Saya Sadar Diri

Bella terkejut, saat tiba-tiba Arfa sudah berdiri di sisinya. Bahkan mulut Dario seketika bungkam, meski Bella dapat melihat kedua tangan lelaki itu terkepal erat, seperti tengah menahan amarah.

“Pa–pak Arfa?” serunya gugup.

“Saya paling tidak suka mempunyai karyawan yang suka meminta sesuatu dengan cara memaksa. Saya harap ini peringatan untuk kamu yang terakhir!” tegas Arfa.

Dario menatap ke arah Bella dan Arfa secara bergantian. Namun, fokusnya justru terpatri pada tatapan Bella pada atasannya seperti menyiratkan sesuatu. Dia mengangguk, lalu bertanya, “Pak Arfa itu siapanya Bella?”

Arfa tersentak menatap Dario dengan tatapan malas. “Saya bukan siapa-siapanya. Saya hanya kebetulan pembela kebenaran yang tengah lewat.”

Dario bungkam. Sementara, Bella menutup mulutnya, merasa lucu dengan perkataan Arfa.

“Saya permisi.”

“Pergilah!"

Dario lebih memilih berlalu menggunakan tangga.

Setelah Dario berlalu, Bella kembali bersandar pada dinding tembok dan memejamkan matanya. Dia merasa sangat lelah, untuk kesekian kalinya ia merasa jengkel pada tipe lelaki semacam Dario. Lelaki yang begitu egois, saat keinginannya tak tercapai.

“Kau baik-baik saja?” Suara Arfa yang terdengar khawatir membuat Bella membuka matanya.

“A–aku....”

“Wajahmu terlihat agak pucat?”

“Ti–tidak, aku baik-baik saja, Arfa. Emm... Maksud saya Pak Arfa.” Bella menjawab dengan gugup, karena saat ini tatapan Arfa memang terpatri di depannya, hal itu membuat dirinya merasa canggung. Bella menekan tombol lift, berharap pintu lift akan segera terbuka. Namun, sepertinya lift itu terus naik ke atas. Bella memaklumi karena gedung itu memiliki tingkat tiga puluh satu lantai.

Ting!

Bunyi pintu lift terdengar. Namun, bukan lift yang ada di hadapan Bella. Melainkan lift samping khusus direktur. Bella melirik cemas jam tangan miliknya, karena waktu jam makan siang sudah habis.

Arfa menangkap dengan jelas raut cemas Bella. “Sepertinya lift ini akan lebih lama turunnya. Lebih baik menggunakan lift sebelah bersama saya saja,” ujar Arfa.

“Tapi...”

Srett! Bella tersentak mana kala Arfa tiba-tiba menarik tangannya masuk ke dalam lift. Tak lama kemudian lelaki itu pun menutup pintu lift.

Bella memilih mundur bersandar pada dinding lift. Jantungnya berdetak lebih kencang. Berkali-kali ia mencoba menekan nafasnya, mana kala merasa jantungnya terasa ingin meledak. Rasa senang bercampur sedih menjadi satu.

“Kamu sesak nafas?” tanya Arfa menyadarkan punggungnya pada dinding lift, melipat tangannya di dada, lalu menatap ke arah Bella.

“Tidak Pak.” Bella hanya menjawab singkat lalu mengalihkan pandangannya ke arah lain.

“Apakah orang tadi sering mengganggumu?”

Bella kembali melirik ke arah Arfa yang terlihat khawatir padanya, dan menjawab sambil tersenyum. “Tidak, kemarin-kemarin dia hanya melihat saja. Entah kenapa hari ini dia menyapa.”

Bella kembali menegakkan tubuhnya, memandang Arfa dengan tersenyum. “Terima kasih sudah membela saya.”

Arfa mengangguk. “Saya melakukannya atas dasar kemanusiaan. Tidak ada yang salah kan mengingat kamu juga karyawan saya.”

Bella tertawa kecil. Jika orang bisa melihatnya lebih inci, ia akan paham jika tawa Bella itu palsu, semua hanya untuk menutupi perasaan sesungguhnya. “Saya tahu, tidak perlu diperjelas. Saya tahu diri kok, saya tidak akan mencampuri urusan pribadi dengan kerjaan. Apapun alasan Anda membela saya tadi, saya tetap harus mengucapkan terima kasih.”

Arfa hanya terdiam bungkam, menatap Bella dengan pandangan yang tak terbaca.

Bella tersenyum lebar, mengibaskan rambutnya ke belakang. Bunyi 'Ting' tanda mereka sudah sampai di lantai tujuan.

