Sawan

Ingatlah, jangan menjanjikan apapun pada seorang perempuan. Meski janji itu hanya sekecil batu kerikil. Karena perempuan adalah pengingat yang sangat hebat.

Isabella Puspita

****

Mendengar hal itu Bella hanya mencebik malas menanggapi gombalan Bakti. Sedangkan Sima langsung berpura-pura muntah.

“Memangnya banyak yang dipecat ya Bell?” tanya Sima penasaran.

“Banyak!" seru Bella pikirannya kembali mengelana kejadian tadi di ruang meeting. Ia masih merasa takjub dengan kelakuan Arfa yang begitu tegas pada orang yang curang.

“Terus mereka diam aja gitu di pecat?" tanya Sima penasaran karena tadi ia memang tidak ikut meeting.

Bella menoleh ke arah ketiga sahabatnya yang tampak menanti jawabannya penasaran. Ia pun menghentikan makannya dan berpikir sejenak.

“Awalnya sih mereka protes dan menolak. Namun, saat Pak Arfa memberikan penawaran untuk dipecat secara terhormat mendapatkan pesangon. Atau tidak terhormat tidak mendapatkan pesangon, dan Pak Arfa juga menjamin nama mereka akan langsung blacklist daftar hitam, otomatis tidak akan ada perusahaan manapun yang menerimanya lagi, karena saat itu Pak Arfa sudah membawa bukti yang cukup kuat untuk mendepak mereka. Ya dan akhirnya tidak ada pilihan lain untuk mereka, selain dipecat secara terhormat dan mendapatkan pesangon,” tutur Bella menerangkan kejadian tadi di ruang meeting, bagaimana sikap Arfa yang tampak berwibawa dan tegas, sudut bibirnya terangkat sedikit ia merasa bangga pada lelaki itu.

“Ya ampun hebat banget ya Pak Arfa. Di saat seperti itu saja, ia masih bersikap bijak. Duhh, makin buat aku kesengsem aja itu Pak Direktur,” puji Sima seraya menangkup kedua pipinya.

“Gak jelas,” omel Bakti. Sima hanya mencebik tak peduli.

“Tapi cepat juga ya meetingnya,” ujar Sima.

Bella membenarkan ucapan Sima. “Mungkin karena udah memasuki jam makan siang,” tebak Bella asal.

Sima mengangguk.

“Lahh namanya atasan mana bisa mikir ke arah sana. Yang mereka tahu hanyalah kerjaan itu beres. Buktinya saja tadi Bella disuruh menyiapkan ruang meeting seorang diri, bukankah itu sama saja seperti penindasan. Padahal itu kan bukan wewenang Bella. Belum lagi perihal ia membawa berkas hingga keseleo, beruntung Pak Agus membantunya,” timpal Dimas yang sejak tadi hanya diam menyimak kali ini ikut bersuara.

Bella terdiam mengingat kembali saat pandangannya bertemu dengan kedua mata biru Arfa. Lelaki itu mungkin tak sengaja melihat dirinya tengah meringis akibat rasa ngilu di kakinya, juga perutnya. Bella tadi sempat mengusap perutnya berkali-kali, mungkinkah Arfa.... Ah, tidak. Bella segera mengenyahkan pikiran baiknya tentang Arfa, karena pendangan yang tangkap hanyalah sepasang mata tajam darinya. Bella menduga lelaki itu pasti sangat kesal mengingat berkasnya berantakan akibat dirinya yang tak becus saat membawanya. Entah Omelan atau hukuman apa yang akan didapatkan nanti, Bella hanya pasrah.

“Benar katamu Dimas. Orang kaya mana mungkin sih memikirkan bawahan seperti kita."

Usai makan siang, Bella dan ketiga rekan kerjanya berniat kembali ke kantor. Di depan pintu lift ia berpapasan dengan Arfa. Lelaki itu tampak menatap Bella dengan datar. Bella menelan ludahnya, masih mencoba menahan nyeri pada kakinya, hal itu membuat Arfa tak sengaja menatap langkah kaki Bella yang sedikit pincang.

“Siang Pak,” sapa Bella hormat, begitu dengan ketiga temannya yang menyapa. Namun, Arfa hanya diam acuh kemudian berlalu pergi. Bella menatap sendu punggung tegap lelaki itu yang perlahan menjauh. Ia sudah bersikap biasa, menganggap tidak pernah terjadi apapun sebelumnya. Namun, sekali lagi hatinya memberontak, kini rasa sesak kembali menghampirinya.

“Bell, Ayo.” Goncangan lengan yang Sima berikan menyadarkan ia dari lamunannya. Perempuan itu segera masuk ke dalam lift dengan pelan, karena kakinya masih pincang.

“Kamu ngelamunin apa sih Bell? Terpesona ya melihat ketampanan Pak Arfa?” tanya Sima.

“Enggak. Dadaku tiba-tiba sesak gitu melihatnya gitu,” jawab Bella lirih.

“Waduh, jangan-jangan kamu kena sawannya Pak Arfa, Bell.” Bakti menimpali. Seperti biasa lelaki itu memang paling heboh.

“Sembarangan!” omel Sima. “Ganteng-ganteng gitu masa bawa sawan," sambungnya tak terima.

“Ganteng kalau sombong buat apa,” ejek Bakti.

“Tapi dia terlihat cool gitu loh,” ujar Sima memuji.

Dimas dan Bella hanya menggelengkan kepalanya, melihat perdebatan keduanya. Hingga tidak lama pintu lift pun terbuka, Bella dengan pelan keluar dari sana.

“Pulang kerja, kayaknya aku perlu mampir ke tukang urut deh,” keluh Bella yang semakin merasa sakit pada kakinya. Mungkin semua juga karena efek ia bawa jalan-jalan.

.

.

.

Guys cerita ini itu ringan ya, konfliknya nanti gak akan seberat cerita Dave dan Alana.

Terpopuler

Comments

Nendah Wenda

Nendah Wenda

lanjut

2024-04-21

0

Win Kuncung

Win Kuncung

iya,,,,, karna perempuan adalah ahli sejarah 😀

2024-03-24

0

Ulfa Monalisa

Ulfa Monalisa

Bener tuu....

2024-03-10

0

lihat semua
Episodes
Episodes

Updated 73 Episodes

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!