Vivian duduk termenung didepan meja belajarnya. Memutar-mutar bulpen yang ada ditangannya dengan buku pelajaran matematika yang terbuka. Vivian tidak fokus untuk belajar karena fikirannya menerawang jauh dan mereplay apa yang sudah terjadi hari ini.
Bagaimana bisa hal memalukan seperti itu terjadi dalam hidupnya. Vivian mengacak-ngacak rambutnya sendiri karena dia tidak dapat berfikir jernih. Dia belum menemukan solusi mengenai insiden yang tak terduga malam itu.
Bagaimana ini.? Apa aku harus jelasin semuanya pada Jalal. Bahwa sebenarnya surat itu bukan buat dia tapi surat itu buat Nurdin.
"Aarrgghh". Vivian mengeram kesal dengan rambut yang masih berantakan. Meletakkan pulpen dan menutup buku pelajarannya. Tapi Vivian belum beranjak dari tempat duduknya.
Tapi aku malu banget. Apa aku nyuruh Mala sama Juwita aja ya buat ngomong sama dia. Enggak boleh Vivian.!! Nanti tambah runyam urusannya. Ini juga kan salah kamu. Jangan melibatkan dua temanmu lagi.
Vivian bingung dengan pemikirannya sendiri. Akhirnya dia menyudahi belajarnya dan memutuskan untuk tidur. Meski matanya terpejam namun tidak dengan hati dan fikirannya yang menerawang mencari solusi akan masalah yang telah dia hadapi sekarang.
Mata itu masih terpejam dengan rapat. Vivian belum terlelap sama sekali namun dia memaksakan untuk segera tidur karena besok pagi dia harus pergi ke sekolah. Vivian berguling kesana kemari miring kekanan lalu miring kekiri begitu seterusnya. Beberapa menit kemudian perlahan tapi pasti Vivian pun mulai terlelap dalam mimpinya.
Pagi itu seperti biasa Vivian bangun setelah neneknya berteriak-teriak didepan pintu kamarnya. Meski nenek Vivian sedikit galak tapi dia sangat menyayangi Vivian. Mungkin karena Vivian adalah cucu perempuan satu-satunya.
Vivian melangkahkan kaki dengan lemas menuju dapur dan dia duduk dikursi meja makan. Merebahkan kepalanya diatas meja dengan mata yang masih terpejam. Disana sudah ada kakek Vivian yang sedang menyeruput kopi hitam manis.
Dan inilah salah satu kebiasaan buruk Vivian setiap pagi. Vivian tidak akan pergi mandi sebelum minum kopi kakeknya meski itu hanya sedikit. Kakek Vivian sudah hafal betul dengan kebiasaan cucunya. Dia menuangkan sedikit kopi hitam itu kedalam piring kecil yang sudah disediakan oleh nenek Vivian.
Vivian meneguk kopi hitam yang masih hangat itu. Menghabiskannya hingga tetes terakhir. Terdapat seuntai senyum dibibirnya.
Vivian beranjak dari duduknya meraih handuk digantungan baju. Berjalan dengan malas menuju sungai yang berada tepat di belakang rumah neneknya.
Setelah selesai mandi Vivian segera masuk kerumah dan ganti baju seragam kesayangannya. Bagaimana tidak seragam itu telah menemaninya hampir 3 tahun. Meski warnanya sudah sedikit usang karena termakan waktu dan juga Vivian tak pernah mengganti seragamnya semenjak dia baru masuk ke SMP tersebut.
Didapur nenek Vivian telah menyiapkan sarapan untuk cucu perempuannya itu. Nasi putih dengan sayur kelor dan tempe goreng tak lupa juga dengan sedikit sambal terasi. Menambah kenikmatan tersendiri pagi ini. Vivian dengan lahap menghabiskan sarapannya.
"Don. Vivian berangkat dulu ya". Vivian mencium punggung tangan neneknya yang sedang sibuk melayani orang yang sedang belanja ditokonya.
"Iya nduk. Hati-hati dijalan". Jawab nenek Vivian tanpa menoleh padanya.
Vivian keluar rumah dan mendapati kakeknya sedang sibuk dengan sarang lebah yang ada di pohon jambu disamping rumah. Meski kakek Vivian sudah tak dapat melihat dengan jelas karena penyakit katarak yang dideritanya beberapa bulan lalu namun tak dapat menutupi keahliannya tentang memanen sarang lebah madu.
