...✏️✏️✏️...
Paparan sinar matahari pagi ini begitu menyengat kulitku yang tak terhalang dan terlindungi dengan apa-apa. Ku pegang erat-erat baju Bapakku yang sedang mengayuh sepeda tua. Melintasi jalan raya yang dilalui kendaraan dari berbagai jenis.
Pagi ini aku akan pergi bersama dengan Bapakku untuk menanganinya membeli alat mancing yang akan ia gunakan untuk memancing. Katanya semakin baik alat mancing maka besar pula peluang untuk mendapatkan ikan yang lebih banyak.
Bapakku menghentikan sepedanya membuat aku mendongak menatap heran pada Bapakku.
"Kenapa berhenti, pak?"
"Lampu merah."
Aku mendongak menatap ke arah lampu peringatan lalu lintas yang memiliki tiga warna itu. Suara kendaraan terdengar di belakang membuatku menoleh menatap kendaraan yang ikut berhenti.
Mobil hitam itu berhenti tepat di sampingku dan tak berselang lama anak-anak yang juga sama seperti usiaku muncul dari balik jendela mobil yang terbuka secara perlahan.
Dua anak-anak dengan pakaian sekolah itu terlihat tertawa sambil menunjuk ke arahku. Menertawakan diriku, aku merasa risih saat mendapatkan tertawaan dari mereka.
Aku menoleh, membuang pandang berusaha untuk mengabaikan mereka. Bapakku juga terlihat risih membuat aku sadar jika hanya kami yang menggunakan sepeda sedangkan yang lainnya terlihat menggunakan kendaraan yang begitu keren. Aku mengetahuinya setelah aku menoleh ke belakang.
Aku bertekad jika aku besar maka aku juga akan membeli mobil seperti apa yang anak-anak orang kaya itu miliki. Memangnya hanya mereka yang bisa, aku juga bisa hanya saja saat ini aku tidak punya uang.
Lampu merah itu kini berganti menjadi lampu hijau membuat Bapakku kembali mengayuh sepedanya. Suara klakson terdengar nyaring memberikan peringatan agar Bapakku menyingkir dari jalan. Aku menutup kedua telingaku dengan tangan, menatap tak suka pada pemilik kendaraan yang membunyikan klakson.
Rasanya kami seperti sebuah hewan yang diberikan peringatan agar menyingkir dari jalan.
Bapakku menurut, ia menepikan ban sepedanya membuat tubuhku bergetar saat ban sepeda itu melintasi pinggiran jalan yang tidak rata.
Aku tidak menghiraukan tubuhku yang bergetar karena jalan yang tak rata namun, yang membuat aku sedikit ngilu adalah bagian p@ntatku yang terhempas-hampas ke boncengan yang terbuat dari besi.
Tidak perlu menghiraukannya setiap hari aku selalu merasakan ini. Aku selalu bingung mengapa di setiap tepi jalan raya aspal tidak sampai ke sana.
Andai saja aspal yang mulus itu juga menyentuh area yang aku lalui ini atau mungkin pemerintah boleh membuatkan kami jalan untuk para pengguna yang bersepeda agar kami yang hanya memiliki sepeda bisa dengan nyaman berpergian. Tapi apa itu hanya sebuah mimpi karena mereka, orang-orang besar tidak mungkin memikirkan orang-orang kecil seperti kami.
"Orang-orang kaya memang seperti itu. Mereka menyingkirkan orang miskin seperti kita."
"Seperti halnya anak-anak orang kaya itu yang menertawakan kita sedangkan orang tuanya tidak menegurnya."
"Katanya berpendidikan tapi sifatnya seperti itu."
Bapakku berbicara sendiri sambil menggayung sepedanya dan laju sepeda itu berhenti tepat di depan toko alat-alat mancing.
Aku melangkah turun menanti Bapakku yang sedang memarkir sepedanya, menyadarkan sepeda tua itu ke tiang. Kedua mataku menatap kagum pada alat-alat mancing yang terpanjang di sana. Ada banyak pembeli di dalam sana.
"Kau mau masuk?"
