Boy baru saja datang ke kantor. Tapi suasana di sana tidak seperti biasanya. Beberapa karyawan berbisik ketika dia lewat. Yang lebih parah lagi, para karyawan wanita tidak ada yang mau masuk satu lift dengannya.
Boy mengecek penampilannya, takut kalau dia memakai baju terbalik atau salah menggunakan celana pendek. Tapi, setelah diamati, tidak ada yang salah dengan penampilannya. Boy bahkan hari ini tidak menggunakan sepatu sport, tapi sepatu kulit layaknya bos-bos lain.
Karena tidak menemukan jawabannya, Boy tidak mengambil pusing dan memilih mengacuhkan itu. Dia tidak ingin menambah beban pikiran hanya karena pandangan orang lain tentang dirinya.
Ya, prinsip Boy semakin norak akan semakin baik. Jadi, Boy sudah bisa juga menjadi pusat perhatian. Dia juga berencana akan mengecat rambutnya menjadi warna pink bulan depan nanti.
"Pak, meeting hari ini dengan Mr.Jake dibatalkan." lapor sekretaris Boy saat Boy baru akan masuk ke ruangan.
"Lho, kenapa?" tanya Boy heran. Mr. Jake sangat menanti kerjasama dengan Boy, tapi sekarang dia malah membatalkannya. Itu menjadi tanda tanya besar untuk Boy.
"Mungkin karena gosip itu."
"Gosip apa? Bicara ya jelas, Sar." Boy memandang Sarah dengan penasaran.
"Bapak benar belum tau?" tanya Sarah lagi.
Boy menggeleng. Meskipun bekerja di bidang teknologi, Boy tidak tau apa gosip terbaru saat ini.
Sarah memberikan ponselnya pada Boy.
Boy melihat itu dengan serius, tapi beberapa detik kemudian dia tertawa terbahak-bahak. Reaksi ini jelas membuat Sarah heran dan takjub.
"Apa hubungannya gosip Marsha yang hamil, dengan saya?"
"Masalahnya, gosip itu bilang kalau Pak Boy ini adalah bapaknya." jelas Sarah dengan sabar.
Boy tertawa lebih keras lagi. Kali ini dia tertawa sampai perutnya sakit dan air matanya keluar.
"Pak, bapak baru saja dituduh menghamili anak orang, dan Bapak malah tertawa?" Sarah jadi kesal sendiri melihat tingkah bos nya yang tidak ada rasa bersalah sedikitpun.
"Mana mungkin hamil kalau kita tidak pernah melakukan hubungan suami istri. Ada-ada saja." Boy mengelap air matanya dengan punggung tangan.
"Ya sudah Pak. Saya kembali kerja lagi." Sarah mengambil ponsel yang masih dipegang Boy, lalu dia pergi dari ruangan Boy.
Boy kembali berfokus pada kerjaannya yang sudah disiapkan oleh Sarah di meja.
'Tok.. tok'
"Apalagi, Sar?" Boy menengok dan dia hampir saja terjatuh dari kursinya ketika melihat yang berdiri di hadapannya bukan Sarah, melainkan Marsha.
Marsha melepas topi dan maskernya. Meskipun menggunakan penutup, Boy tetap tahu kalau itu Marsha.
"Aku ingin minta penjelasan." Marsha menggebrak meja Boy dan membuat barang-barang di atasnya sedikit bergeser.
"Tidak ada yang perlu di jelaskan." ucap Boy datar.
"Tidak bisa. Ini menyangkut hidup dan mati." kata Marsha dengan nada cukup tinggi.
Boy bangkit, lalu memilih untuk berdiri di dekat Marsha supaya mereka bisa lebih nyaman berbicara.
"Ya, sudah. Tanya apapun yang kamu mau."
"Malam itu, apa yang kamu lakukan?" selidik Marsha.
Boy tampak berpikir sebentar. Dia mengingat kejadian 3 bulan lalu. Karena mengurus Marsha di hotel dan terburu-buru pergi, Boy harus mengalami kerugian yang cukup besar karena kehilangan koper uangnya.
Sekarang, Marsha datang dan bertanya, apa yang Boy lakukan malam itu? Apakah Marsha betul-betul tidak ingat? atau apakah Marsha sebodoh itu dan mengira dirinya betul hamil?
Boy tersenyum tipis. "Kamu yang menggodaku, jadi jangan salahkan aku."
Marsha bergerak maju, lalu mencengkram kerah kemeja Boy. "Cepat, katakan yang sebenarnya."
"Hey, nona.. mana ada kucing yang tidak tertarik jika ada ikan?" Boy mengerlingkan satu matanya.
