Rasa Sakit

“Maaf Pak, soalnya tadi perut saya mules. Dan saya perlu buru-buru ke kamar mandi. Jadinya, saya minta tolong Mbak Bella yang sedang membuat kopi di sana.” Budi memilih untuk tak mengatakan kejadian sebenarnya.

“Karena hari ini baru pertama saya masuk ke kantor ini. Jadi, kamu saya maafkan. Namun, tidak akan ada untuk lain kali. Saya paling tidak suka ada orang yang tidak menuruti perintah saya, apalagi sampai tidak bertanggung jawab.”

“Baik Pak. Sekali lagi saya minta maaf. Saya janji tidak akan mengulangi lagi,” ujar Budi.

Bella masih terdiam mematung meratapi kejadian yang terjadi, masih tak percaya jika Arfa kini sudah berubah.

“Tolong buatin saya kopi yang baru,” perintah Arfa kemudian seraya mendorong pelan kopi buatan Bella.

“Emm baik Pak.”

“Bawa kopi ini. Kamu bisa membuang atau meminumnya.”

Bella memalingkan wajahnya seraya memejamkan kedua matanya, menikmati setiap goresan perih yang ia rasa atas perkataan Arfa. Yang ia duga jika lelaki itu sangat menjaga jarak dan membencinya, entah untuk alasan apa.

“Baik Pak!” Budi membawa secangkir kopi buatan Bella, sebelum kemudian pamit undur diri.

Arfa kembali menoleh ke arah Bella, yang masih terdiam dengan wajah muram.

“Ehem!” deheman lelaki itu menyadarkan lamunan Bella.

“Kalau begitu saya permisi Pak,” pamit Bella tanpa menoleh ke arah Arfa, perempuan itu membungkuk hormat.

“Tunggu!" cegah Arfa.

Bella menghentikan langkahnya, berpikir apakah Arfa berubah pikiran. Ia memutar tubuhnya menoleh kearah lelaki itu. “Ya Pak!”

“Saya paling tidak suka ada orang yang mencampur adukan urusan pribadi dengan kerjaan. Saya harap kamu bisa bersikap profesional!” tukasnya.

“Baik. Apa ada lagi yang ingin disampaikan?”

Arfa menggeleng, mengerakkan jarinya seolah mengusir Bella.

“Kalau begitu saya permisi.” Bella pamit keluar dari ruangannya. Perempuan itu melangkah ke pantry, berniat mengambil kopi buatannya demi menyamarkan kata-kata pahit yang baru terucap dari bibir Arfa. Namun, sampai di sana kopinya sudah tidak ada. Ternyata sudah diminum oleh salah satu pegawai OB di sana. Pegawai itu sempat meminta maaf dan menawarkan kopi baru untuknya. Namun, Bella menolak rasanya keinginan untuk meminum kopi itu lenyap. Karena sebuah kopi membuat ia teringat kejadian pahit tadi.

“Kopi buatan Mbak Bella ini pahit lho,” celetuk salah satu pegawai di sana. “Aku harus tambahin gula lagi biar lebih manis,” sambungnya.

Bella hanya tersenyum tipis, menurutnya kopi buatannya tak seberapa pahitnya. Dibandingkan kata-kata yang terucap dari bibir Arfa tadi. Bella masih tak percaya, rasanya hatinya begitu sakit dan matanya ingin menangis, mengingat hal itu.

“Wajahmu manis seperti gula. Namun, kata-kata mu pahit seperti kopi,” gumam Bella. Mungkin kata-kata itu sangat cocok menggambarkan watak Arfa kini. Perempuan itu menyandarkan punggungnya pada tembok, menekan gejolak rasa sakit yang ia rasa, hingga kembali mengingat kisah silam perpisahannya dengan Arfa.

Tujuh tahun yang lalu

Di sebuah salah satu sekolah menengah atas, kota Jogjakarta. Tampak raut wajah anak-anak berbinar bahagia, saat kelulusan tengah mereka rasakan. Begitupun dengan Bella dan Arfa yang saat itu menempuh pendidikan di sekolah yang sama. Keduanya di nyatakan lulus dengan predikat nilai yang terbaik.

“Akhirnya lulus juga kita. Gak sia-sia Bell, selama ini kita belajar dengan giat. Kita bahkan berhasil lulus dengan predikat nilai terbaik," ujar Arfa bahagia bahkan ia merentangkan kedua tangannya demi menghirup udara segar, saat ini keduanya tengah berada di taman belakang sekolah. Keadaan taman itu terlihat sepi, karena kebanyakan yang anak-anak ada di halaman depan.

Bella tersenyum menatap wajah kekasihnya yang menurutnya tetap tampan berkali lipat.

“Kau jadi mengambil kuliah di Amerika?” tanya Bella sedih.

Arfa segera menoleh ke arah Bella. Gadis cantik yang memiliki sepanjang bahu dengan poni samping, itu tampak menatap dirinya dengan sendu. “Jadi dong. Demi masa depan, kalau kamu mau kamu juga bisa ikut denganku. Bukankah kau juga mendapatkan beasiswa?” sahut Arfa seraya mendudukan dirinya di sebelah Bella.

Bella menggeleng. “Aku tidak bisa Arfa. Aku tidak mungkin meninggalkan ibuku yang sedang sakit.”

Arfa mengangguk paham. “It's okay. Aku hargai keputusanmu sayang," ucapnya seraya mengusap pipi chubby Bella.

“Aku akan kuliah di sini saja. Bukankah universitas di negara kita pun banyak yang lebih bagus. Toh aku pikir jika mengambil kuliah yang jauh, aku akan membutuhkan biaya yang lebih besar, Ar."

“Benar sayang. Aku mengerti kok, di manapun kau menempuh pendidikan, kau pasti akan tetap menjadi orang yang cerdas,” sahut Arfa bangga.

Bella tersenyum getir, menghela nafasnya berkali-kali. Seolah ada beban berat yang harus ia lepaskan.

“Ar...?” panggilnya.

Terpopuler

Comments

Nendah Wenda

Nendah Wenda

ternyata begitu

2024-04-21

0

Siti Marwah

Siti Marwah

saya kurang tau sma visual authornya..

2024-03-10

0

Eliana

Eliana

kok ada foto loe yun xi

2024-03-08

0

lihat semua
Episodes
Episodes

Updated 73 Episodes

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!