Hubungan Jessy dengan Justin terlihat kurang baik. Jessy merasa Justin benar-benar mengabaikannya. Seperti hari ini, mereka ada jadwal mata kuliah yang sama. Namun, Justin sama sekali tak menyapanya.
"Kalian berantem, ya?" tanya Fika.
"Ini gara-gara kamu juga," jawab Jessy.
"Kok gara-gara aku?"
"Memangnya siapa coba yang memberi tahu masalahku pada Justin?" keluh Jessy. "Fika, Fika ... Kenapa sih mulutmu bocor!"
"Yah, mau bagaimana lagi? Kamu punya pacar gak ada gunanya. Harusnya dia kan membantumu, Jess!"
Jessy hanya bisa menghela napas pasrah pada keadaan. Bahkan usai perkuliahan selesai rasanya ia tak ada tenaga untuk keluar dari ruangan.
"Jess ...."
"Hm?"
"Minggu depan kita libur satu minggu, kan? Ikut aku ke Inggris, yuk!" ajak Fika.
"London? Kamu mau pergi ke luar negeri?" Jessy mengernyitkan dahi.
"Yup! Mas Leon ada kerjaan di sana, dia menyuruhku menyusul," kata Fika enteng.
"Ngapain kamu mau kelonan tapi ngajak aku? Gila, ya?"
"Ye ... Aku sama Mas Leon paling bisa ketemu sebentar. Sisanya aku sendirian, makanya aku mengajakmu buat jadi teman."
"Kamu kan tahu sendiri aku tidak punya uang. Boro-boro untuk ke luar negeri, buat makan juga susah," kata Jessy.
"Aku bayarin semuanya. Kamu cukup menemaniku saja. Belum pernah ke luar negeri kan, kamu?"
"Ya belum pernah lah! Aku kan miskin."
"Makanya nih, teman baikmu sedang memberikan penawaran bagus, kamu ikut aku saja!" rayu Fika.
"Oke, nanti aku coba pikirkan lagi," jawab Jessy.
"Kayak gini ngapain juga mikir lagi sih, Jess, Jess ...." Fika menggeleng-geleng.
Jessy membereskan buku-buku miliknya ke dalam tas. "Fik, aku pergi dulu, ya! Mau bayar uang kuliah sebelum dipangil Bu Yuli lagi," pamitnya.
"Heh! Kamu belum membayarkannya juga? Buruan gih bayar!" perintah Fika.
"Ya, ini mau ke bank. Makasih sudah meminjamkan uang padaku," ucapnya dengan seulas senyum.
"Sama-sama. Nggak usah sungkan sama aku, kalau bisa pasti aku bantu. Minggu depan pokoknya ikut aku, ya!" kata Fika.
Jessy bergegas keluar dari ruangannya. Ia menoleh ke sana kemari mencari keberadaan Justin.
"Justin!" serunya sembari berlari menghampiri Justin yang hendak menuju lapangan basket kampus.
Agaknya Justin malas melihat Jessy saat ini. Ia masih kesal dengan perbincangan mereka beberapa hari yang lalu.
"Justin ...." Nada bicara Jessy merajuk. Ia bimbang dengan apa yang seharusnya dilakukan terhadap lelaki itu.
"Kenapa?" tanya Justin sembari melihat kondisi sekeliling.
"Jangan marah lagi, ya!" pinta Jessy.
"Siapa yang marah? Bukannya kamu sendiri yang marah?" Nada bicara Justin agak kesal.
"Aku memang salah kemarin. Aku minta maaf sudah menyinggungmu," ucap Jessy penuh penyesalan.
Justin menghela napas. Ia juga tidak bisa lama-lama marah dengan Jessy. Ia menepuk lembut kepala Jessy.
"Sudahlah! Tidak apa-apa," katanya.
"Kamu nggak marah lagi, kan?" tanya Jessy memastikan.
"Nggak, aku nggak marah. Kita bicarakan ini nanti malam saja. Di tempat biasa."
"Baiklah."
"Aku pergi dulu. Teman-temanku sedang menunggu di tempat latihan," pamit Justin.
Jessy mengangguk. Ia membiarkan Justin berlalu meninggalkannya.
Usai berbicara dengan Justin, Jessy melanjutkan langkahnya menuju bank untuk membereskan pembiayaan kuliahnya. Setelah pertimbangan yang panjang, ia memutuskan untuk meminjam uang kepada Fika. Ia akan segera mengganti setelah memiliki uangnya.
"Pak, saya mohon beri saya keringanan."
"Maaf, Pak. Kami tidak bisa. Anda sudah jatuh tempo 6 bulan."
"Pak Dasiran?" Sapa Jessy.
Tanpa sengaja ia bertemu dengan Pak Dasiran di area depan bank. Dari wajahnya, lelaki paruh baya itu terlihat kebingungan berhadapan dengan salah seorang pihak bank. Jessy menghampiri mereka.
"Eh, ada Mba Jessy." Pak Dasiran terlihat kaget bisa bertemu dengan Jessy di sana.
"Ada apa Bapak di sini?" tanya Jessy.
Pak Dasiran terlihat bingung untuk menjawabnya. "Anu ...."
