Debat

Dengan ragu Bella pun melepaskan sepasang sepatu miliknya, lalu memberikannya pada Arfa.

“Buat apa sih Pak? Sepatu saya cuma satu itu loh Pak,” kata Bella kesal. Ia pikir masa sepatu satu-satunya mau diminta, besok kerja pakai apa.

“Coba kamu pakai ini.” Arfa mengulurkan sepasang flat shoes padanya. Ia menoleh ke arah lelaki itu dengan bingung. Tapi, Arfa mengangkat kedua alisnya lalu mengangguk. “Ayo buruan coba,” sambungnya mendesak.

Bella mengambil sepatu itu lalu memakainya.

“Bagaimana?” tanya Arfa.

“Em–”

“Apakah ukurannya pas di kakimu?"

Bella mengangguk, “iya Pak.”

“Apakah rasanya nyaman?”

“Iya Pak, enak." Bella menjawab dengan jujur. Memang harga itu membawa rupa, sepatu yang ia kenakan kini sangat nyaman di kakinya, bahkan terlihat elegan di kakinya.

“Baguslah, jadi saya tidak perlu menukarnya lagi.”

Bella menoleh ke arah Arfa. “Maksudnya sepatu ini buat saya?” tanyanya.

Arfa mengangguk. “Hemm... Kamu tidak perlu lagi pakai sepatu yang berhak tinggi. Itu supaya kamu leluasa bergerak di kantor, apalagi saat saya memintamu untuk ini dan itu. Saya tidak mau ada insiden seperti tadi. Beruntung saya masih bisa menjalankan meeting dengan baik, meski tanpa berkas itu.”

Bella menggigit bibir bawahnya. “Kalau untuk itu kan saya sudah minta maaf. Tapi, tidak perlulah Pak Arfa sampai membelikan saya sepatu seperti ini,” protesnya.

“Siapa bilang saya memberikan sepatu itu cuma-cuma,” sergah Arfa.

Bella terperangah. “Terus maksudnya?”

“Ya kamu harus menggantinya lah, enak saja. Jaman sekarang mana ada sih barang gratis, toilet aja bayar,” tandasnya.

“Tapi kan saya tidak memintanya? Lagian harganya pasti mahal.”

“Murah kok hanya sekitar 30 juta.”

“Apa?” pekik Bella menelan ludahnya, 30 juta? Yang benar saja, untuk membeli sepatu itu ia bisa tidak makan, belum lagi ia harus menyisihkan gajinya untuk adiknya yang masih kuliah di Jogjakarta.

“Udah jangan dipikirkan kamu tinggal pakai aja,” ujar Arfa santai.

“Tapi, saya tidak ada uang Pak untuk menggantinya,” seru Bella bingung. Rasanya ia ingin pingsan mendengar harga sepatu itu, kepalanya berdenyut nyeri.

“Santai aja, kamu kan masih bekerja di perusahaan saya.”

Bella menoleh ke arah Arfa. “Maksudnya? Pak Arfa mau motong gaji saya tiap bulan gitu?”

“Hem... Begitu lebih baik,” seru Arfa seraya memalingkan wajahnya ke jendela, lelaki itu tampak menyunggingkan senyum tipisnya.

Yudi yang tengah menyetir diam-diam tersenyum simpul, mendengar obrolan keduanya.

“Ah tidak-tidak, aku tidak akan bisa makan kalau gajiku dipotong, harus bayar kosan belum lagi kirim buat adik kuliah. Lebih baik saya tidak pakai barang bagus deh.” Bella membungkukkan kembali badannya, berniat mengambil sepatu yang ia kenakan.

“Jangan dilepas, pakai saja. Saya bilang pakai kamu tidak boleh membantah,” kekeh Arfa.

“Tapi Pak saya kan–”

“Kamu mau nolak atau tidak, tetap saja gajimu nanti akan saya potong. Jadi, lebih baik kamu pilih mana. Lebih baik di terima kan, daripada uangnya saya potong cuma-cuma.” Arfa memberikan sebuah pilihan, Bella mencebik kesal. Apa maksudnya coba, bukankah itu sama saja artinya dia harus menerima.

Egois! Dasar pemaksa.

Bella mengumpat dalam hati.

“Tidak perlu sampai segitunya lah Pak. Saya masih punya sepatu kok, dan itu masih layak untuk dipakai. Saya jamin besok saya akan lebih hati-hati tidak akan ceroboh lagi,” ujar Bella memelas.

“Maksud kamu sepatu ini.” Arfa mengangkat sepatu Bella di tangannya.

Bella mengangguk, sementara Arfa berdecak kecil, kemudian menoleh ke arah depan. “Yudi pelankan mobilnya sejenak,” pintanya.

