Kamu Menangis

Bella merentangkan kedua tangannya, mengerakkan otot-ototnya yang terasa kaku. Ia tersenyum akhirnya pekerjaannya telah selesai, artinya ia bisa pulang lebih cepat. Lalu mampir ke tukang urut.

“Bell, dipanggil Pak Arfa tuh. Kamu di minta ke ruangannya,” kata Yudi tiba-tiba.

Bella terkejut. “Baik!”

Sima menoleh ke arah Bella. “Ada apa sih Bell? Padahal sebentar lagi jam pulang lho, kok kamu masih dipanggil aja.”

Bella menggeleng. “Aku juga tidak tahu. Tapi, perasaan ku kok tidak enak ya," sahutnya.

“Ya udah buruan Bell, nanti keburu Pak Arfa marah," ujar Sima.

Bella mengangguk beranjak dari tempatnya, menuju ruangan Arfa. Seperti biasa ia hanya akan masuk jika Arfa sudah mengijinkannya.

“Pak Arfa memanggil saya?” tanya Bella ketika tiba di ruangan Arfa. Lelaki itu tampak memunggunginya sambil menatap bangunan yang berjajar di sisi kantornya, kedua tangannya di masukan ke dalam saku celananya. Mendengar suara Bella, ia pun berbalik.

“Iya.” Tatapannya mengarah pada kaki Bella yang terlihat masih sakit.

“Ada apa ya Pak?” tanya Bella gusar, kedua bola mata hitam bening itu menatap ke arah lelaki itu dengan bingung.

“Kamu masih bertanya ada apa? Setelah kesalahan yang kamu perbuat tadi siang,” sergah Arfa. Ia melangkahkan kakinya mendekati Bella. “Bagaimana adab seorang karyawan yang baik?” sambungnya bertanya.

Bella menyentak nafasnya, kemudian tersenyum dengan samar, menutupi rasa sakit sesungguhnya. “Maaf Pak atas kecerobohan saya tadi. Saya akui, kalau saya memang–”

“Hemm... Dan untuk itu kamu harus bertanggung jawab.” Arfa memotong ucapan Bella.

“Baik. Apa yang harus saya lakukan?” tanya Bella pasrah. Entah kenapa tidak ada sedikitpun keberanian untuk melawan Arfa saat ini, mungkinkah karena perasaannya membuat ia terlihat begitu bodoh, atau memang semua bentuk seorang karyawan yang teladan harus menuruti perintah atasan.

“Kamu lihat tumpukan berkas di atas meja sana.” Arfa menunjuk ke arah meja di ruangannya, meja kaca yang disandingkan dengan sofa empuk. Bella mengikuti arah petunjuk Arfa.

Bella menelan ludahnya ketika melihat tumpukan berkas yang tadi siang ia bawa tampak berantakan. “Itu, apa yang harus–”

“Saya minta kamu merapikan berkas itu, menyusunnya secara rapi, jangan sampai ada yang tertukar,” pinta Arfa tegas.

Bella menoleh ke arah lelaki itu, kemudian kembali menunduk melihat jam tangannya. Meskipun murah meriah tapi jam tangan itu sangat berguna, ia membelinya di pasar malam saat itu bersama Jenny.

“Tapi pak, ini kan sudah waktunya jam pulang. Tidak bisakah besok saja,” protes Bella, sungguh ia merasakan kakinya teramat ngilu tujuannya ingin segera mendatangi tukang urut, agar ia bisa lekas berjalan dengan normal. Tidak menutup kemungkinan jika ia mengerjakan tugas dari Arfa, ia pasti akan pulang lebih dari pukul enam, mengingat betapa banyaknya berkas itu.

Arfa menggelengkan kepalanya menatap ke arah Bella dengan kesal. “Belajarlah bertanggung jawab dari kesalahan, Bella."

“Pak–”

“Saya tidak menerima penolakan. Buruan kerjakan, saya akan mengawasi kamu dari sini,” perintah Arfa dengan tegas.

Dengan langkah kaki yang pincang, Bella pun mendekati meja dan duduk si sofa. Ia menatap miris pada tumpukan berkas itu. Perlahan ia mulai membaca satu persatu, mencocokan kertas satu dengan yang lainnya. Beberapa saat ia kemudian merasakan kakinya terasa kram serta di bagian yang keseleo pun terasa ngilu, kenapa nasibnya semenyedihkan ini. Sesaat ia merasa seperti tengah ditindas oleh atasannya.

Bella mengingat dengan jelas, jika dulu saat sekolah, siapapun yang berani menindasnya, Arfa akan maju di bagian paling depan untuk membelanya. Tapi, kini justru Arfa sendiri yang menindas dirinya. Apakah benar perasaan Arfa itu sudah mati terhadapnya? Bella berpikir keras kesalahan apa yang telah ia perbuat hingga membuat lelaki itu begitu membencinya.

Mengingat hal itu membuat Bella merasa sedih, hingga tak sadar ia pun merasakan lelehan hangat keluar dari sudut matanya. Tak ingin mengotori kertas di tangannya dengan air matanya. Bella buru mengusapnya, seraya menarik nafasnya.

“Kenapa?” tanya Arfa yang entah sejak kapan sudah berdiri di hadapannya.

“Tidak apa-apa.” Bella menggeleng tanpa mengangkat wajahnya, ia berusaha fokus pada kerjaan di tangannya.

“Kamu menangis?" tanya Arfa lagi. Hal itu membuat Bella sontak mengangkat wajahnya menatap lelaki itu. Arfa sedikit tertegun melihat kedua bola mata Bella tampak memerah. “Apa kamu merasa keberatan mengerjakan tugas dari saya?” sambungnya.

Terpopuler

Comments

Iesnayati

Iesnayati

sumpah sedih banget liat bella diperlakukan begitu tega kamu arfa...

2024-04-16

0

Ulfa Monalisa

Ulfa Monalisa

Helleh Arfa, bilang aja mau mandang2i Bella, prettttt....

2024-03-10

1

Suhartik Hartik

Suhartik Hartik

sungguh terenyuh hati melihat Bella....

2024-02-22

3

lihat semua
Episodes
Episodes

Updated 73 Episodes

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!