Kamu Mau Daftar?

Sima melongo mendengar keberanian sahabatnya. “Duh senangnya bisa satu lift sama direktur?” pekiknya.

Bella mencebik. “Bagiku ini kesialan. Udah kesiangan, datang terlambat, malah bertemu Pak Arfa. Makin banyaklah potongan gajiku entar.” Ia meletakkan tas miliknya di atas meja.

Lalu mendudukan dirinya di kursinya, seraya menghidupkan komputernya.

“Kok kesialan sih, Bell. Bagiku bertemu dengan Pak Arfa itu keberuntungan, apalagi kalau sampai berdekatan dengannya, bahagia melebihi apapun,” sahut Sima yang terus mengagumi Arfa, seolah lelaki itu adalah makhluk yang sempurna tanpa cela. Bahkan ia sampai menangkup kedua pipinya, membayangkan sosok Arfa.

“Ngomong mulu kamu Sim card, berisik kerja dong. Gak ada bosan-bosannya muja-muja itu Pak Direktur yang kaya kutub selatan ke Utara,” timpal Bakti yang kebetulan mejanya berada di belakang Bella. Lelaki itu lama-lama merasa jengah mendengar kedua perempuan itu terus membicarakan atasannya, yang menurutnya sombong itu.

“Terserah aku lah, dasar kerja Bakti," cibirnya pada sahabatnya itu. Bella hanya mendesis menggelengkan kepalanya menatap kedua sahabatnya yang terus berperang kalau sudah bersama.

“Bell, kamu masih mau menjaga kewarasanmu kan?” tanya Dimas, kebetulan mejanya berada di sisi Bella.

“Hemm tentu!” sahut Bella menoleh sesaat.

“Kalau begitu lanjutkan bekerja, gak usah pedulikan mereka, takutnya kamu jadi ketularan gak waras,” sambung Dimas membuat Bella tergelak. Namun, tak urung ia mengangguk, karena hari ini ada banyak kerjaan yang menunggunya. Terutama tentang konsep iklan peluncuran produk baru. Jika nanti tiba waktunya direktur bertanya, semua itu belum siap. Entah apa yang akan terjadi.

Sesekali Bella akan melirik ke arah Sima yang sekarang sudah duduk dengan diam di kursinya. Kemungkinan gadis itu sudah lelah berdebat dengan Bakti.

“Bell, kaya ada yang baru ya?” ujar Sima memindai penampilan Bella.

“Apa?” sahut Bella sambil menggerakkan mouse di tangannya. “Celananya ya? Iyalah Pak Arfa kan melarang kita pakai rok span lagi,” imbuhnya.

“Bukan? Itu juga aku tahu.”

“Terus?”

“Sepatumu?”

Bella terkesiap, menghentikan kerjaannya menoleh ke arah Sima yang menatapnya dengan wajah penasaran. Ia sendiri melihat ke arah flat shoes yang ia kenakan dengan nyaman di kakinya. “Oh ini. Iya ini aku kemarin sepatunya rusak jadi ini–”

“Baru Bell.” Sima berjongkok melihat sepatu Bella. “Wihh keren Bell, bermerek,” pekiknya menggelengkan kepalanya takjub. “Gila harganya pasti mahal sekali.”

“Iya ini tuh sebenarnya–”

“Yang aku tahu Bella itu tipe perempuan yang hemat, ia tidak akan mungkin mengeluarkan puluhan juta hanya demi satu pasang sepatu. Amazing Bell.”

“Kata siapa ini bemerek, ini murah kok aku beli di–”

“Gak-gak. Aku tahu banget merek sepatu Bell, bahkan tokonya pun ini aku tahu di mana.” Sima memotong ucapan Bella karena ia sangat yakin sepatu yang digunakan sahabatnya itu harganya cukup tinggi. “Kakak ku kan suka koleksi barang bermerek gini, Bell. Jangan bohong Bell! Aku bukannya iri, malah ikut senang kalau kamu bisa beli barang ginian,” tambahnya sambil beranjak berdiri.

“Sebenarnya sepatu ini tuh dari–” Bella menggigit bibir bawahnya, merasa ragu haruskah berkata jujur apa tidak.

“Dari siapa Bell?” desak Sima seraya mencondongkan badannya, hingga posisinya menjadi membungkuk.

“Dari Pak Arfa,” kata Bella lirih.

“Apa??!!!” pekik Sima kemudian seraya menjatuhkan dirinya kembali ke kursi. Ia terkejut, tak menyangka sahabatnya itu mengalami keberuntungan yang bertubi-tubi. “Kok bisa sih, Bell?” sambungnya.

