Tanggungan

Singkatnya, aku membenci ketika diri ini berterus terang, tentang sebuah rindu kepada kenangan. Sangat terpaksa menahan, walau akhirnya kalah dan kembali menyapa dengan penuh keharuan. Tak apa diabaikan, asal rindunya agak reda walau sudah berbeda.

Isabella Puspita

🦋🦋

Bella baru tiba di kontrakannya pukul tujuh malam hari. Ia langsung bergegas membersihkan diri. Beberapa menit setelah selesai membersihkan diri, ia ingin keluar mencari makan malam. Namun, ia mengurungkan niatnya tatkala mendengar ponselnya berdering. Ada panggilan telpon dari adiknya yang berada di kampung. Ia langsung menjawab panggilan itu.

[“Ya Dit. Ada apa?”] tanya Bella. Sedikit takut jika yang akan di dengar kabar buruk.

[“Kak Bella gimana kabarnya? Sehat kan.”]

Bella tersenyum, senang mendengar adiknya yang kini tengah berada menempuh pendidikan S1 dalam bidang otomotif itu bertanya tentang kabarnya.

[“Tentu saja kakak sehat. Kamu gimana sama Ayah?”]

[“Baik kak. Ayah juga sehat.”]

Bella menghela nafas lega. Namun, ia tahu ada tujuan lain kenapa adiknya itu menelpon dirinya. Terdengar helaan nafas Adit dari balik telpon. Tampaknya ia tengah menimang ucapan selanjutnya.

[“Ada yang ingin kamu katakan sama Kakak, Dit?”] tanya Bella.

[“Kak, aku sudah waktunya bayar uang semester ini. Dan Airin juga waktunya bayar SPP juga yang ujian, sebentar lagi kan dia juga mau ujian. Kira-kira kakak ada uang belum? Aku ada sih tabungan sedikit. Kakak nanti tambahin ya,”] Adit bertanya dengan hati-hati. Bella tahu ada rasa tak enak dalam diri adiknya, mengingat betapa sering ia meminta uang untuk uang pendidikannya. Sebenarnya anak itu sudah sering mengatakan, jika ia bisa kuliah sambil bekerja, toh dia laki-laki. Namun, Bella terang-terangan menolak. Akan lebih baik Adit di rumah saja sambil membantu ayahnya jualan mie ayam.

[“Jatuh temponya kapan?”]

[“Tiga hari lagi, Kak.”]

[“Ya udah kakak usahakan ya. Nanti kalau udah ada langsung kakak transfer.”]

Setelahnya, Adit pun berpamitan untuk menutup ponselnya. Bella terduduk lemah di pinggir ranjang, sambil menggigit bibirnya. Memikirkan uang ia menjadi sangat pusing.

Ini adalah akhir bulan, sedangkan gajian masih sekitar lima hari. Itupun rasanya tidak akan cukup untuk kirim ke adiknya. Apalagi ia juga kena potongan gaji, gara-gara Pak Arfa yang memaksa menerima sepatu untuknya.

Bella benar-benar pusing, pada siapa dia harus meminjam uang sekarang. Haruskah ia meminjam pada kantor? Apa Arfa. Bella mengenyahkan pikirannya, ia tidak ingin terlibat hutang dengan lelaki itu. Cukup masalah sepatu itu.

Inilah alasannya mengapa ia masih bertahan bekerja di kantor. Meskipun harus banyak makan hati, menghadapi sikap Arfa. Tidak masalah asal ia masih bisa memenuhi kebutuhan keluarga. Terutama biaya untuk sekolah adiknya.

Tok! Tok! Tok!

“Bella, ayo keluar makan. Ini aku bawa makanan ni,” teriak Jenny dari luar.

Bella langsung keluar menghampiri Jenny. Keduanya makan bersama.

“Kamu kenapa, Bell? Kusut begitu?” tanya Jenny di sela-sela makannya.

“Pusing! Mikirin uang,” keluh Bella. Lalu menceritakan berapa banyak uang yang ia butuhkan saat ini, mana tanggalnya sudah mepet.

“Aku gak ada, Bell. Tahu sendiri ini akhir bulan. Kantong seret,” sesal Jenny.

“Tidak masalah, Jen.”

“Tapi aku ada kalung peninggalan orang tuaku. Gimana kalau kamu jual saja, Bell. Aku kira uangnya nanti cukup.”

Bella menggeleng dengan cepat. Bagaimana mungkin ia menjual kalung sahabatnya itu. “Tidak. Aku akan usaha sendiri nanti minjam ke yang lain. Aku gak mau sampai jual kalung milikmu. Aku tahu kalung itu sangat berharga untukmu,” tolaknya.

“Tidak seperti itu, Bell. Kamu jauh lebih berharga dari kalung yang ku punya,” ujar Jenny. Namun, Bella tetap kekeh menolak.