“Sudah sampai, terima kasih sudah memberikan tumpangan lift untuk saya Pak Arfa.” Bella membungkuk dengan hormat sebelum berlalu keluar dari dalam lift. Namun, tanpa Bella ketahui Arfa menahan pintu lift untuk Bella keluar lebih dulu. Setelahnya ia keluar mengikuti langkah kaki Bella di depannya.

Saya melakukannya atas dasar kemanusiaan. mengingat kamu juga karyawan saya!

Perkataan Arfa terus terngiang dalam otak Bella. Sekejap hal itu seperti menjadi sebuah panah yang menancap di hatinya. Rasanya pedih, Bella seperti kembali mengalami patah hati dalam bercinta. Mengapa Arfa harus berkata demikian? Seolah-olah lelaki itu menegaskan hubungan keduanya hanya sebatas bawahan dan atasan. Tanpa Arfa perjelas, Bella pun sudah sadar diri. Perlahan, iya secara perlahan Bella akan belajar menguburkan perasaan cintanya itu.

Bella menghentikan langkahnya sejenak, mengontrol perasaannya. Tak lupa ia juga menghapus sudut matanya yang basah, Bella merutuki diri mengapa dia harus secengeng itu. Tiba-tiba ia tersentak mana kala seseorang tiba-tiba mengulurkan sapu tangan berwarna abu-abu.

“Pak Agus,” serunya.

“Pakailah, Bell. Ku rasa kamu membutuhkannya,” ujar Agus mengulurkan sapu tangannya.

Bella menggeleng, tersenyum dengan canggung. “Tidak perlu, Pak. Saya hanya kelilipan kok,” tolaknya. Setelahnya, Bella memilih berlalu kembali ke mejanya.

Tanpa mereka sadari, aksi kedua tak lepas dari tatapan mata Arfa.

“Ehem!” Arfa sengaja berdehem untuk menegur Agus yang sejak tadi terus menatap ke arah Bella. Agus menoleh terkejut mendapati atasannya berdiri tak jauh darinya.

“Pak Arfa,” sapanya canggung.

Arfa menghela nafasnya. “Kamu sedang apa?” tegurnya.

“Oh ini!” Agus meringis kembali memasukan sapu tangannya ke saku. “Tadi niatnya mau kasih sapu tangan ini ke Bella. Aku kira dia nangis, ternyata dia cuma kelilipan,” lanjutnya.

“Ya sudah, Pak. Saya mau ke kamar mandi.” Agus berlalu pergi. Menyisakan dirinya yang berdiri dengan tatapan mengarah ke meja karyawannya yang tampak sibuk bekerja. Namun, fokusnya justru terpatri pada meja Bella. Tampak perempuan itu berkali-kali meringis seperti menahan sakit.

Terlihat Sima menegurnya. Namun, Bella hanya menggelengkan kepalanya, seolah menyiratkan dirinya baik-baik saja.

“Lho, Pak Arfa masih di sini?” tegur Agus yang beru kembali dari kamar mandi. Hal itu membuat Arfa tersentak.

“Oh ini saya sedang–”

“Mantau karyawan bekerja ya, Pak. Emang sih kalau dipantau biasanya karyawan jadi lebih disiplin, terus pekerjaannya selesai lebih cepat, karena jadi fokus,” terang Agus.

Arfa hanya berdehem pelan. “Begitu ya?”

“Iya Pak.”

“Sudah cukup kok. Saya kembali ke ruangan lebih dulu.” Arfa berlalu masuk ke ruangannya.

Agus menghela nafasnya. “Sebenarnya aku penasaran. Pak Arfa dan Bella itu ada hubungan apa sih, suka melihat mereka kaya cangggung gitu.” Bukan tanpa alasan Agus berpikir demikian. Pasalnya ia kerap menjumpai alasan tak masuk akal atasannya itu memanggil Bella ke ruangannya. Belum lagi tadi ia juga tahu jika Arfa dan Bella berada dalam satu lift yang sama, ia juga tahu Bella sebenarnya menangis. Hanya saja ketika gadis itu beralasan karena kelilipan, Agus memang berpura-pura percaya saja.

Terpopuler

Comments

Nendah Wenda

Nendah Wenda

bikin bingung sikap arfa

2024-04-22

0

devaloka

devaloka

ngapain juga ngarepin orang yg gak peduli, aneh2 aja jadi perempuan 😏

2024-02-07

7

Eti Alifa

Eti Alifa

knp ga buka hati utk agus bell,kayanya agus tulus dr pd arfa walaupun bella cinta tpi bebanyakaan nyakitinnya.

2023-06-16

0

lihat semua
Episodes
Episodes

Updated 73 Episodes

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!