"Makasih ya, Fik, sudah antar aku," kata Jessy seraya turun dari mobil milik temannya itu.
"Bayarannya dong!" ucap Fika dari dalam mobilnya.
Jessy langsung merogoh sakunya. Bukannya mengeluarkan uang, ia menyimpulkan jari membentuk tanda "saranghae" yang membuat Fika tertawa.
"Selamat bersantai, Jess. Sampai ketemu hari senin," kata Fika mengakhiri perbincangan mereka. Ia segera melajukan kembali mobilnya meninggalkan area rumah Jessy.
Jessy berbalik badan, membuka pintu pagar kayu rumahnya.
Bruk!
Baru saja ia sampai di depan pintu, sang bibi sudah mengejutkannya dengan melemparkan tas miliknya. Barang-barang Jessy sudah dikeluarkan semua dari dalam rumah.
"Ini kenapa, Bi?" tanya Jessy kaget.
"Kamu kan sudah besar, saatnya untuk hidup mandiri, jangan merepotkan kami lagi!" jawab sang bibi dengan wajah angkuhnya.
Beberapa saat kemudian Rindi, sepupunya keluar dari arah dalam. Ia tampak tersenyum senang melihat raut kebingungan Jessy.
"Aku kan sudah kerja sendiri, Bi, supaya tidak merepotkan Paman dan Bibi. Lagipula, ini kan rumahku sendiri," ucap Jessy.
Orang tua Jessy memang telah lama meninggal. Saat itu ia masih kelas 5 SD dan harus tinggal bersama paman dan bibinya sebagai wali. Rumah itu satu-satunya peninggalan dari orang tuanya.
"Haduh, mau hitung-hitungan? Merawatmu selama bertahun-tahun juga sudah menghabiskan banyak biaya. Memangnya kamu bisa menggantinya?"
Bibi berbicara dengan suara lantang sembari berkacak pinggang memaki Jessy.
"Sudah, pergi sana! Kamu kan bisa tinggal di kos-kosan," sahut Rindi. "Kasihan orang tuaku terbebani terus olehmu," lanjutnya.
Jessy tersenyum miris. Bibi dan sepupunya sudah bersekongkol untuk mengusirnya dari rumah sendiri. "Masalahnya ini rumahku. Kenapa aku harus pergi dari rumahku sendiri?"
"Kata siapa? Sertifikat rumah ini kan atas nama Papaku. Orang tuamu sudah menjual rumah ini pada Papaku," bantah Rindi.
"Dia kira biaya pengurusan kematian orang tuanya gratis. Belum lagi harus mengurusnya, kalau bukan karena papamu juga aku tidak mau dibebani olehnya. Gara-gara dia uang papamu habis terus, jatah belanja mama jadi sedikit."
Jessy menghela napas. "Terserah kalian saja mau menganggap itu sebagai hutang. Kalau aku punya uang, nanti aku bayar. Tapi aku tidak mau pergi dari sini."
Bibi dan Rindi saling berpandangan lalu tertawa.
"Hahaha ... Kapan kamu bakal punya uang? Pegawai restoran memang gajinya seberapa besar? Gara-gara kamu juga aku harus terlambat kuliah satu tahun!" omel Rindi.
Rindi memang lebih tua satu tahun dari Jessy. Setelah lulus kuliah, ayahnya menyuruh istirahat satu tahun karena tidak punya biaya.
"Kalau kamu tahu diri, cepat pergi dari sini! Sudah cukup kami direpotkan olehmu selama ini," kata Bibi.
"Aku mau tunggu Paman pulang dulu."
"Papa masih lama di luar kota. Jangan sok mau merayu Papaku, deh! Tahu diri sedikit kalau jadi orang!" bentak Rindi.
"Ya, tidak sekarang juga kalau aku harus pergi. Aku belum ada persiapan apa-apa."
"Makanya aku bantu kamu beres-beres. Semua barangmu sudah aku kemas. Aku juga sudah menelepon taksi untuk mengantarmu pergi. Aku cukup baik hati, kan?" kata Rindi. "Kamu juga bisa menumpang sementara di tempat Fika temanmu itu. Aku dengar dia anak orang kaya," tambahnya.
Jessy terdiam. Berdebat dengan mereka tidak akan ada habisnya. Selama tinggal bersama, ia memang sudah merasa jika mereka tidak menyukainya. Ia hanya diterima karena ada pamannya, adik kandung ayahnya yang telah meninggal.
"Tuh, taksinya sudah datang!" seru Rindi bahagia.
Dengan semangat Rindi dan ibunya mengangkat barang-barang milik Jessy dan memasukkannya ke dalam bagasi taksi.
Jessy hanya bisa menghela napas. Padahal ia sudah sangat kelelahan dan ingin istirahat. Belum sempat masuk rumah ia sudah disuruh pergi dari rumahnya sendiri.
"Aku sudah membayar taksi ini bahkan memberi uang lebih. Silakan kamu pergi kalau bisa sejauh mungkin dari sini. Jangan coba-coba mengadu pada ayahku, ya! Awas saja kalau itu terjadi," bisik Rindi.
