"Kamu tinggal di apartemenku saja deh, Jess. Rindi itu memang sepertinya perlu disobek-sobek mulutnya. Teganya dia mengusir kamu dari rumah. Dasar keluarga gila!"
Fika terlihat emosi saat mendengarkan cerita dari Jessy. Ia tidak menyangka teman baiknya sudah diusir dari rumah. Jessy tidak mengatakan apapun sampai Fika tahu sendiri. Rindi memberi tahu jika Jessy sudah tidak tinggal di rumahnya saat ia datang untuk menjemputnya.
"Sudahlah, aku tidak mau memperpanjang masalah. Toh aku sudah dapat kos-kosan yang lumayan nyaman." Jessy menjawab pertanyaan Fika sembari menikmati makanannya di kantin.
"Kamu jadi orang jangan terlalu mengalah, nanti habis diinjak-injak orang!" Fika memberi nasihatnya dengan menggebu-gebu.
Jessy bisa saja melawan bibi dan sepupunya. Ia yakin pamannya juga pasti akan membelanya. Bahkan jika sampai harus bertengkar dengan sang bibi, pamannya akan memihak padanya. Ia tidak mau keluarga pamannya berantakan hanya karena dirinya.
"Tugas kuliah untuk besok sudah selesai apa belum?" tanya Jessy mengalihkan pembicaraan.
Fika terdiam sesaat. "Ah, kayaknya belum deh, Jess ... Bantuin dong ...," ucapnya sembari meringis.
Jessy memutar malas bola matanya. "Kerjakan sendiri deh! Capek aku bantuin kamu terus," protesnya.
"Ayolah Jessy yang baik ... Nanti aku beri tempat tinggal gratis kalau kamu mau membantuku mengerjakan tugas." Fika mengerlingkan matanya.
"Nggak mau! Nanti kalau Daddy kamu datang aku jadi nyamuk pengganggu."
"Nggak, Kok ... Mas Leon itu orang yang baik. Pasti dia juga kasihan kalau tahu temanku jadi gelandangan nggak punya rumah."
"Enak saja gelandangan! Aku masih sanggup bayar kos-kosan, ya!" Jessy menampol kepala Fika.
"Hidup sendiri itu berat, Jess ... Percaya deh sama aku. Apalagi kita tinggal di kota metropolitan yang apa-apa serba mahal."
Tiba-tiba selera makan Jessy jadi hilang. Ia ingat ada salah satu teman yang memberitahu jika ia dipanggil menghadap ke bagian administrasi. Sepertinya ia akan bermasalah dengan pembayaran kuliahnya.
"Apa kamu tertarik aku carikan Sugar Daddy?" lirih Fika.
Jessy membelalakkan mata. "Kamu sudah gila, apa?"
"Ya, aku kan hanya mau bantu kamu saja. Siapa tahu kamu minat. Aku tidak sedang ingin menjerumuskanmu menjadi sepertiku. Tapi ... Aku tahu sulitnya hidup sendiri di kota besar."
Jessy menggeleng-gelengkan kepala. "Stop deh ide gilanya. Kamu ada-ada saja."
"Lagian kamu juga aneh. Punya pacar tapi tidak minta bantuan apa-apa. Kalau Justin nggak berguna, ngapain kalian masih pacaran?" gerutu Fika.
"Jangan bilang begitu, Fika. Ini mauku sendiri, bukan salahnya, juga bukan urusannya."
"Terserah kamu saja, lah! Toh kamu yang bakalan merasa kesusahan sendiri. Ngapain juga aku ikut pusing!" Fika manyun.
"Makasih kepeduliannya, ya! Aku senang punya teman sepertimu. Nanti kalau aku butuh bantuan, pasti aku akan bilang padamu," kata Jessy.
Fika menyandarkan kepalanya di meja. Ia kesal dengan prinsip Jessy yang seakan baik-baik saja padahal hidupnya penuh masalah.
"Fik, aku pergi duluan, ya. Ada sedikit urusan. Sampai ketemu besok," pamit Jessy meninggalkan Fika yang masih ngambek di kantin.
Jessy berjalan cepat menuju ruangan tata usaha untuk bertemu dengan bagian yang mengurusi tentang pembayaran uang kuliah.
"Kamu pastinya sudah tahu kan, Jessy, kenapa saya panggil kamu kemari?" tanya Ibu Yuli.
"Iya, Bu. Saya tahu." Jessy sedikit menunduk di hadapan Ibu Yuli.
"Kamu sudah menunggak biaya kuliah dua semester. Katanya mau membayarkannya bulan ini, kan?"