"Mau," jawabku lalu mengikuti langkahnya yang melangkah masuk ke dalam toko.
Aku menyingkir ke lemari pajang saat para pembeli melintasi tubuhku, membiarkan pria-pria bertubuh gemuk itu lewat.
"Ada kail?"
Aku mendengar Bapakku bertanya pada pria Cina yang merupakan pemilik toko ini. Bukan sekali aku datang ke tempat ini tapi sudah sering aku datang ke toko ini.
Aku juga tidak tahu apakah pria yang sedang menyebutkan harga itu adalah orang cina tapi dari penampilannya dia memang seperti orang cina. Mata sipit, kulit putih, tubuh gemuk dengan kaos sederhana yang terpasang pada tubuhnya. Ditambah lagi patung kucing yang bergerak-gerak seakan menyambut kedatangan para pembeli.
Setelah lama berbicara tentang harga dan kualitas barang, aku melihat Bapakku mengeluarkan uang recehan dari kantong kresek hitam. Bapakku memang tidak punya dompet dan kantong kresek hitam inilah yang ia gunakan untuk menyimpan uang.
Kata Bapakku lebih baik uang yang ingin digunakan untuk membeli dompet digunakan untuk membeli kebutuhan yang lain.
Bapakku tidak punya banyak uang untuk menampung uang itu ke dalam dompet. Jika bapak punya uang maka uang itu akan habis di hari itu juga entah karena membeli beras telur atau yang lain sebagainya.
Setelah membayar kail yang dibeli oleh bapakku, ia melangkah keluar meninggalkanku yang kini sedang menatap satu persatu alat pemancing.
Aku menggerakkan jari tanganku, mataku seakan bersinar berbinar menatap benda indah itu. Aku melihat harganya tampilan kertas kecil yang merekat pada ganggang pemancing itu, cukup mahal aku bisa melihat ada banyak bundaran-bundaran nol di belakangnya. Kata bapakku harganya itu cukup mahal.
"Hei!" teriak pria Cina itu membuat Ari menoleh diawali dengan sentakan tubuhnya yang terkejut.
"Jangan sentuh barang itu! Nanti barang itu rusak, apa kau mau menggantinya?"
"Ari!" panggil Bapakku membuat aku menoleh.
"Apa kau akan tinggal di situ? Bapak ingin pulang cepat."
Aku menggangguk menatap sejenak ke arah pria cina itu yang sedang menekan kalkulator setelah menegurnya.
Uang! ada begitu banyak uang kertas yang sedang ia hitung. Aku berharap bisa seperti itu, punya banyak uang dan menjual banyak barang.
Bukan dia yang mencari uang tapi uang yang datang sendiri kepadanya. Tidak seperti bapakku yang harus berkeringat susah payah untuk mendapatkan uang.
Aku melangkahkan kaki keluar dari toko itu toko yang seringkali aku datangi bahkan aku sudah hafal di mana letak barang-barangnya.
Langkahku terhenti menanti Bapakku yang sedang memutar sepedanya, mengarahkannya ke arah jalan raya. Tatapanku terhenti menatap gerombolan anak-anak sekolah yang nampak baru saja pulang dari sekolah.
Aku tahu mereka walau mereka tak mengenal aku tapi aku sering melihatnya. Mereka adalah anak-anak sekolah dasar merdeka putra dan putri Indonesia.
Cukup besar sekolah itu, mereka nampak terlihat senang berlarian pulang ke rumah sambil menggendong tas yang berbeda-beda bentuk dan warnanya.
Ban sepeda yang sudah tua dihiasi tambalan menggambarkan jauhnya perjalanan kamu selama ini. Sesekali kiri kanan aku menatap anak-anak yang jauh lebih tua dariku sedang melintas di pinggir jalan.
Ada yang sedang menggunakan sepeda dan saling berboncengan dengan teman-temannya menggunakan pakaian merah putih ciri khas anak sekolah Indonesia, memakai topi, menggandeng tas yang begitu indah. Aku bahkan tak tahu siapa nama karakter pada tas itu.
...📗📗📗...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 32 Episodes
Comments