Bella meletakkan jari telunjuknya meminta Sima untuk diam. “Aku ceritain nanti ya. Sekarang kita kerja dulu, diem jangan berisik suaramu itu ganggu teman-teman kita banget,” ujar Bella.

Sima mengikuti arah pandang Bella, ia meringis kala teman-temannya kini menatap ke arahnya. “Maaf ya guys,” ucapnya.

“Sim salabim ini emang berisik banget,” celetuk Bakti dengan wajah sinis, yang langsung mendapatkan tatapan tajam dari Sima.

Bella masih sibuk merangkum konsep iklan untuk produk baru di perusahaan itu. Saat tiba-tiba Budi–pegawai office boy mendekat ke arah mejanya.

“Kenapa Bud?” tanya Bella.

“Anu itu Mbak anu–”

“Anu apa?”

“Itu Mbak dipanggil Pak Arfa,” ucap Budi.

“Ada apa ya Bud?” tanya Bella menghela nafas gusar, entah kenapa kalau sudah mendengar nama atasannya itu, jantungnya berdetak kencang, entah ini faktor perasaan atau ketakutan. Feelingnya itu menyiratkan hal yang tak enak.

“Gak tahu mbak. Soalnya saya cuma disuruh manggil, tadi saya sekalian anterin kopi untuknya,” sahut Budi.

Bella mengangguk. “Ya udah nanti saya kesana.”

“Sekarang Mbak jangan nanti-nanti. Nanti malah saya yang kena marah oleh Pak Arfa, dikira saya tidak menyampaikan pesannya.”

“Sekarang?” ulang Bella, Budi hanya mengangguk. Bella menyentak nafasnya menatap kerjaan di depannya yang begitu menumpuk.

“Ya udah saya kesana sekarang?” ia beranjak ke ruangan Direktur.

Tok! Tok!

“Masuk!” sahut Arfa suaranya terdengar jauh.

Bella pun membuka pintu, ia bingung mendapati atasannya itu tak ada di kursi.

“Saya di sini.”

Bella menoleh ke arah sofa ternyata Arfa tengah berada di sana. Perempuan itu pun melangkah mendekatinya. “Pak Arfa manggil saya?” tanya Bella.

Arfa yang semula tengah fokus pada berkasnya pun mengangkat wajahnya. “Oh Bella... Iya saya manggil kamu.”

“Ada yang bisa saya bantu?” tanya Bella.

“Tolong Carikan berkas persetujuan kerja sama dengan perusahaan Pak Rizal dong. Coba cari di rak buku, saya sudah coba nyari kok gak ketemu,” perintah Arfa.

“Tapi Pak biasanya kan–”

“Yudi sedang ada tugas diluar, jadi saya minta tolong kamu. Apa kamu keberatan?” tukas Arfa yang mengerti pikiran Bella.

“Bukan begitu. Maksud saya, kenapa Pak Arfa tidak cari sekretaris saja, biar kalau ada hal seperti Pak Arfa tidak–”

“Mengganggu kamu begitu maksudnya?" timpal Arfa dengan cepat. Bella menggeleng, “Bukan maksudnya kan biar–”

“Kalau saya butuh sekretaris. Memangnya kamu mau daftar?” tanya Arfa dengan sorot mata yang tajam.

“Tidak!” jawab Bella dengan cepat.

“Kenapa Bell?” tanya Arfa.

Bella membayangkan menjadi sekretaris Arfa pasti akan lebih banyak ditindas, juga perasaan sesak dalam waktu bersamaan, dan ia tidak mau hal itu terjadi. Ia masih ingin menjadi karyawan yang punya kebebasan.

“Bukankah jika menjadi sekretaris saya. Kamu akan punya waktu lebih banyak di sisi saya Bella?” sambung Arfa santai, memberi penawaran.

“Tidak! Saya tidak mau. Akan saya carikan berkasnya.” Bella buru-buru mengalihkan pembicaraannya dan berlalu ke rak buku, untuk mencari apa yang tengah dibutuhkan Arfa.

Arfa menaikkan kedua alisnya, menatap Bella dan diam-diam ia mengangkat sudut bibirnya membentuk senyuman tipis. Kemudian kembali fokus pada laptop di depannya.

💞

💞

💞

Jangan lupa like, komen, dan hadiahnya.

Terima kasih, teman-teman.

Terpopuler

Comments

Nur Hayati

Nur Hayati

bingung... apa sih maunya. arfa..😡

2024-03-30

4

Nendah Wenda

Nendah Wenda

aduh bel kesempatan emas tuh jadi sekertaris arfa

2024-04-22

0

Anonymous

Anonymous

Arfa jail bin tengil

2024-04-16

0

lihat semua
Episodes
Episodes

Updated 73 Episodes

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!