Terlambat

Coba bayangkan, masih beratan yang mana? Antara kaki yang terus melangkah dan hati yang terus berharap.

****

“Gimana keadaan perusahaan, Ar?” tanya Aslan yang sat itu tengah membaca koran di ruang tamu.

Arfa yang saat itu baru tiba di rumah pun mendekati Papanya. Menyalaminya dengan takzim, kemudian duduk di seberang sofa. “Parah! Ternyata banyak maling,” sahutnya seraya mengendurkan dasinya.

“Hemm untuk itulah Papa memintamu untuk membangun perusahaan itu lagi. Karena Papa percaya di tanganmu pasti perusahaan itu akan kembali bangkit. Jangan sampai kaya Om Rio yang menyerah, dan akhirnya memilih menjual perusahaan itu. Untung Papa mendengar, jadi Papa yang membelinya,” ujar Aslan meletakkan koran yang semula ia baca, kemudian mengambil secangkir teh buatan istrinya–Melisa. “Mau teh?” imbuh Aslan menawarkan teh nya pada putranya.

“No, buat Papa aja. Arfa mau bersih-bersih.”

”Hemm... Kamu udah nemu solusi soal permasalahan di perusahaan itu?" tanya Aslan membuat Arfa mengurungkan niatnya untuk beranjak ke kamar.

“Udah! Aku udah buat semua orang yang terlibat keluar dari perusahaan itu.”

“Lalu? Berarti Day Rio Skin kurang karyawan jadinya?”

“Aku akan merekrut karyawan di perusahaan lama. Karyawan yang cukup kompeten dan handal. Semua harus diperhitungkan dengan matang, karena karyawan ini akan masuk ke dalam divisi keuangan. Aku tidak ingin mengalami kecolongan,” terang Arfa.

“Hemm... Bagus. Papa serahkan semuanya sama kamu.”

Arfa berpamitan untuk kembali ke kamar guna membersihkan diri. Sampainya di kamar ia segera melepaskan jas, dan jam tangan yang melekat di tubuhnya. Kemudian mengangkat kepalanya menatapnya di pantulan kaca.

“Bella,” gumamnya tersenyum tipis. Namun, secepat kemudian ia berusaha menepis pikirannya, menahan diri untuk tak jatuh terlalu dalam pada pesona gadis itu, dan ia memilih berlalu masuk ke kamar mandi.

****

Usai membersihkan diri Bella merebahkan tubuhnya di atas ranjang. Matanya memandang ke arah langit-langit kamarnya. Tiba-tiba bayangan kejadian di kantor tadi terlintas, ia tersenyum kala mengingat perlakuan manis Arfa yang mau mengurut kakinya. Namun, saat mengingat jika lelaki itu membuang sepatunya ke tong sampah di tengah jalan tadi, Bella kembali merasa kesal. Ia bahkan sampai memukul kasurnya, seraya beranjak dari posisi tidurnya.

“Makan apa aku besok kalau gajinya di potong untuk bayar sepatu,” keluh Bella seraya mengacak-acak rambutnya yang masih basah, karena ia habis keramas. Pikirannya gundah memikirkan gajinya bakal di potong, padahal kebutuhan dua adiknya di kampung sangat banyak untuk sekolah dan kuliah. Bella memang harus hidup prihatin, karena ia berasal dari orang tua yang sederhana, hidup pas-pasan. Ayahnya hanyalah penjual bakso, sementara ibunya sudah meninggal dunia tiga tahun yang lalu.

Tok! Tok!

“Bell, aku beli kwetiau goreng ni, mau gak? Cepat keluar ayo makan, aku tahu kamu belum makan kan?” Suara Jenny terdengar setelah mengetuk pintu kamarnya. Bella segera beranjak membuka pintu.

“Wahh kamu tahu aja aku belum makan, emang sahabatku yang the best,” puji Bella setelah mendudukan dirinya di samping kursi yang bersebrangan dengan Jenny.

“Hemm... Tahu kok aku. Kalau tanggal-tanggal segini itu, dompetmu pasti menjerit karena isinya KTP dan bon belanja indo April doang,” ejek Jenny.

“Sialan,” umpatnya. Jenny hanya tertawa kecil menanggapinya. “Masih ada lah buat ongkos berangkat dan pulang kerja, ya kali aku jalan kaki,” imbuhnya seraya membuka makanan di depannya. Bella mengambil sumpit dan mulai menikmatinya.

“Halahh... Gayanya ongkos, jalan kaki. Tadi aja pulang di anterin pakai mobil, itu siapa coba? Taksi Online? Gak mungkin, gak mungkin mobil sebagus itu jadi taksi online,” cibir Jenny yang membuat Bella tersedak.