"Mba ini siapanya Bapak?" tanya pegawai bank tersebut.
"Saya keponakannya Pak Dasiran," jawab Jessy.
Pak Dasiran menunduk. Ia menjadi sungkan dengan jawaban yang Jessy berikan.
"Jadi, kenapa Pak Dasiran ada di sini?" tanya Jessy.
"Begini, Mba. Beliau menunggak cicilan di bank sudah 6 bulan. Kami berniat untuk menyita rumah Beliau karena tidak memiliki kemampuan untuk melunasi hutangnya," jawab pegawai bank tersebut.
"Saya bukannya tidak mampu membayar, Pak. Saya hanya meminta keringanan lagi karena seluruh uang saya sudah digunakan untuk biaya perawatan anak saya di rumah sakit. Kalau sudah ada uangnya pasti akan saya lunasi," kilah Pak Dasiran.
"Maaf, Pak. Kami juga sudah memberikan kelonggaran Anda selama 6 bulan. Itu melebihi batas toleransi yang biasanya hanya 3 bulan saja."
Jessy ikut dilema. Ia sendiri sedang membutuhkan uang, namun mendengar permasalahan Pak Dasiran ia jadi tidak tega.
"Berapa biaya tunggakkan hutangnya, Pak?" sahut Jessy.
"18 juta."
Jessy rasanya terkena serangan jantung mendadak. Ia memiliki uang sejumlah itu yang akan dipergunakan untuk melunasi biaya kuliah. Tapi, melihat orang yang sudah dianggap sebagai keluarga sendiri, rasanya tidak tega mengabaikannya.
"Kalau begitu, biar saya saja yang membayar tunggakkannya, Pak," kata Jessy.
"Jangan Mba Jessy! Jangan ...." Pak Dasiran keberatan dengan bantuan yang Jessy tawarkan.
"Tidak apa-apa, Pak. Saya ada kok uangnya. Pak Dasiran fokus saja dengan Nino supaya dia lekas sembuh," kata Jessy menenangkan.
"Aduh, Mba ... Saya ini sudah tidak bekerja dengan keluarga Mba Jessy, tapi kok malah merepotkan terus begini." Pak Dasiran rasanya ingin menangis dengan kebaikan hati Jessy.
"Bapak tidak perlu sungkan begitu kepada saya. Bagaimanapun juga Bapak sudah saya anggap seperti orang tua sendiri," ucap Jessy.
"Kalau begitu, mari ikut saya ke dalam," ajak pegawai bank.
Jessy dan Pak Dasiran masuk ke dalam ruangan bank mengikuti pegawai tersebut. Di sana mereka dijelaskan tentang besaran tunggakkan beserta denda keterlambatan yang totalnya sekitar 20 jutaan.
Uang Jessy benar-benar kembali habis, padahal itu juga uang hasil berhutang kepada Fika. Di lain sisi kesedihannya tidak bisa membayar kuliah, ia merasa lega karena bisa membuat Pak Dasiran kembali tersenyum.
Usai mengurusi permasalahan hutang Pak Dasiran di bank, Jessy ikut ke rumah sakit menjenguk Nino.
Nino merupakan anak tunggal Pak Dasiran yang usianya 18 tahun, lebih muda dua tahun darinya. Nino menderita gagal ginjal selama dua tahun yang dipicu akibat perundungan teman sekelasnya saat awal masuk SMA.
Selama dua tahun Nino harus keluar masuk rumah sakit dan menjalani cuci darah. Pak Dasiran dan Bu Ramini yang sudah cukup tua membuat Jessy merasa kasihan dengan kehidupan mereka. Apalagi kondisi perekonomian mereka juga bisa dikatakan pas-pasan.
"Kak Jessy makin cantik saja, ya! Pasti di kampus banyak yang suka," puji Nino yang terbaring di atas ranjang perawatan. Tubuhnya terlihat semakin kurus dari waktu ke waktu.
"Di kampus banyak yang lebih cantik lagi, Nino. Aku tuh nggak ada yang suka," kilah Jessy.
"Ah, aku tidak percaya," kata Nino.
"Kalau tidak percaya, datang ke kampus sendiri. Kamu bilang aku cantik kan karena nggak pernah lihat cewek lain."
"Hahaha ... Gimana, ya ... Maunya juga jalan-jalan ke luar, kak! Sayangnya kondisi badan tidak mendukung." dalam kondisi seperti itu, Nino masih berusaha tertawa.
"Kamu harus semangat terus, Nino. Yakin suatu saat pasti sembuh. Nanti kamu masuk ke kampus yang sama denganku, ya!" kata Jessy memberi semangat.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 66 Episodes
Comments
Dwisur
iih...Jesy..kok gitu sich .
realistis dunk
2025-02-07
0
koen
gak amanah namanya tuh...
2024-12-28
0
luiya tuzahra
aku percaya ada org sprti jessi diluar sana tpi klw uang yg mau bwt bantuin jg minjem dan dia jg butuh bwt bayar kuliah yg udah nunggak kayaknya cm ddunia halu.
jatuhnya bukan simpati tpi sok naif si jessi
2024-02-29
0