Marsha bergidik ngeri. Sebenarnya dia sudah mengecek dengan testpack dan hasilnya negatif, tapi dia hanya ingin memastikan saja. Marsha betul-betul tidak ingat apa yang sudah Boy lakukan di dalam hotel.
Boy memandang penampilan Marsha. Di bandingkan 3 bulan yang lalu, Marsha memang sedikit lebih berisi. "Kenapa tidak akui saja jika kamu memang gemuk?" celetuk Boy dengan santainya.
"Booooy!" teriakan Marsha membuat Boy sampai menutup telinganya.
"Hey, diam lah. Semua orang akan salah paham."
"Mereka sudah salah paham, Boy." Marsha akhirnya duduk di kursi karena lelah.
"Lalu, kamu ingin apa? Aku sudah menjelaskan semua." Boy melirik sambil berpikir sejenak. "Atau kamu ingin minta pertanggungjawaban?"
"Ya itu." jawab Marsha singkat.
BRAK. Boy menggebrak meja membuat Marsha melompat kaget.
"Aku gak mau menikah dengan orang macam kamu." protes Boy. Marsha memang cantik, tapi Marsha terlalu aneh dan juga menyebalkan.
"Cih, memangnya aku sudi?" "Maksudku, cepat hapus semua foto kita di hotel, di cafe dan di pantai. Semua artikelnya kalau perlu." Marsha mendengus kesal.
Boy kembali duduk dan segera mengerjakan apa yang diminta Marsha. Pantas saja Marsha marah-marah. Foto mereka sudah banyak sekali mendapat ribuan komentar negatif.
Kenapa akhir-akhir ini nitizen sangat cepat sekali menyebarkan berita hoax? batin Boy heran.
Marsha memilih menunggu Boy selesai sambil mengecek ponselnya. Dia begitu takut jika sampai Mom membaca berita ini. Kesehatannya bisa semakin memburuk.
"Bagaimana Ken? Apakah semua aman?" tanya Marsha ketika dia menelepon Ken yang saat ini berada di rumah Ny.Lee.
"Aman.. Nyonya tidak menonton TV. Dia sedang berkebun." "Bagaimana dengan anda, nona? Apakah Boy kasih jawaban?"
Marsha memandang Boy yang saat ini sedang serius melakukan pekerjaannya. "Ya, sepertinya dia tidak melakukan apapun, Ken. Dia sedang mencoba hapus artikelnya." bisik Marsha dengan suara pelan.
"Baik, anda tunggu di sana. Sebentar lagi saya akan ke sana." ucap Ken dengan perasaan lega.
"Bagaimana, bisa tidak?" kini Marsha kembali merecoki pekerjaan Boy yang tidak kunjung selesai.
"Sabar sebentar, ferguso." ucap Boy asal. Dia tidak suka jika pekerjaannya di ganggu. Berita ini sungguh mencemarkan nama baiknya, dan Boy juga ingin segera melenyapkan artikel-artikel tidak berguna itu.
"Katanya, kamu terbaik di bidang ini. Masa seperti ini saja tidak bisa." sahut Marsha lagi.
"Kamu sungguh sangat cerewet. Bisa diam tidak? " teriak Boy.
"Enggak bisa." Marsha menekan nadanya. "Cepatlah sebelum orang tuamu tau."
Marsha benar. Boy kembali berfokus untuk menghilangkan semua artikel yang ada. Dan..
"Yes. Sudah aman." Boy merentangkan kedua tangannya dan bersorak bahagia.
Marsha sampai maju untuk menatap layar komputer Boy karena tidak percaya. Setelah memastikan di media sosialnya, dia baru bisa bernafas lega. Ternyata Boy pintar juga.
"Oke, aku akan pergi sekarang, Bye."
Wanita itu melenggang keluar dengan santai. Boy juga kembali mengurus pekerjaan lainnya.
Belum ada 1 menit, pintu ruangan Boy kembali terbuka. Sarah masuk dengan wajah panik.
"Kenapa Sar?" Tanya Boy juga ikut panik.
"Ada banyak sekali wartawan di luar." jawab Sarah.
"Marsha masih di luar?"
"Iya, mereka sedang mengerumuni Marsha."
Boy berdiri, lalu segera berjalan menuju pintu.
Sarah mencoba mencegah Boy dengan menghalangi pintu. "Lebih baik anda jangan keluar."
"Minggir." Boy menggeser tubuh Sarah, dan menempelkan sidik jarinya supaya pintu terbuka.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 64 Episodes
Comments