"Nang. Vivian berangkat sekolah dulu". Sapa Vivian pada sang kakek yang sedang asyik memanjat pohon dengan sebatang rokok dimulutnya.
"Iyo byeng Hati-hati. Jangan salim.!! Langsung jalan sana". Perintah kakek sedikit bergumam karena rokok yang menempel dibibirnya dan juga karena para lebah sudah mulai rusuh.
Cara Vivian memanggil kakek neneknya juga terbilang unik. Don sebenarnya dari kata Adon yang berarti nenek. Sedangkan Nang berasal dari kata Anang yang berarti kakek. Dan Byeng adalah sebutan untuk anak perempuan yang berasal dari kata Jebeng tapi pelafalannya menjadi Jebyeng. Sebenarnya ini bukan unik atau semacamnya. Panggilan seperti itu sudah biasa terdengar dikampung halaman tempat tinggal Vivian sekarang. Dan hal itulah yang menjadi ciri khas tersendiri dari daerahnya.
Setelah selesai berpamitan pada kakek dan neneknya Vivian segera berangkat ke sekolah dengan mengayuh sepeda mini bututnya. Meski butut tapi inilah sepeda terbaik yang pernah dia miliki selama ini. Ayah Vivian telah berangkat kerja pagi sekali. Maklum saja ayah Vivian adalah petani teladan jadi sehabis sholat shubuh dia langsung menengok tanamannya di sawah.
Jarak dari rumah Vivian ke sekolah sejauh 7 km. Sedangkan jarak dari rumah ke jalan raya hanya 1,5 km. Dan itulah jarak yang ditempuh oleh Vivian menggunakan sepeda mini sejauh 1,5 km karena setelah itu Vivian harus naik bus atau angkot menuju sekolahnya. Sepeda mininya dititipkan ke tempat penitipan sepeda dan hanya membayar Rp. 500,- perak per harinya. Biasanya Vivian langsung membayar selama 6 hari jadi totalnya hanya Rp. 3000,- rupiah.
Setelah menitipkan sepedah Vivian berjalan ke bawah pohon beringin yang letaknya dipinggir jalan raya. Vivian duduk sendiri dibawah pohon itu. Dia menghela nafas kasar melalui hidungnya. Kedua sahabatnya baru sampai dan segera duduk disamping Vivian.
"Kamu kenapa Vi lemes banget". Sapa Mala membuka pembicaraan pagi itu.
"Aku nggak apa-apa kok". Jawab Vivian dan menghela nafas lagi dari hidungnya. Menendang pelan bebatuan kecil yang berada dekat dengan kakinya.
"Belum sarapan".? Tanya Juwita dengan nada mulai khawatir dengan sikap yang tidak biasa ditunjukkan oleh sahabatnya itu.
Vivian hanya menggelengkan kepala dengan malas dan masih menundukkan kepala menatap batu-batu kecil.
"Apa gara-gara semalam"? Tanya Mala dengan sorot mata antusias.
Vivian hanya mengangguk malas dan sekarang memandang lurus kedepan dengan tatapan kosong.
"Udah jangan terlalu difikirin! Nanti kita cari solusinya sama-sama. Oke!" Lanjut Juwita sambil merangkul bahu Vivian dengan suntai senyum dibibirnya.
"Iya Vi. Aku juga bakal bantuin kamu kok. Tenang aja.!!" Sahut Mala yang juga merangkul bahu Vivian dan tersenyum.
Vivian memandang bergantian kedua sahabatnya itu dan mulai tersenyum.
"Makasih banyak ya". Ucap Vivian dan balas merangkul kedua sahabat terbaiknya itu.
Terima kasih ya Alloh.. Engkau telah memberikan aku dua sahabat yang sangat baik..
Tanpa mereka sadari bus yang ditunggu oleh Vivian telah berhenti didepannya. Vivian segera naik dan melambaikan tangan pada kedua sahabatnya. Tak lama kemudian angkot yang telah ditunggu oleh Juwita dan Mala juga datang. Mereka pun naik dan segera menuju ke sekolah. Karena sekolah Vivian beda jalur makanya mereka tidak pernah naik dalam satu kendaraan.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 83 Episodes
Comments
Choirul Azzami
jalang galau2 ah. .
nanti cantiknya hilang ..
😄
2021-11-05
1
chelina azzahra
semangat Thor..
2021-07-10
3
Danang Hernanda
lanjut
2021-01-21
3