“Kenapa kamu membuat anakku tersiksa? Kenapa kamu membiarkan Melati—ku pergi dengan sejuta luka! kenapa Aditia?”
“Maafkan Aditia, Aditia sungguh menyesal. Maafkan Aditia, Bu.” Hanya kata maaf yang bisa Aditia ucapkan, tidak ada alasan untuk dirinya membela diri, kerena memang ia mengakui kesalahannya.
“Maaf kamu tidak gunanya Aditia! maaf kamu tidak bisa membuat Melati kembali padaku! Aku, aku yang sudah melahirkan dan membesarkan Melati dengan segenap jiwaku, tapi kamu malah menyia-nyiakan putriku! Aku membencimu!” pekik Reni, menunjuk Aditia yang berada di bawah memeluk kakinya, sorot mata wanita parubaya itu menyimpan kebencian yang teramat dalam pada menantunya itu.
“Sudah Bu, jangan menyalahkan semua ini pada Aditia, ini semua atas kehendak takdir! percuma Ibu memarahi dia, menyalahkannya. Itu semua tidak akan membuat Melati kembali hidup!” ucap Reno—suaminya. Mencoba menenangkan sang istri.
“Aditia lepaskan kaki istri saya, berdirilah jangan seperti ini!” lanjut Reno pada Aditia.
Perlahan Aditia pun melepaskan pelukannya pada kaki Ibu mertuanya itu, di bantu oleh kedua orang tuanya Eva, Ibunya dan Irwan, Ayahnya.
Reno langsung mengajak istrinya pergi meninggalkan tempat peristirahatan putri mereka itu. Walau awalnya sangat susah, Reni menolak dan ingin tetap di sana.
“Ibu gak mau pulang Yah, Ibu mau nemenin Melati, Yah. Melati anak kita kasian dia sendiri Yah,” tolaknya sambil terisak tangis.
Aditia dan kedua orang tuanya hanya menyaksikan hal tersebut dengan hati yang pilu, melihat Ibu Reni yang terlihat masih tidak rela Melati meninggalkannya. Karena sesungguhnya mereka pun merasakan hal yang sama, tapi mereka bisa apa? Kematian adalah takdir yang tidak bisa dihindari oleh setiap manusia.
“Bu, jangan seperti ini. Kasian Melati, ikhlas dia Bu, Melati sekarang sudah bahagia di tempat yang paling indah di sana bersama sang penciptanya. Dia sudah tidak merasakan sakit lagi. Kita pulang ya,” bujuk Reno. Sebisa mungkin ia menguatkan sang istri, walau nyatanya dirinya pun merasakan hal yang sama. Tidak rela, namun sebagai kepala rumah tangga, ia harus bisa kuat.
Akhirnya Reni pun menurut, kedua mertua Aditia itu pun berlalu meninggalkan pemakaman tersebut.
“Sebaiknya kita juga pulang Adi, hujan akan segara turun,” ajak Eva sang Ibu. Usai kedua besannya itu berlalu. Apa lagi kini tetesan air dari langit sudah mulai menetes ke bumi.
“Ibu sama Ayah duluan saja, Aditia masih ingin di sini,” tolak Aditia dengan lirih.
“Ikhlas istrimu, Nak. Jangan seperti ini, ingat masih ada Melati kecil di rumah yang sangat membutuhkan kamu.”
Ucapan orang tuanya itu membuat Aditia sadar. Ya, ia tidak mungkin seperti ini. Ini bukan akhir dari segala, tapi ini adalah awal dari semuanya.
Aditia kembali berjongkok di samping gundukan tanah yang masih basah itu. Lalu ia mengusap batu nisan yang bertuliskan nama sang istri.
‘Aku sudah Ikhlas, tenanglah di sana, bahagialah istriku. Aku berjanji akan menjaga anak kita, aku mencintaimu Melati—ku,’ ucap Aditia dalam hatinya, seraya mencium batu nisan sang istri.
Perlahan Aditia pun bangkit, di papah oleh kedua orang tuanya, ia mulai melangkah meninggalkan tempat peristirahatan mendiang sang istri.
Rasanya sangat berat untuk beranjak dari sana.
Kenapa? Kenapa harus Melati yang meninggalkan dirinya terlebih dahulu? Kenapa tidak dia saja? Jika bisa, biarkan dirinya saja yang terkubur di sana, bukan wanita itu.
Ya, ini semua memang takdir. Tapi kenapa ia merasa takdir ini tidak adil untuknya! kenapa Tuhan mengambil Melati secepat ini?
Ikhlas? Apa yakin dirinya bisa mengikhlaskan wanita itu? Kenapa Tuhan baru membuka mata hatinya saat wanita itu sudah tiada! kenapa?
Tidak! tidak seperti itu, tepatnya dirinya-lah yang terlambat menyadari rasa cintanya itu. Tuhan tidak pernah menutup mata hati umatnya, tapi ego umatnya yang membuat hati nuraninya tertutup.
Benar kata pepatah, kita akan merasakan benar-benar kehilangan seseorang, saat orang tersebut sudah tiada. Dan itu semua dirasakan oleh Aditia.
“Ibu tau semuanya sulit Adi, kita juga merasakan hal yang sama. Melati sudah tenang di sana, walaupun sekarang kita tidak bisa melihatnya lagi, tapi percayalah dia selalu bersama kita,” ujar Eva.
Memang tidak mudah merelakan orang yang kita cintai dan sayangi, apa lagi orang itu pergi kepangkuan sang illahi.
Sebenarnya Eva juga kecewa pada putranya itu, atas sikapnya. Tapi, ia bisa apa? Menyalahkan Aditia? Sebagai seorang Ibu buruk, baik anaknya. Ia tetap menyayanginya.
Aditia memang salah, tapi untuk saat ini tidak ada gunanya mempermasalahkan semua ini. Kematian Melati atas kehendakNya. Apa lagi saat ini ia melihat sang putra teramat merasa bersalah dan menyesal.
“Ini semua gara-gara aku Bu, aku memang egois! Aku suami yang tak berguna. Bagaimana aku tidak menyadari jika istriku sakit? Istriku berjuang melawan sakitnya demi anakku, Bu...”
“Kenapa harus Melati, Bu? Kenapa tidak aku saja yang sakit! kenapa tidak aku saja yang mati! Kenapa?” sambung Aditia dengan lirih dan penuh penyesalan.
Bersambung...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 33 Episodes
Comments