“BUGH!”
Kepala Rico kepentok atap mobil ketika ia menegakkan tubuh dengan cepat. Ia meringis sembari mengusap-usap kepala, kemudian memutar pandangan untuk melihat sekeliling, ingin tahu siapa yang dipanggil ayah oleh Rainer.
Akan tetapi, keningnya mengernyit ketika tak menemukan siapa pun di belakangnya. Lalu kembali menatap bocah yang sama sekali tidak memalingkan pandangan dari lelaki itu.
“Mana ayahmu? Eh, kau bisa bicara!” pekiknya terkejut meraih tubuh Rain dan mengeluarkannya dari mobil. Mengangkat tubuh kecil itu setinggi-tingginya dengan tawa yang lebar meski raut wajah Rain tampak datar.
“Ayah,” sebut Rain lagi masih menatap Rico.
Seketika senyum lelaki itu memudar, ia baru sadar bahwa panggilan itu ditujukan untuknya. Rico menurunkan Rain hingga kini wajah keduanya saling berhadapan.
“Aku bukan ayahmu. Panggil aku om, uncle atau paman aja ya. Terserah, tapi jangan panggil ayah,” ujar Rico tidak terima dipanggil ayah.
‘Yang benar saja, nanti sampai tua aku tidak akan dapet jodoh. Panggilan itu bisa mematikan pasaranku, Rain,’ batin Rico menggerutu.
Rain tidak mendengarnya, ia tak peduli. Bibirnya terus menggumamkan kata ayah, lalu melingkarkan erat di leher kokoh Rico.
Mimik muka Rico seketika berubah. Sedih, kesal namun juga kasihan. Jika dia tak berperasaan, mungkin bocah lelaki itu sudah diserahkan ke dinas sosial, panti asuhan atau kantor polisi. Namun sepertinya, Rain telah melewati kejadian yang mengerikan.
“Ayah,” entah sudah ke berapa lagi Rain menyebut Rico dengan panggilan menyebalkan baginya. Tentu menyebalkan bagi seorang single yang sedang bertualang mencari pendamping seperti Rico.
“Hah! Terserah kamu!” Kesal, akhirnya Rico pun menyerah. Dengan menggendong balita itu, Rico melenggang masuk menyusul Jihan di ruangannya.
Langkahnya tegap dan tak menoleh seperti biasa. Namun kali ini semua perhatian tertuju padanya. Bagaimana tidak? Pria yang selalu bersikap cool dan jutek itu, kini tengah menggendong seorang anak. Bahkan langkahnya tak terganggu dengan bocah yang menempel di dadanya itu.
Para karyawan Jihan yang mengidolakan Rico, harus patah hati dan menelan kekecewaan. Mereka beranggapan, lelaki itu sudah berkeluarga. Apalagi melihat Rainer yang memeluk erat tubuh kekar pria itu.
“Astaga, ternyata Rico hot daddy.”
“Kenapa justru makin keren di mataku! Apa aku harus ke dokter mata.”
“Tapi aku enggak pernah denger nyonya kondangan ke tempat asistennya deh. Pasti beliau akan siapkan pakaian kalau memang nikah.”
“Mata kau! Anaknya udah segede Nona Cheryl. Butik ini mungkin belum ada.”
Bisik-bisik para wanita yang gigit jari, mulai terdengar di telinga Rico. Akan tetapi lelaki itu mengabaikannya, meski sudah tidak bisa tebar pesona seperti biasa.
“Ji! Haruskah aku klarifikasi sama para karyawanmu?” ucap Rico ketika sudah masuk ke ruang kerja Jihan.
“Klarifikasi apaan?” Jihan mulai membuka laptop dan menyalakannya.
Rico duduk di kursi putar yang berhadapan dengan Jihan. Jarak mereka hanya dipisahkan oleh sebuah meja kerja yang cukup luas.
“Klarifikasi kalau ini bukan anak aku. Gimana bisa dapet jodoh kalau gini coba? Mereka semua mengira aku udah berkeluarga.” Rico memasang wajah lesu. Menyandarkan punggung tak bersemangat. Rainer masih menempel di dadanya, bersandar dengan begitu nyaman di sana.
Jihan terkekeh, kemudian duduk tegap sambil melipat kedua tangan di atas meja. Menatap lamat-lamat, bodyguard sekaligus sahabatnya itu. Ia tahu persis bagaimana Rico selama ini tebar pesona di butiknya. Meski belum ada yang membuatnya tertarik, tetapi sikapnya yang sok cool itu memikat banyak gadis di butiknya.
“Coba ceritain gimana asal usul kamu dapetin tu anak,” ucap Jihan memasang pendengarannya dengan baik.
Rico pun mengungkapkan kejadian semalam, bagaimana menemukan anak itu yang sendirian tengah malam dengan kondisi memprihatinkan. Ia juga bercerita, jika tidak tega meninggalkannya di panti asuhan, kantor polisi atau dinas sosial. Apalagi, setiap ditanya mengenai orang tua selalu menangis dan tidak mau diantar.
“Anak itu perasaannya sensitif, Ric. Dia bisa merasakan mana yang menyayanginya dengan tulus. Kalau menurutku, dia sengaja dibuang orang tuanya. Dan dia nyaman bersamamu. Baginya, kamu bapakable, Ric. Walaupun belum berpengalaman,” tanggap Jihan setelah mendengar semuanya.
“Terus nasibku gimana, Ji?” keluh Rico mengacak-acak rambutnya.
“Nasib?” Jihan memulai pekerjaannya, dalam hati mendesah lega karena dugaannya salah. ‘Kamu memang baik, Ric. Dari dulu enggak pernah berubah. Pantas saja anak itu nyaman bersamamu,’ lanjutnya dalam hati dengan pandangan mengarah pada layar laptopnya.
“Ah elah, gimana aku bisa dapet jodoh coba?”
“Semua sudah diatur oleh Tuhan. Kamu tinggal jalankan skenarionya. Kalau sudah waktunya juga bakal ketemu, enggak peduli bagaimana status dan keadaanmu. Fokus aja merawat dia. Eh, belikan pakaian sana! Kasihan tahu pakai kaos kaya gaun gitu.” Jihan membuka ponselnya, mengotak-atik sebentar lalu menunjukkan pada Rico. “Nih, udah aku transfer.”
“Hah? Aku? Belanja?” tunjuk Rico pada wajahnya sendiri.
“Ya siapa lagi? Dia cuma nyaman sama kamu. Aku yakin, dia nggak akan mau sama orang asing yang membuatnya tak nyaman. Sana buruan!” usir Jihan.
“Ayah, mau pipis,” ucap Rain menjauhkan tubuh untuk menatap wajah Rico.
Rico menelan salivanya, membayangkan hari-harinya nanti.
“Ric, kau dengar tidak? Itu anakmu anterin ke toilet. Nanti ngompol makin repot kamu!” seru Jihan menyadarkan lamunan Rico.
“Ah! Iya, iya! Pipis ya!” Rico kelimpungan segera menggendong tubuh mungil itu dan berlari ke toilet. Jihan menggeleng sembari terkekeh melihatnya.
Bersambung~
Kesian dah ga bisa tebar pesona 😆
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 83 Episodes
Comments
Sari Nu Amoorea
seru ceritanya
2024-07-15
0
anonim
Jihan baik kasih uang utk belanja keperluan anak Rico😁
2023-11-07
1
Sri Astuti
ga cm butuh baju tuh bocil jg blm mkn loo
2023-11-04
3