Dering ponsel memekakkan telinga, membuat tidur Rico terusik. Meregangkan tubuh sembari menguap, tak lama kemudian beranjak duduk dengan cepat. Takut jika bosnya yang arogan tiba-tiba memberi sebuah perintah.
Rico menyambar ponsel di atas nakas dan menarik kesadarannya dengan cepat. “Iya, Tuan,” ucapnya setelah menggeser slide benda pipih miliknya.
“Jam berapa ini? Kenapa kamu belum datang juga? Sudah bosan bekerja?! Cheryl bisa terlambat sekolah!” teriak Tiger Sebastian—tuannya yang arogan itu, mengejutkan denyut jantungnya.
Rico menjauhkan ponselnya, ia yakin sang bos masih menghujani ledakan emosi di ujung telepon. Tidak mau gendang telinganya pecah, segera melompat dari ranjang dan bergegas ke kamar mandi untuk sekedar menggosok gigi dan mencuci muka dengan cepat.
“Maaf, Tuan,” ucap Rico setelah tak mendengar teriakan Tiger.
"Sepuluh menit harus sudah sampai! Kalau tidak, gajimu disunat!”
“Baik, baik!” Rico setengah berlari mengambil celana panjang dan jas yang dipakai secara asal-asalan. Ponselnya diapit di antara telinga dan bahu. Setelahnya mengenakan sepatu dengan cepat sambil mengiyakan kemarahan tuannya.
Yah, bagaimana pun kerasnya sang boss, Rico tetap setia mengabdi, menurutnya Tiger hanya menerapkan kedisiplinan pada semua anak buahnya. Posisinya pun cukup diuntungkan, karena hanya diminta menjadi bodyguard dan sopir pribadi nyonya dan nona kecilnya saja. Tidak terjun langsung di perusahaan, yang Rico yakini lebih besar tekanannya.
Dua telapak tangan lebar itu menyisir rambut setelah meratakan pomade seperti biasa agar terlihat sudah mandi. Tak lupa menyemprotkan parfum mahal hadiah dari Jihan—nyonyanya, ke seluruh bagian tubuhnya.
Rico masih asyik sendiri, tidak sadar, sedari tadi ada sepasang mata yang terus memperhatikannya.
Gerakan Rico mondar-mandir di kamar yang cukup luas itu, tak luput dari pandangan lelaki kecil yang duduk di atas ranjang dengan raut bingung bercampur takut.
“Oke, sudah siap! Sepuluh menit pasti sampai!” monolog Rico tersenyum bangga di depan cermin. Bangga akan ketampanannya walaupun tidak mandi.
Saat berbalik, kakinya yang hendak melangkah tiba-tiba terhenti. Manik matanya mengerjap berulang dan sontak menganga karena terkejut, saat menemukan orang asing di kamarnya.
“Heh, siapa kamu?” sentak Rico berkacak pinggang yang langsung membuat mata anak itu berair, napasnya terlihat sesak karena menahan tangis. “Eh, kok nangis!” Rico melenggang cepat naik ke ranjangnya.
Rico meraih tubuh mungil balita itu, menyandarkan di bahunya. Tangannya menyangga bokong anak itu, tangan lainnya membelai punggung, seperti yang ia lihat ketika Lala—pengasuh tengah menenangkan nona kecil. Sembari mengingat-ingat apa yang terjadi sebelumnya.
Setelah memejamkan mata sejenak, Rico mendapatkan kilasan kejadian semalam ketika menemukan anak dalam dekapannya itu.
Rico menjulurkan lengannya, mendudukkan Rain di atas ranjang. Ia berjongkok sembari menampilkan senyuman terbaiknya. “Jangan takut. Kalau kamu sudah mau bicara, bicaralah. Aku akan mengantarmu pada ibu dan ayahmu.”
Bukannya senang, Rain justru terlihat ketakutan. Ia menggeleng berulang kali dan kembali melingkarkan lengan kecilnya pada leher Rico.
“Aduh, gimana sih ini,” keluh Rico bingung sendiri. Ia berusaha melepas lilitan tangan Rain. “Oke, aku enggak antar kamu pada ayah ibumu, tapi janji ya. Kamu harus nurut, enggak boleh rewel. Kalau melanggar, aku tinggal kamu di jalan. Paham?” tegas Rico mengangkat telunjuk di depan muka Rain.
Rain hanya mengangguk beberapa kali sebagai jawabannya. Masih mengenakan kaos Rico yang kini seperti gaun panjang menutupi seluruh tubuh kecilnya. Bagian leher pun merosot hingga ke salah satu lengannya.
Rico menghela napas panjang. Ia meyakini anak itu disabilitas, tidak bisa berbicara. Dan butuh waktu untuk bisa menyelami seluk beluk anak yang ia temukan semalam. “Baiklah, Rainer. Mari bekerja. Jadi laki-laki nggak boleh cengeng, harus kuat, bertanggung jawab dan pekerja keras.”
Tanpa membuang waktu lagi, Rico melangkah cepat masuk lift untuk turun menuju basemen apartemen miliknya. Langkah kakinya terburu-buru, ia sudah terlambat. Setelah masuk mobil, menatap Rain yang duduk nyaman di sebelahnya. Lelaki kecil itu mulai menyunggingkan senyum.
“Aku terlambat, Rain. Pasti Tuan Macan sudah siap menerkam,” gumam Rico segera melajukan mobilnya.
...\=\=\=\=OoO\=\=\=\=...
Seorang wanita terdengar melenguh di ruangan serba putih yang begitu sunyi dan dingin. Matanya mengerjap dengan sangat pelan untuk mengumpulkan kesadarannya.
Sudah beberapa hari ia mengalami kekerasan, puncaknya semalam. Wanita itu dicekik dan dibanting di trotoar oleh suaminya sendiri. Hingga kini harus berakhir di rumah sakit dengan luka yang cukup parah.
Kedua tangannya mencengkeram kuat selimut yang membalut tubuhnya. Air matanya mengalir deras. Tak berapa lama, terdengar derit pintu terbuka. Wanita itu menoleh, melihat seorang pria berjas putih bersama asistennya melenggang masuk untuk mengontrol pasiennya.
“Anda sudah sadar, Nyonya Airin?” tanya dokter tersebut setelah.
“Di mana anakku?” tanya wanita yang dipanggil Airin itu.
Dokter dan perawat saling berpandangan, mereka mengedikkan bahu bersamaan karena tidak mengerti maksud dari sang pasien.
“Di mana anakku, Dokter?” pekik Airin dengan napas memburu.
“Maaf, kami tidak mengerti. Anda seorang diri di sini, Nyonya,” ucap Dokter tersebut yang justru semakin membuat Airin menangis.
"Tidak, jangan sampai Mas Satya membawanya," gumam Airin yang berusaha menggerakkan tubuhnya dengan susah payah.
Bersambung~
Nanti kita ketemu Cheryl kecil ya.. Papa dan Mama Macan yang masih muda setelah mereka bersatu kembali 😍
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 83 Episodes
Comments
dita18
kyk nya crta nya seru,,, msh lanjut nyimak
2023-11-09
1
anonim
ooo...korban kdrt tuh mama anaknya Rico...anak yg ditemukan di jln
2023-11-07
0
Sri Astuti
halo.. salam jumpa..
kyknya menarik ini
2023-11-04
3