Jessy mengangguk. Seharusnya uang simpanannya memang ia gunakan untuk melunasi biaya kuliahnya. Namun, ada-ada saja kebutuhannya.
Semester lalu uang yang seharusnya ia gunakan untuk membayar uang kuliah ia berikan kepada Pak Dasiran, mantan tukang kebun di rumahnya yang harus merawat anak semata wayangnya yang tengah dirawat karena gagal ginjal.
Baru kemarin juga ia gunakan uangnya tiga juta untuk membayar kos-kosan selama 6 bulan, karena ibu kos tidak mau pembayaran sistem bulanan. Minimal enam bulan atau satu tahun langsung.
"Saya belum ada uang, Bu." Hanya itu jawaban yang bisa Jessy lontarkan.
Ibu Yuli menghela napas. "Saya memberi kamu keringanan karena kamu mahasiswa yang rajin dan pintar. Seharusnya tidak boleh seperti ini, Jessy."
"Saya tahu. Nanti saya usahakan dapatkan uangnya, Bu."
"Ibu beri waktu sampai minggu depan ya, Jess. Tolong jangan anggap saya kejam. Ini memang sudah peraturan dari kampus."
"Iya, Bu. Saya mengerti," kata Jessy.
"Ya sudah, kamu boleh keluar sekarang."
"Terima kasih, Bu."
Jessy keluar dari ruangan Ibu Yuli dengan lemas. Uang 20 juta yang harus ia sediakan tidak kecil. Ia bisa saja meminjam kepad Fika, namun gengsinya terlalu tinggi.
"Loh, Jessy?"
Langkah Jessy terhenti saat melewati depan ruang dosen. Ia bertemu dengan Ibu Magda, salah satu dosennya sekaligus ibu dari Justin, pacarnya.
"Ah, Bu Magda." Jessy mengembangkan senyuman.
"Kamu dari mana?" tanya Bu Magda.
"Dari ruang tata usaha, Bu," jawabnya.
"Bisa ikut saya sebentar ke dalam?" ajak Bu Magda.
"Bisa, Bu."
Jessy sudah berpikiran macam-macam saja. Ia baru selesai menemui Bu Yuli, sekarang harus kembali masuk ke ruangan Bu Magda.
Setiap dosen di kampus memiliki ruang kerjanya masing-masing. Ruangan milik Bu Magda termasuk yang paling luas karena beliau merupakan dosen utama dan kebanggaan universitas. Usianya masih tergolong muda, di akhir usia tiga puluhan.
Banyak yang tidak percaya jika Bu Magda yang masih kelihatan muda sudah memiliki anak sebesar Justin. Katanya, Bu Magda telah menikah muda selepas lulus SMA.
"Ada perlu apa Ibu memanggil saya kemari?" tanya Jessy. Ia sampai tidak berani duduk karena takut akan dimarahi.
"Duduk dulu, santai saja. Saya tidak akan memarahimu, kok," kata Bu Magda.
Jessy menurut. Ia duduk di sofa empuk yang ada di sana.
"Ibu hanya ingin bertanya sesuatu sama kamu, Jessy. Sebenarnya bukan hal penting juga. Tapi, rasanya tetap harus ditanyakan dari pada mengganggu pikiran," kata Bu Magda.
"Tentang apa, Bu?" Jessy masih belum bisa menebak apa yang hendak Ibu Magda sampaikan.
"Kamu tidak sedang pacaran dengan Justin, kan?"
Jessy seketika terdiam mendengar pertanyaan yang baru saja Bu Magda sampaikan. Entah dari mana berita itu sampai tersebar. Ia sangat hati-hati menjaga jarak dengan Justin di tempat umum. Seharusnya tidak ada yang tahu hubungan mereka selain Fika.
"Ibu kok sempat mendengar kabar seperti itu, katanya ada yang pernah lihat kamu jalan bareng Justin di mall."
"Tapi, kalau jalan bareng belum tentu pacaran kan? Kalian tidak pacaran kan, Jessy?"
Dari pertanyaan Bu Magda, Jessy sudah bisa menangkap bahwa beliau memang tidak mau tahu kalau ia berhubungan dengan Justin.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 66 Episodes
Comments
☠⏤͟͟͞R⚜🍾⃝ ὶʀαͩyᷞαͧyᷠυᷧͣ🏘⃝Aⁿᵘ
ini sama saja dengan menolak secara halus 🥺
2023-02-04
4
Tri Widayanti
Semangat Jes✊
2022-12-29
2