3 bulan kemudian
“Marsha Lee, bangun.” Suara itu terdengar begitu nyaring di telinga mengalahkan suara alarm Marsha.
Marsha membuka matanya dan menatap orang yang sedang bercak pinggang di samping ranjang. Marsha mengulet sebentar, lalu dia memosisikan tubuhnya untuk bersandar pada head board.
“Kenapa si? Apa gue ada jadwal?” Protesnya sambil menguap.
“You gila ya..” protes Jeni dengan gaya Jakselnya. Jeni adalah manager sekaligus asisten Marsha yang selalu siap melayani Marsha 24 jam, sama seperti Ken.
“Ai ga gila..you yang gila udah bangunin ai jam segini.” Marsha mengomel balik karena Jeni datang masuk ke kamarnya di jam 6 pagi. Seharusnya Jeni tau jika Marsha tidak suka kalau tidurnya diganggu.
Belum sempat menjawab, Ken buru-buru masuk ke dalam dengan nafas terengah-engah. Wajah Ken yang biasanya tenang dan cool, tiba-tiba sekarang berubah menjadi panik.
Perasaan Marsha mulai tidak enak. Dia yakin, pasti ada gosip baru yang menimpanya. Semua selalu bereaksi berlebihan jika menghadapi gosip-gosip miring mengenai Marsha.
“Wartawan sudah berada di luar.” Kata Ken pada Jeni.
“Apaan sih.” Marsha yang kesal merebut tablet yang di pegang oleh managernya itu.
Dia membaca artikel itu dengan seksama. Marsha bahkan mengulanginya sampai 5x.
“Artikel macam apa ini.” Dia melempar tablet di tangannya dengan kesal. Jeni hanya bisa pasrah karena tabletnya sukses terbanting mengenai tembok. Dia mengambil tabletnya, karena masih ada yang harus dia tunjukan pada Marsha.
“Ken, itu ga bener. Cepet bayar orang untuk hapus semua artikelnya.” Perintah Marsha dengan nada tinggi.
Ken tidak bergeming. Dia bukannya tidak mau membantu Marsha, tapi dia sudah lakukan itu satu jam yang lalu, dan hasilnya nihil. Artikel itu tetap bermunculan. Kekuatan nitizen begitu luar biasa. Ketika menghapus yang satu, maka yang lain akan muncul.
“Aku tidak mau tau, pokoknya selesaikan ini.” Ulang Marsha dengan tidak sabar.
Marsha mulai menangis. Selama dalam karirnya menjadi selebgram, Marsha bisa menerima apapun gosip miring yang diberitakan nitizen. Tapi kali ini, Marsha begitu sakit hati. Bagaimana tidak, kalau judul artikel yang dia baca seperti ini:
Marsha Lee hamil 3 bulan. Siapakah ayah dari anaknya itu?
Marsha berdiri dari ranjangnya. Dia menatap cermin yang berada di sekeliling kamar. Sebentar dia memandang dirinya dari samping, sebentar kembali ke depan. Marsha juga memegang pipinya dan mencubit lemak di perutnya.
“Apa aku tampak begitu gendut sampai di bilang hamil?” Tanya Marsha masih sambil menangis terisak.
Ken berpandangan dengan Jeni. Mereka berdua tidak ingin menjawab pertanyaan rancu dari Marsha.
“Ken, aku akan marah kalau kamu tidak menjawab.” Paksa Marsha akhirnya.
Ken mengangguk pelan. Dia memang melihat perbedaan yang cukup drastis pada badan Marsha. Perut Marsha yang biasanya rata kini ada tonjolan kecil. Sebenarnya kalau saja Marsha tidak mengenakan pakaian yang ketat, bagian itu tidak akan terlihat. Tapi karena Marsha suka memakai baju dan celana press body, itu jadi membuatnya tampak jelas. Selain perut, dada Marsha juga lebih berisi.
“Keeen, kamu jahat.” Marsha menangis semakin keras. Dia kembali ke ranjang dan menutupi dirinya menggunakan bantal.
Ken jadi serba salah. Dia hanya mengatakan yang sebenarnya.
Setelah patah hati karena Juna, Marsha memang kerap makan makanan yang manis. Dia juga tidak bisa menahan nafsu makannya jika sedang stress memikirkan Juna. Marsha bahkan pernah bercerita pada Ken jika beratnya bertambah 5kg.
