak segera menggunakannya. "Tidak tahu cara pakainya," jawab Rea polos. Gina seketika menepuk jidatnya. Astaga, tahun berapa ini, dan ada ya manusia yang tidak tahu cara menggunakan ponsel. Pada akhirnya, Ginalah yang menghubungi Ibu panti lalu memberitahu kalau Rea ada di rumahnya, di ibukota. Rani jelas terkejut, bagaimana Rea bisa sampai ke ibukota. Hingga Gina menjelaskan cerita Rea bisa sampai ke sana. Ibu panti langsung merasa lega, mendengar Rea baik-baik saja.
Rea langsung menarik nafasnya lega setelah bicara pada Ibu panti. Gadis itu berjanji akan pulang jika lututnya sudah sembuh. Satu kalimat yang membuat wajah Gina berubah sendu. Tidak tahu kenapa, tapi dia merasa sangat dekat dengan Rea. Dia ingin Rea selalu berada di dekatnya.
Setelah membiarkan Rea untuk mengambil makan siangnya yang sangat terlambat. Gina meninggalkan Rea di kamarnya. Rumah Gina terlihat sunyi. Papanya sedang ada dinas ke luar kota. Nanti malam baru pulang. Sedang sang Mama sedang menghadiri acara resmi menggantikan sang suami.
******
Andra menarik nafasnya panjang. Meeting dengan sesama akuntan sudah selesai. Pria itu sudah kembali ke kantornya beberapa waktu lalu. Sebuah kantor akuntan publik yang masih satu jaringan dengan bisnis keluarganya. Ada beberapa poin dalam meeting tadi yang membuat kepalanya sedikit pusing.
"Aku tidak tahu kau sudah kembali," seloroh Shane, rekan satu profesi, juga satu kantor. Serta salah satu sahabatnya. Andra tidak menjawab. Meraih ponselnya lantas meletakkannya lagi. Shane heran dengan sikap Andra kali ini. "Kau kenapa?" tanya Shane. Andra mengedikkan bahunya. Entah kenapa pikirannya mulai mengarah pada Rea. Gadis kucel yang beberapa jam lalu bersandar di dadanya. Berada dalam gendongannya.
"Aku pasti mulai gila jika aku terus memikirkan gadis kucel itu!" batin Andra kesal.
"Apa ada yang terjadi setelah kami kembali?" selidik Shane. "Tidak ada. Sudahlah, apa ada klien yang harus aku tangani?" tanya Andra. Dia harus mengalihkan pikirannya dari Rea.
"Untukmu? Klien akan terus mengantri untuk diaudit olehmu," cengir Shane lantas menyerahkan dua map berisi data dari klien yang akan dia audit.
"Itu yang paling mendesak," tambah Shane. Andra hanya ber-hmmm ria. Lalu mulai tenggelam dalam deretan angka yang mulai memenuhi kepala pria itu. Menggantikan wajah Rea yang baru saja melintas di kepalanya.
"Dia seperti hantu. Tiba-tiba saja muncul dalam kehidupan kami," batin Andra setelah memakai kacamatanya.
******
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 111 Episodes
Comments