"Kita mau kemana?" tanya Puspa pelan. Saat keduanya sudah berada di dalam mobil sport termahal yang pernah ada di kotanya.
"Cari perhiasan untuk mahar. Setelah itu, kita makan malam di rumah. Mama mau ketemu kamu," ucap Rangga pelan.
"Mama tahu soal kita kan?" tanya Puspa pelan.
"Entah. Sepertinya lupa. Itu kan masa lalu, sudah tiga tahun berlalu," ucap Rangg santai.
"Iya benar," jawab Puspa pelan.
Puspa lebih banyak diam. Begitu juga denga Rangga.
"Sudah kaya dong, kerja seperti ini?" tanya Rangga sengit.
Puspa menoleh ke arah Rangga. Ia bingung dengan lelaki di sebelahnya ini, kadang seperti emosi mengajak Puspa berdebat, tapi kadang terlihat lembut seperti rasa sayang itu masih ada.
"Kamu bicara apa? Ada orang kerja jadi kaya?" tanya Puspa pelan dan sedikit ketus.
"Ya, aku gak tahu. Kan cuma kamu yang tahu. Kamu hidup sendiri, kayak gak punya kebutuhan, lalu sekali kontrak dapat segitu, belum lagi uang bulanan, atau yang lainnya," ucap Rangga mulai tersulut emosi. Ia masih teringat betapa sakitnya saat Puspa meninggalkannya.
Puspa menarik nap sdalam. Ia tahu arah pembicaraan Rangga.
"Kamu masih mau mengungkit masa lalu kita?" tanya Puspa langsung menuduh.
"Iya. Sakit rasanya," ucap Rangga ketus.
"Aku minta maaf, Rangga," ucap Puspa pelan.
"Entahlah. Rasanya sulit sekali memaafkan kamu, Puspa. Jika melihat kamu, jujur aku masih marah dan benci," ucap Rangga dengan jujur.
Itulah Rangga, dia bukan tipe lelaki yang pandai menyembunyikan perasaannya. Kalau ia suka akan bilang suka. Tapi, Kalau ia benci maka ia akan bilang benci.
Mobil sport merah itu sudah masuk ke dalam parkiran pusat perbelanjaan untuk membeli perhiasan sebagi mahar dan hadiah ulang tahun Mama Rangga.
"Ayo turun," ucap Rangga pelan.
Puspa pun turun dan menunggu Rangga keluar dari mobilnya dan mengunci pintu mobilnya.
Keduanya pun berjalan masuk ke dalam pusat perbelanjaan terbesar di kota itu. Rangga dan Puspa berjalan beriringan. Puspa mengikuti langkah Rangga yang kemudia masuk ke salah satu outlet yang menjual perhiasan emas.
"Kira -kira kamu suka yang mana?" tanya Rangga pelan. Ia bingung sekali, terlalu banyak model.
"Perhiasan apa?" tanya Puspa pelan melihat -lihat model baru yang ada di dalam etalase besar itu.
"Kalung untuk Mama," jawab Rangga pelan.
Puspa hanya mengangguk pelan. Ia mulai mencari ke bagian kalung dan melihat satu per satu kalung itu.
"Itu bagus Rangga. Bentuknya prisma dan sedikit menonjol berwarna biru tua dengan berlian di sampingnya," ucap Puspa pelan sambil menunjuk ke arah kalung itu yang berkilau sangat cantik.
Rangga menoleh ke arah Puspa. Ada yang berbeda dengan Puspa yang sekarang ia kenal. Puspa yang dulu lebih terlihat sederhana dan apa adanya. Tapi, kini, Puspa pintar memilih, pintar bersolek, dan pintar memadu madankan semuanya hingga terlihat sangat sempurna.
"Kok bengong sih? Ini di lihat, Rangga,' ucap Puspa pelan sambil mencubit lengan Rangga.
"Iya sudah lihat. Selera kamu cukup bagus juga sekarang," ucap Rangga pelan.
Rangga langsung memesan kalung itu dan langsung minta di bungkus karena untuk kado ulang tahun Mamanya.
"Kamu mau yang mana?" tanya Rangga pelan.
"Gak. Aku gak mau," ucap Puspa pelan.
"Bener? Lumayan lho kalau di jual lagi," ucap Rangga sedikit nyinyir.
Puspa menatap Rangga tajam.