“Itu–”

“Siapa? Big boss?”

Bella mengangguk, kemudian menghela nafas berat.

“Serius? Itu Arfa yang nganterin kamu?” cecar Jenny.

“Iya, itu Arfa.” Bella menjawab dengan nada lemah.

“Wahh secepat itu kalian CLBK? Gak nyangka Bell, omongan mu terbukti juga.”

“Gak gitu juga ceritanya,” keluh Bella lalu menceritakan kejadian yang hari ini ia alami kadang tersenyum kadang cemberut. Jenny hanya mengangguk mendengarkan cerita sahabatnya seraya menyantap kwetiaw goreng miliknya.

“Senang dong satu mobil sama mantan. Berasa lagi kencan gak sih? Mana dibeliin sepatu baru lagi,” goda Jenny.

“Gak ya Jen. Sama aja orang aku suruh ganti kok. Lagian benar juga kayaknya kata kamu, aku harus mulai menjaga jarak dengannya,” keluh Bella.

“Wehh secepat itu kamu berubah?” tanya Jenny heran.

Bella mengangguk. “Karena aku pikir itu lebih baik.”

****

Bella berlari kencang begitu turun dari objek online. Bahkan berkali-kali tubuhnya hampir bertabrakan dengan lalu lalang karyawan lain yang lewat. Perempuan itu merasa sudah terlambat karena semalem susah tidur, gara-gara mengingat rangkaian kejadiannya bersama Arfa.

“Tunggu!” Bella berteriak kencang ketika pintu lift hendak tertutup, membuat semua karyawan menoleh ke arahnya, ia hanya meringis. Pintu lift kembali terbuka, Bella melangkah mendekat tepat di depan lift itu, matanya terbelalak menyadari siapa yang berada di dalamnya.

“Pak Arfa,” gumamnya meringis malu. “Emm duluan saja duluan, iya duluan,” sambungnya menggerakkan tangannya untuk mengusir, kemudian ia memutar tubuhnya, seraya menutup wajahnya karena saat ini tatapan karyawan yang lalu lalang masih menatap ke arahnya, tak jarang ada yang tertawa kecil.

“Masuk!” Suara Arfa terdengar memerintah. Bella terkejut berpura-pura tak mendengar. Ia hanya menggelengkan kepalanya, dan berusaha untuk berlalu. Namun, tiba-tiba ia terkejut kala kerah kemejanya ditarik oleh seseorang dari belakang.

Srett!

“Pak Arfa!” pekik Bella terkejut kala punggungnya kembali membentur dada bidang lelaki itu.

“Tutup pintunya, Yud!” titah Arfa pada asistennya. Yudi pun mengikuti perintahnya, seraya menatap keduanya dengan senyum tipisnya.

Arfa bergerak menyamping, hingga posisinya kini bersejajar dengan Bella. Perempuan itu meringis baru menyadari jika saat ini ia berada di lift khusus direktur, apakah kurang tidur semalam bisa membuat penglihatannya blur.

“Kenapa bisa terlambat?” desis Arfa dengan kedua tangannya ia masukkan ke dalam saku.

Bella menoleh. “Emmm itu saya telat bangun,” jawabnya jujur. Ia mengigit bibir bersiap menerima omelan atasannya itu.

“Kebiasaan bergadang,” celetuk Arfa hingga pintu lift pun terbuka ia keluar dari sana lebih dulu, disusul dengan Yudi. Bella masih menatap kepergian Arfa dengan wajah bingung. “Kok dia tahu kalau aku bergadang ya,” gumamnya.

“Bella, kamu gak mau keluar dari lift?” panggil Sima setengah berteriak tampaknya gadis itu baru dari toilet. Bella tersentak langsung keluar daei lift menghampiri Sima. “Wahh parah, kok kamu berani sih naik lift direktur?” tanya Sima kemudian.

“Itu tadi aku salah lihat, karena buru-buru. Sampai gak sadar jika itu lift khusus direktur, aku berteriak meminta seseorang untuk menahannya, sialnya itu di dalam ada Pak Arfa dan asistennya.”

Terpopuler

Comments

Nendah Wenda

Nendah Wenda

diem diem Arfa masih perhatian

2024-04-22

0

desi putri

desi putri

N

2024-04-20

0

Ulfa Monalisa

Ulfa Monalisa

Hati yg terus berharaplah Thor...😥😥

2024-03-10

0

lihat semua
Episodes
Episodes

Updated 73 Episodes

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!