Jessy diam, tidak membalas ucapan sepupunya yang menyakitkan. Ia masuk ke dalam jok taksi yang akan membawanya pergi.
Tampak Rindi dan bibinya tersenyum bahagia melambaikan tangan ke arahnya dari luar kaca.
"Kita mau kemana, Mba?" tanya sang sopir taksi.
"Kemana saja, Pak. Kalau bisa carikan sekalian tempat kos murah yang dekat dengan kampus X," katanya.
"Oke!"
Sang sopir mulai mengemudikan mobilnya. Jessy memandangi rumah yang sejak kecil menjadi tempatnya tumbuh. Ia tak mengira akan secepat ini diusir dari sana.
Beberapa waktu terakhir Rindi dan Bibinya memang secara blak-blakan mengutarakan rasa tidak suka kepadanya. Mereka sering memberi sindiran yang menyakitkan. Salah satu tujuan Jessy bekerja untuk mencari alasan agar ia tidak terlalu banyak menghabiskan waktu di rumah.
Pamannya memang selalu baik padanya. Ia masih diberi uang setiap kali pamannya pulang dari tugas kantor. Meskipun hanya karyawan biasa, tapi posisi pamannya di perusahaan cukup mendapatkan gaji yang lumayan.
Rindi dan Bibinya selalu protes jika jatah mereka berkurang karena Jessy. Jessy sebisa mungkin tidak meminta uang pada pamannya karena ia cukup tahu diri. Namun, sepertinya mereka memang benar-benar tidak menginginkannya ada di sana.
"Mba, kita sudah sampai," kata sang sopir taksi.
Jessy diantar ke sebuah bangunan kos-kosan berlantai empat yang letaknya agak masuk dari jalan utama. Tempatnya lumayan bagus jika dilihat dari luar.
"Tadi saya sudah menghubungi pemilik kos, katanya ada dua kamar yang masih kosong, siapa tahu cocok."
"Di sini biaya sewanya berapa per bulan?" tanya Jessy. Ia perlu tahu agar menjadi bahan pertimbangan disesuaikan dengan gajinya.
"Lima ratus ribu per bulan, Mba. Banyak kok mahasiswa yang kos di sini. Selain itu ada juga pekerja kantoran."
Biaya sewanya tidak terlalu mahal tapi juga tidak bisa dikatakan murah untuk kondisi Jessy saat ini. Gajinya bekerja di kafe hanya tiga juta per bulan. Itu saja harus disisihkan untuk membayar biaya kuliahnya dan biaya hidup.
"Ya sudah, Pak! Antar saya ke dalam," kata Jessy.
Ia merasa tidak punya banyak pilihan. Tempat kosnya cukup dekat dengan kampua dan tempat kerjanya. Mungkin ia hanya perlu memutar otak untuk meningkatkan penghasilannya.
Drrt ... Drrt ....
Ponselnya bergetar. Pamannya menelepon.
"Halo," sapa Jessy
"Jess, Paman dengar kamu mau kos sendiri, ya? Tadi Bibimu mengabari," kata paman dari seberang telepon.
Ingin rasanya Jessy memberi tahu semuanya. Namun, ia tidak tega membuat perselisihan di dalam keluarga pamannya yang baik hati.
"Ah, iya, Paman. Aku mau fokus kuliah dan kerja makanya pilih kos-kosan yang dekat."
"Paman malah khawatir kalau kamu tinggal di luar. Sayang juga uangmu nanti habis untuk bayar kos dan biaya hidup," kata paman.
"Aduh, Paman masih menganggapku anak kecil? Aku sudah 20 tahun dan bisa mandiri. Aku akan baik-baik saja, Paman," mata Jessy.
"Ya sudah kalau itu memang maumu. Kalau tidak betah, pulang saja. Kalau butuh uang, jangan sungkan bilang Paman."
"Iya, Paman."
"Jaga diri, jangan aneh-aneh walaupun tinggal sendiri," kata paman menasihati.
"Iya, Paman. Aku bisa bertanggung jawab pada hidupku sendiri. Paman juga jaga kesehatan."
Jessy menutup sambungan telepon usai perbincangannya dengan sang paman selesai. Ia beralih menata barang-barang di tempat kos yang baru akan ditempatinya. Mulai hari ini, Jessy akan tinggal di sana entah sampai berapa lama.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 66 Episodes
Comments
Uneh Wee
tar. jga kalau jessi kaya bibi sama aanak nya bilang harus balas budi ...
2023-02-16
0
Sunarti
biarkan saja bibi dan sepupu mu mengusir mu sekalian belajar hdp mandiri
2023-02-15
0
☠⏤͟͟͞R⚜🍾⃝ ὶʀαͩyᷞαͧyᷠυᷧͣ🏘⃝Aⁿᵘ
gpp sekarang jadi anak kost.. nanti bisa jadi juragan kost 🤭
2023-02-04
1