"Belum puas membahas masa lalu? KAmu gak akan pernah tahu, rasanya jadi aku, Rangga. Kamu hanya tahu, posisiku salah saat itu. Kamu hanya tahu, aku ninggalin kamu demi lelaki lain. Aku kecewa sama kamu, Rangga," ucap Puspa kesal.
Rasanya air mata itu sudah ingin jatuh sejak tadi. Ucapan Rangga begitu terasa menyakitkan. Puspa hanya ingin profesional dan tidak membahas masa lalu.
Puspa keluar dari outlet itu dan berjalan keluar mencari tempat yang lebih tenang. Melihat toilet, Puspa pun masuk dan berdiri di depan wastafel. Ia mencuci wajahnya dengan air keran.
Puspa bekerja seperti ini demi Bening, adiknya yang gagal ginjal. Seminggu dua kali harus masuk ruang hemodialisa, melihat adiknya selalu kesakitan, tapi hanya itu, satu -satunya cara Bening bertahan hidup.
Seluruh make upnya luntur termasuk bulu mata palsu yang ia pasang untuk memperindah matanya. Percuma ia berdandan cantik agar terlihat profesional sesuai dengan tupoksinya, jika Rangga maah menuduhnya yang tidak -tidak dan mengaitkan rasa kecewanya dulu.
Puspa menghapus sisa air di wajahnya dengan tisu kering. Tak lama, ada perempuan lain yang melakukan hal sama seperti ia tepat di sebelahnya.
"Mau tisu Mbak?" tanya Puspa lembut.
Tanpa menjawab, perempuan itu menarik tisu yang ada di tangan Puspa dan mengusap lembut wajahnya yang sembab.
"Habis putus, Mbak?" tanya Puspa santai sambil mencuci tangannya kembali untuk mendinginkan otaknya yang masih terasa panas.
Gadis itu mengangguk pelan tanpa menjawab.
"Semua laki -laki itu egois. Dia gak akan pernah tahu, apa yang di rasakan oleh wanitanya," ucap Puspa yang juga sedang nampak kesal.
Perempuan itu melirik ke arah Puspa dan menatap lekat.
"Kamu juga habis putus?" tanya perempuan itu pelan.
"Gak. Masih jomblo Mbak," ucap Puspa pelan.
Peempuan itu memaksakan senyumnya karena tidak percaya.
"Perempuan secantik Mbak? Masih jomblo? Boleh saya tertawa sedikit?" tanya perempuan itu tersenyum.
"Nah kan senyum. Lupain cowok -cowok yang bikin sakit hati. sayang boleh, cinta juga boleh, tapi harus realitis dong, bukan matrealistis," ucap Puspa pelan.
"Hemm ... Aku mencintai seorang cowok yang usianya memang lebih tua dari aku, dia ganteng dan mapan. Kita pacaran sudah setahun, tiba -tiba di aputusin aku, karena ia menyukai perempuan lain," ucap perempuan itu pelan.
"Terus? Kenal sama perempuannya?" tanya Puspa pelan.
"Gak. Kalau aku tahu siapa perempuan itu, mau aku botakin karena sudah berani menggoda pacarku," ucap perepuan yang masil labil itu.
"Jangan ambil keputusan sepihak. Cari tahu dulu, apakah benar wanita itu penggoda, atau memang cowok kamu yang gak bener," ucap Puspa realistis.
"Tapi ... dia lelaki baik dan sopan," ucap perempuan itu membela mantan kekasihnya.
"Ya. itu hak kamu," ucap Puspa pelan.
Keduanya hanya tersenyum bersama. Sudut pandang perempuan itu berbeda -beda. Ada yang marah, ada yang posesif dan meyalahkan pihak ketiga. Ad yang santuy dan diam lalu pergi.
"Aku duluan ya? Temenku sudah nunggu di sana," ucap Puspa pelan.
Puspa pun keluar dari toilet. Di sana sudah ada Rangga yang menunggu di ujung dinding sambil bersandar. Kedua matanya langsung menatap tajam ke arah Puspa.
"Kemana saja sih!! Pakai kabur segala," ucap Rangga makin ketus.
"Inget. Aku bayar kamu itu mahal. Jadi jangan buat rencanaku gagal cum gara -gara kamu terlalu baper,"ucap Rangga menambahkan.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 56 Episodes
Comments