“Baik Pak!” Yudi mengurangi kecepatan laju mobilnya. Arfa membuka kaca mobilnya, ia memasukkan sepatu Bella ke dalam paper bag kosong. Kemudian ia melongok ke luar jendela, tepat di tong sampah ia melemparkan paper bag itu.

“Arfa!!!” teriak Bella tak menyangka jika lelaki itu justru membuang sepatunya, semula ia pikir Arfa memasukan sepatunya karena ingin diberikan kembali padanya. Yudi sempat terkejut, mendengar Bella berteriak memanggil atasannya hanya dengan namanya saja.

“Dasar tidak sopan!” cibir Arfa.

“Pak Arfa juga tidak sopan! Main buang sepatu orang saja. Tidak tahu ya bagaimana perjuangan saya membeli sepatu itu,” sahut Bella tak kalah berani. Memang harganya tidak seberapa, tapi bagi seorang pegawai kantoran biasa seperti Bella, itu sudah lumayan menguras kantong.

“Udah gak usah diperpanjang, ini saya ganti sepatunya. Buat kamu semua deh.” Arfa kembali memberikan dua kantong paper bag yang berisi sepatu. Bella tetap diam, menoleh ke belakang dengan bibir manyun. “Sepatuku,” kata Bella lirih.

Arfa menghela nafasnya, karena Bella tak kunjung menerima paper bag itu, akhirnya ia meletakkan dipangkuan Bella dengan paksa.

“Buat apa, kalau ujungnya suruh ganti.” keluh Bella menatap paper bag di pangkuannya, kemudian ia menyandarkan punggungnya ke kursi. “Orang kalau udah egois ya egois ya,” sambungnya.

“Kamu ngatain saya?” tuding Arfa.

“Buat yang ngerasa aja deh. Kalau Pak Arfa tersinggung berarti itu Bapak. Kalau memang gak ngerasa ngapain harus tersinggung.”

Arfa melengos memilih tak menanggapi ucapan Bella. Keduanya memilih diam menikmati pemandangan di luar di balik kaca mobil.

“Lho kok bisa lewat sini. Ini mah udah kejauhan dari tempat tinggal saya. Pak Arfa ini gimana sih?” protes Bella seketika ketika jarak tempat tinggalnya sudah kelewat jauh. Yudi seketika menghentikan laju mobilnya.

“Kenapa nyalahin saya. Kan Yudi yang nyetir, kamu juga salah tidak memberi tahu Yudi alamatmu,” sahut Arfa.

“Ya Pak Arfa tidak tanya saya?” sergah Bella.

“Lho memang siapa dirimu? Kenapa saya harus tanya-tanya kamu.” Arfa tak kalah kesalnya menghadapi ocehan Bella. “Dasar ceroboh!” imbuhnya.

Bella terdiam dengan wajah bertekuk kesal, ia mencoba menekan tombol pembuka pintu. “Saya turun di sini aja, nanti saja naik angkot saja.”

“Tidak perlu!” sahut Arfa cepat. “Putar balik Yud,” sambungnya memberi perintah pada Yudi.

Bella menoleh ke arah Arfa, “Tapi–”

“Beri Yudi petunjuk agar tidak keterusan lagi," potong Arfa cepat. Lelaki itu mengambil iPadnya, lalu memasang kacamata beningnya. Kemudian mulai fokus pada benda kotak itu. Bella masih betah memandang sendu wajah itu, jaraknya begitu dekat, namun ia merasa hatinya terasa jauh dan sulit dijangkau. Arfa memang tetap tampan sejak dulu, penampilannya selalu memukau.

“Bell, alamatnya?” tanya Yudi menyadarkan lamunan Bella.

“Oh iya.” Bella segera menyebutkan alamat kosannya, setelahnya ia memilih menatap ke jendela. Arfa yang saat itu tengah menggulirkan iPadnya, menoleh ke arah Bella sejenak.

Bella sibuk menatap beberapa bangunan yang menjulang tinggi di pinggir jalan raya. Selain rasa kesal yang ia rasakan, sebenarnya ia juga merasa enggan berdekatan dengan Arfa seperti ini. Rasanya tetap saja sesak. Bahkan untuk sekedar bertanya kabar lelaki itu pun, ia sama sekali tidak berani. Apalagi bertanya perihal sifat berubahnya.

Terpopuler

Comments

Anonymous

Anonymous

jebakan gurita ditebarkan dan siap membelit hehehe

2024-04-16

0

Nendah Wenda

Nendah Wenda

Arfa masih perhatian tapi gengsinya seabreg

2024-04-22

0

JR Rhna

JR Rhna

🤣🤣🤣

2023-06-17

2

lihat semua
Episodes
Episodes

Updated 73 Episodes

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!