Ken tidak pernah menegur Marsha karena dia lebih suka melihat Marsha yang sekarang. Dia jauh lebih segar dan ceria.
“You gak mau liat berita yang lain?” Jeni mengatakan dengan ragu. Tapi, dia tidak punya pilihan lain karena Marsha harus tahu tentang gosipnya ini supaya dia bisa menjawab para wartawan nanti.
“Gue gak mau liat." "Gue udah ga bisa hidup lagi, Jen.” Ucap Marsha pasrah.
Tapi, setelah mempertimbangkan cukup lama, akhirnya Marsha penasaran juga. Dia membuka bantalnya, lalu menatap layar tablet yang di pegang oleh Jeni.
Jeni menunjukan foto pertama. Foto Marsha dan Boy sedang berada di cafe sekitar 2 tahun lalu. Di foto itu Boy merangkul Marsha dengan mesra. Marsha ingat itu adalah pertemuan pertamanya dengan Boy. Waktu itu Marsha meminta tolong Boy untuk mencari data musuh bisnis dari Juna. Ternyata Boy malah mengajaknya berakting untuk menghindari seorang wanita yang sedang mengejar Boy.
Marsha menggeser foto berikutnya. Kali ini foto Boy dan Marsha sedang berpelukan di tebing. Peristiwa itu terjadi belum lama ini, ketika Boy mengiranya akan bunuh diri.
Foto terakhir. Ini yang paling membuat Marsha melongo. Foto itu menunjukan ketika Boy menggendong Marsha masuk ke sebuah kamar hotel.
Dari banyaknya foto Boy dan Marsha berdua, nitizen menyimpulkan jika Marsha sedang hamil anak dari Boy.
“Kalau hanya perubahan body you, ai masih bisa bantu klarifikasi. Tapi, ini mereka punya bukti yang kuat.” Lanjut Jeni dengan jujur.
Marsha kembali menutup dirinya dengan bantal.
"You ga hamil beneran, kan?" tuduh Jeni sambil menarik bantal Marsha.
"You gila ya!" bentak Marsha yang emosi. Meskipun dia berada di dunia hiburan, tapi Marsha selalu mengutamakan nama baiknya. Dia tidak ingin mencoreng nama keluarga Lee.
"Lalu, kenapa bisa ada foto seperti ini? Apa yang you lakukan di hotel waktu itu?" selidik Jeni. Ini harus dia lakukan supaya dia dapat membantu Marsha.
Marsha terdiam. Dia tidak ingat kenapa Boy bisa membawanya dari club dan juga apa yang dilakukan Boy di hotel. Yang Marsha ingat, saat di club, dia merasa minumannya salah, dan setelah itu dia tidak tahu apa yang terjadi. Saat sadar, Marsha sudah berada di hotel dan hanya ada Ken yang berdiri di sampingnya.
Ken bilang, kalau Boy yang mengangkat telepon milik Marsha dan dia menyuruhnya untuk pergi ke hotel. Ken juga penasaran, apa yang telah dilakukan oleh Boy pada majikannya.
"Aku gak ingat apapun." ucap Marsha dengan suara yang lirih dan hampir tidak terdengar.
"Cepet you testpack aja." saran Jeni.
"Ken, cepat kamu urus. Bayar berapapun biayanya. Kalau perlu, hubungi Samuel untuk bereskan."
"Nona, Tuan Samuel sekarang sudah jadi dokter. Dia tidak mau menerima pekerjaan lain selain yang berhubungan dengan pekerjaannya." jelas Ken dengan detail mengikuti perkataan Sam di telepon. Ya, Ken juga sudah menghubungi master IT alias Samuel Sebastian. Tapi, Samuel tidak dapat membantu dan hanya memberikan jawaban seperti itu.
"Cepat sebelum Mom tau hal ini." pinta Marsha sambil memelas.
"Baiklah, anda tunggu di sini dulu, Nona. Tenangkan diri anda."
Ken melenggang pergi dan menarik Jeni bersamanya. Saat ini Marsha sedang tidak dalam kondisi yang baik. Ken dapat melihatnya dengan jelas karena pandangan Marsha saat ini terlihat kosong.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 64 Episodes
Comments
Ka'Unna
lanjut Thor💪
2022-12-14
2