🦋🦋🦋

Keesokan harinya, Bella merasakan kepalanya pusing. Karena semalam ia kurang tidur, akibat memikirkan uang yang ia butuhkan. Bahkan ia lebih memilih naik angkutan umum pagi itu, karena sisa uang miliknya semakin menipis.

Bella turun tepat di depan pintu gerbang kantor, yang terbuka lebar. Ia melangkah ke dalam dengan pelan.

Tin! Tin!

Ia berjingkrak kaget, saat sebuah mobil mewah mengklakson dirinya. Hampir saja ia memaki, karena jantungnya berdetak kencang, akibat rasa kaget. Namun, beruntunglah kesadarannya masih normal. Saat menyadari mobil yang lewat merupakan mobil Arfa.

Menyadari atasan sudah tiba Bella segera berlari cepat masuk ke dalam. Lagi-lagi ia harus menghela nafas kesal, saat tiba di depan pintu lift ternyata sudah penuh. Akhirnya, ia tertinggal memilih lift berikutnya.

Bella memilih bersandar di tembok sisi pintu lift, sesekali memijat keningnya. Mencoba berfikir kemana ia bisa mendapatkan uang itu.

Bersamaan dengan itu Arfa dan Yudi melangkah mendekat. Sempat terjadi adu pandangan. Namun, Bella lebih memilih membuang mukanya. Rasanya ia sedang tidak mood menyapa lelaki itu. Akan lebih baik ia berpura-pura tak melihat Arfa.

Dan dalam diam, Arfa masih melirik ke arah Bella. Rambut perempuan itu tampak berantakan. Karena ia tahu pagi itu Bella naik angkutan umum. Namun, ia tidak ada niat untuk menyapa.

“Pagi Bella,” sapa Yudi membuat Bella akhirnya mau tidak mau menoleh.

“Pagi juga Pak Yudi,” sahutnya ramah.

“Wajahmu terlihat pucat. Apa kamu sedang tidak enak badan, Bell?” Yudi kembali bertanya. Bahkan spontan Arfa menoleh menatap wajah perempuan itu.

Bella menggeleng dengan canggung. “Tidak Pak!”

“Oh pasti karena belum sarapan,” tebaknya. Bella mengangguk tersenyum tipis. “Bagaimana kalau setelah ini kita sarapan bersama?” tawarnya.

Ehem!

Arfa sengaja berdehem lebih keras. Hal itu membuat Bella menoleh ke arahnya, seketika ia pun tersenyum masam, lalu menggeleng. “Tidak Pak Yudi. Terima kasih,” tolaknya.

“Yah saya kecewa ditolak,” keluhnya pura-pura sedih.

Bunyi Ting pintu terbuka terdengar. “Kamu itu jangan banyak bicara, Yud. Masuk ke dalam!” titah Arfa.

Bella tersenyum pada Yudi dengan canggung. Arfa lebih dulu masuk ke dalam lift.

“Bella sedang nunggu lift kan. Bagaimana kalau bareng kami saja,” tawar Yudi.

“Tidak perlu, Pak. Saya menunggu ini saja.”

“Lift itu masih di lantai 21, dan pasti akan lama sampai bawah.”

Bella menatap angka lift, ia menghela nafasnya gelisah. Mau mengiyakan tawaran Yudi ia pun tidak enak, mengingat bagaimana sifat Arfa kemarin padanya. Bella merasa sakit hati.

“Tidak Pak, saya–”

“Kalian berdua cepat masuk, atau mau saya tinggal!” sergah Arfa.

Bella masih bergeming di tempat. Namun, Yudi dengan cepat menarik tangan Bella masuk ke dalam. Karena menariknya secara asal, membuat Bella menabrak Arfa, hingga keningnya membentur dada lelaki itu. Secara spontan Arfa menahan pinggang Bella yang hampir terjatuh. Hingga ia dapat merasakan tubuh Bella sedikit panas. Seketika ia sadar jika gadis itu sedang tidak enak badan.

“Kalau sakit kenapa masih masuk kerja?” tanya Arfa tiba-tiba. Membuat Bella sadar dengan posisinya, ia dengan cepat menjauhkan dirinya.

“Saya tidak apa-apa, Pak!”

Terpopuler

Comments

Kak Yuniah

Kak Yuniah

kan adeknya udah kuliah ya nyari kerjaan dong biar ngk jdi beban partime gitu

2024-04-04

0

JR Rhna

JR Rhna

balik² juga ditarik dan menabrak thor

2023-06-17

1

мєσωzα

мєσωzα

masih penasaran dengan alasan arfa bisa berubah gitu

2023-03-08

0

lihat semua
Episodes
Episodes

Updated 73 Episodes

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!